Rafi melirik ponselnya beberapa kali seiring kakinya berjalan mondar-mandir. Rafi keluar dari rumah sakit beberapa hari setelah dirinya masuk. Setelah melakukan serangkaian tes, dokter menyarankan Rafi untuk tinggal di rumah sakit lebih lama lagi karena dirinya harus diobservasi, tapi Rafi malah meminta izin untuk keluar rumah sakit sebentar karena ingin mengurusi beberapa hal.
Rafi masih tidak berniat untuk memberitahu kedua orangtuanya dan Kara soal apa yang ia alami. Sekarang, seminggu lagi sebelum acara pertunangan Rahel dan dirinya dilaksanakan. Sebelumnya, Rahel sudah bilang padanya bahwa ia tidak apa-apa bila pertunangan ini harus ditunda terlebih dahulu. Kesehatan Rafi adalah yang utama. Tapi, Rafi malah bilang tidak apa-apa.
Saat ini, dirinya sedang menyiapkan beberapa hal terlebih dahulu, seperti tempat dan dekorasi. Dirinya menyicil untuk mempersiapkan semuanya sebelum hari itu tiba. Hatinya gelisah sekali, dia sangat berharap ada pesan dari Alis yang muncul di notifikasi layar ponselnya. Namun, nama Alis sama sekali tidak ada di layar ponsel Rafi. Pupus sudah harapan Rafi. Setidaknya, Rafi harus memastikan dulu bagaimana perasaan Alis terhadapnya sebelum dia melaksanakan pertunangan ini dengan Rahel. Apa Alis memiliki perasaan yang sama dengan dirinya?
Sejujurnya, Rafi merasa tidak enak dengan Rahel karena dirinya bertunangan dengannya tanpa memiliki perasaan padanya. Apa itu adil bagi Rahel? Apa memang tak apa bagi dirinya karena ia sama sekali tidak memiliki perasaan terhadapnya? Sebelum pertunangan ini dipersiapkan, Rafi ada bertanya dan jujur pada perempuan itu, tapi perempuan itu malah berkata bahwa itu tidak menjadi masalah baginya.
Rafi melirik ke kiri ke kanan, semua orang sedang sangat sibuk mempersiapkan semuanya. Tampaknya Rahel juga begitu, atau bahkan lebih sibuk. Dengan situasi seperti ini, Rafi mengambil kesempatan untuk pergi keluar sebentar. Ke suatu tempat yang harus ia kunjungi terlebih dahulu sebelum acara pertunangannya dilaksanakan. Dan tanpa lelaki itu sadari, ternyata Rahel sadar akan kepergiannya. Namun, ia membiarkan Rafi pergi tanpa bertanya ke mana tujuan lelaki itu.
Rafi sudah sampai di depan sebuah kamar apartemen. Ya, saat ini ia tengah mengunjungi apartemen Alis. Kini ia sudah berada di depan apartemennya, saat dirinya hendak memencet bel, tangannya langsung terasa kaku. Apa karena perasaannya tidak beraturan daritadi? Selama perjalanan ke sini pun, dia tidak begitu konsentrasi. Belum sempat ia memencet bel, tiba-tiba saja pintu terbuka dan menampakkan sosok Revon yang sedang membawa satu kantong plastik yang Rafi yakini isinya adalah sampah. Sepertinya, Revon sedang membantu Alis untuk membuang sampah yang sudah menumpuk di tong sampah yang ada di apartemen itu.
"Eh, ngapain lo di luar? Kok nggak pencet bel?" tanya Revon kebingungan.
Rafi tersenyum kikuk, lalu menggaruk tengkuknya. "Tadi gue mau pencet bel kok, tapi lo udah keluar duluan. Omong-omong, kok lo bisa ada di sini?" tanyanya.
"Gue tinggal di sini," jawab Revon yang sempat membuat Rafi tersentak kaget. "Tapi, cuma sementara." Dan setelah itu, Rafi menghela napas lega dan manggut-manggut mengerti.
"Emangnya kenapa? Oh iya, Alis mana? Kok nggak kelihatan?" Rafi sedikit berjinjit, kedua matanya menelusuri ke dalam apartemen Alis yang tampak kosong melompong.
"Dia demam, udah dari dua hari yang lalu."
Seketika raut wajah Rafi berubah menjadi panik dan khawatir. "Gue boleh masuk, nggak? Mau lihat dia," tanya Rafi pelan.
"Tapi, dia lagi tidur."
"Sebentar aja. Boleh, ya? Gue pelan-pelan kok masuknya," ucap Rafi lagi.
Pada akhirnya, Revon mengangguk sebagai jawaban.
Langkah kaki Rafi menjadi agak lambat saat dirinya sudah mendekati kamar Alis. Lantai kamar perempuan itu sangat dingin, padahal AC-nya tidak menyala. Dilihatnya Alis yang sedang berbaring lemas di atas ranjang.
Rafi mendekati Alis, lalu dengan perlahan duduk di samping perempuan itu. Tangan kanannya terjulur untuk mengusap puncak kepalanya. Tindakan ini seolah-olah menunjukkan betapa besar rasa sayangnya terhadap Alis.
Diam-diam, Revon memperhatikan gerak-gerik Rafi dari ambang pintu kamar. Dengan senyum tipis, ia menutup pintu kamar dan meninggalkan mereka berdua.
Hari ini Rafi senang karena dirinya bisa bertemu dengan Alis lagi setelah sekian lama, tapi dia juga kecewa karena hubungan mereka tidak lagi seperti dulu. Sekarang ia bisa melihat Alis, tapi perempuan itu malah sedang sakit.
"I miss you so damn much." Rafi tersenyum samar, masih tetap mengusap puncak kepala perempuan itu, lalu pipinya.
"Rafi jangan pergi, gue takut."
Kedua Rafi terbelalak kaget begitu mendengar ucapan Alis. Kedua mata perempuan itu masih tertutup dan wajahnya dipenuhi oleh keringat. Sepertinya Alis sedang ngigau atau sedang bermimpi. Seulas senyum terbit di bibir Rafi. Dia senang karena dalam keadaan tidak sadar pun, Alis masih memanggil namanya. Itu berarti dia belum benar-benar melupakannya.
"Gue di sini, Lis. Gue di sini," sahut Rafi lembut, tangannya menggenggam tangan Alis, kemudian ia mengusap-ngusap punggung tangan perempuan itu, berharap tindakannya saat ini bisa membuatnya lebih tenang.
Setelah selama sepuluh menit berada di dalam kamar dengan Alis, Rafi membicarakan dan memberitahu perempuan itu banyak hal. Namun, tentu saja perempuan itu tidak meresponsnya karena dia telah kembali tertidur pulas setelah mengatakan satu kalimat tadi. Sebelum pergi, Rafi kembali menatap Alis yang masih tertidur pulas itu. "Cepat sembuh, ya, Alis Tebel." Kemudian, pintu tertutup.
"Udah mau pulang, ya?" tanya Revon setelah ia meneguk kopi yang berada di tangan kanannya.
Rafi mengangguk sekilas sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana jinsnya. Kedua matanya tampak sembap, Revon sadar akan hal itu. Tapi, dia tidak mau bertanya lebih lanjut mengenai apa yang terjadi. Sejujurnya, Revon sendiri juga penasaran apa yang Rafi bicarakan pada Alis sampai-sampai dia tampak habis menangis seperti itu. Tapi, dirinya bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Jadi, ia memutuskan untuk diam saja dan pura-pura tidak tahu apa-apa.
"Iya," balas Rafi.
Revon langsung bangkit berdiri dari sofa dan segera menuju pintu, disusul oleh Rafi yang berjalan pelan di belakangnya. Seolah tidak rela untuk meninggalkan tempat ini.
Rafi menghentikan langkahnya saat ia sudah sampai di depan pintu. Ia berbalik badan dan menepuk bahu Revon dua kali. "Tolong jagain Alis baik-baik, ya. Oh ya, dia paling suka es krim rasa stroberi, kalau makan bisa sekaligus dua. Film kesukaannya itu genre fantasi. Kadang, dia kalau nonton itu suka lupa waktu. Jadi, lo harus ingatin dia buat makan," ucap Rafi panjang lebar sembari tersenyum tipis.
Revon terkesiap saat mendengar ucapan panjang lebar yang Rafi katakan. Setelah itu, ia mengangguk mengerti. Kemudian, Rafi kembali berjalan tanpa menghadap ke belakang lagi.
Sebenarnya, Revon tahu ada banyak sekali yang ingin Rafi katakan padanya mengenai Alis. Tapi, mungkin karena Rafi merasa tidak enak dengan dirinya, jadi lelaki itu hanya mengatakan yang seperlunya saja.
Tapi, tunggu dulu. Kenapa Revon malah merasa kata-kata yang Rafi ucapkan barusan itu seolah-olah seperti salam perpisahan dan dia mempercayakan Alis padanya? Atau hanya perasaannya saja?
7 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Braver
Ficção Adolescente>> SPIN-OFF GOOD OR BAD? << Siapa sangka karena tindakan kepahlawanan yang Rafi dapat itu, membuat dirinya harus terjebak bersama dengan orang yang menolongnya. Saat itu, Rafi tidak memikirkan dampak yang akan terjadi saat dia berbaik hati dengan m...