Seventeen: Melupakan Dia

563 52 0
                                    

Tidak terasa sudah hampir dua minggu sejak Rafi dan Alis menjauh. Mereka sudah jarang kontakan. Sebenarnya lumayan sering, hanya saja, karena Alis membalasnya singkat-singkat dan menyuruh Rafi untuk tidak menghubungi dia lagi, pada akhirnya Rafi memutuskan untuk berhenti mengontak perempuan itu. Sebenarnya Rafi sendiri juga bingung, dia tidak tahu mengapa Alis tiba-tiba menjadi berubah seperti ini. Padahal semuanya masih baik-baik saja saat mereka berjalan-jalan di taman kanak-kanak tempo hari.

"Entar jadi ke pet shop?" Menengadah, Revon bertanya pada Alis dengan senyum tipis.

Perempuan yang tadinya tengah memejamkan matanya sebentar itu, lantas membuka kedua matanya dan mengangguk sekilas. "Jadi kok. Omong-omong, hari ini lo nggak ada ekskul?"

Revon menggaruk belakang lehernya, lalu mengangguk ragu. "Ya... Ada sih, cuma gue izin."

"Yeee, ngapain izin. Kalau tahu gitu tadi gue bisa sendiri."

Revon cengengesan. "Nggak papa, gue rela kok bolos sehari demi temenin lo," cetus Revon.

Tapi, ucapan santai yang Revon katakan malah membuat Alis semakin merasa tidak enak hati dengan lelaki itu.

Sudah hampir dua minggu ini Alis kerap menjauhi Rafi, selama tiga hari setelah itulah Revon dan Alis mulai dekat. Tidak, Revon sama sekali tidak berniat untuk merebut Alis dari Rafi, walau pada kenyataannya dia memang sangat menyukai perempuan itu. Hanya saja, Alis tampak begitu murung sehingga hati kecil Revon tak tahan untuk menghiburnya.

Alis juga merasa bahwa Revon adalah orang yang baik dan pengertian. Disamping semua itu, dia juga orang yang lumayan asik dan kadang-kadang humoris. Hal itu mengingatkannya pada Rafi. Ya... walaupun Revon tidak sehumoris Rafi. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok Rafi di hidup Alis.

Kadang kala, saat Alis sedang sendirian di kamarnya, pikirannya selalu tertuju pada Rafi. Entah itu bertanya-tanya sendiri di dalam hati mengenai keadaan Rafi, apa yang sedang dilakukannya, dan masih banyak lagi. Alis juga tidak tahu apakah keputusan untuk menjauh ini memang benar-benar tepat. Tapi, hati dan pikirannya seolah-olah tidak sejalan. Hatinya berkata untuk tetap berada di dekat Rafi. Namun lain halnya dengan pikirannya. Pikirannya menyuruhnya untuk menjauh. Alis tahu bahwa di saat-saat seperti ini, seharusnya dia mengikuti apa kata hatinya. Namun, lagi-lagi semuanya terasa tidak pas.

"Beli yang cihuahua aja, sih, menurut gue. Imut soalnya," usul Revon seiring matanya melihat ke sekelilingnya yang dipenuhi oleh berbagai macam hewan.

"Tapi, kucing ini juga lucu. Gue harus beli yang mana, ya?" Alis tampak kebingungan.

Setelah semua ini, Alis memutuskan untuk membuat dirinya sibuk. Entah itu belajar hal-hal baru, mengerjakan suatu hal yang baru, dan masih banyak lagi. Membeli hewan peliharaan ini juga termasuk salah satunya.

Bukan hanya Alis yang bingung, ternyata Revon sendiri juga kebingungan. Lelaki itu menghentikan langkahnya, kemudian membungkuk untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Alis. "Lo sakit, ya? Lo kan nggak suka kucing. Kok mau beli kucing?"

Melihat tindakan Revon dan cara pandang Revon padanya, sontak Alis langsung memalingkan wajahnya. "Hmm... ya nggak tahu juga, sih, kenapa gue mau beli kucing. Tapi lihat tuh, kucingnya gemuk banget. Jadinya kan lucu," tukas Alis, wajahnya memelas.

Revon tertawa kecil melihat wajah Alis, kontan saja ia mengacak pelan rambut perempuan itu. Wajah Alis langsung kaget. Tindakan itu lagi-lagi mengingatkannya pada Rafi.

"Tapi, lo bisa peliharanya? Entar yang ada lo kasih makanan ikan lagi, eh." Revon pura-pura mengatupkan mulutnya, seolah-olah omongannya barusan itu adalah refleks.

"Kan di samping gue ada yang pro. Entar lo ajarin gue dong gimana cara peliharanya. Ya? Ya?" Alis menyenggol lengan Revon sambil menampilkan tatapan memohon.

Lantas, Revon bersedekap, pura-pura berpikir. "Mau nggak, yaaa?" ledeknya.

Melihat itu, Alis langsung mencebikkan bibirnya. "Tuh kan, sok mikir. Entar udahannya bilang nggak mau."

Suara tawa Revon langsung terdengar. "Karena gue orangnya baik, gue ajarin deh. Lo harus banyak berterima kasih sama gue."

"Iya-iya, makasih, ya!" balas Alis kesenangan.

Sifat Alis yang selalu terkesan girang itu selalu dapat membuat Revon senyam-senyum sendiri. Revon selalu suka melihat Alis yang seperti ini ketimbang Alis yang terlihat murung. Semenjak kedekatan mereka ini, Revon merasa bahwa perasaan yang telah ia pendam begitu lama ini semakin dalam saja. Tapi mau bagaimana lagi, mengutarakan semuanya di saat seperti ini bukanlah keputusan yang tepat.

Setelah mereka membeli kucing itu, suara lonceng yang berbunyi membuat Alis dan Revon menoleh ke arah pintu. Entah ini sebuah kebetulan atau kesengajaan, di ambang pintu berdirilah Rafi. Dengan pakaian khas yang biasa ia pakai. Alis tersenyum samar, tapi itu tidak berlangsung lama karena Rafi melihat ke arahnya. Senyum itu langsung pudar begitu Rafi menatapnya. Alis sangat bersyukur karena Rafi tidak melihat senyum yang tadi ia tampilkan, atau dia melihatnya? Alis juga tidak tahu pasti.

"Eh? Hai?" sapa Rafi kikuk. Ia melambaikan tangan kanannya dengan ragu.

Alis tersenyum tipis, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menimpa dadanya itu. "Hai, lo ngapain di sini?" tanya Alis, berniat basa-basi walau dia tahu kalau itu adalah sebuah pertanyaan yang bodoh. Jelas kedatangan Rafi ke sini adalah untuk membeli hewan peliharaan.

Rafi tersenyum lebar pada Alis, menatap kedua mata perempuan itu begitu dalam dan teduh. Tersirat kesedihan dan kekecewaan di kedua mata Rafi saat dirinya menatap perempuan itu begitu lama.

"Gue mau beli hamster. Katanya, sih, Kara lagi demen-demennya sama hamster. Biasalah, ikut-ikutan temannya. Lo sendiri beli apa di sini?" Rafi balik bertanya.

Alis memainkan jari-jari tangannya, merasa gugup. Kerenggangan hubungan diantara mereka membuat dirinya berada dalam situasi yang sangat canggung. "Gue beli kucing," jawab Alis pada akhirnya.

"Loh? Lo kan nggak suka kucing. Kenapa tiba-tiba mau beli? Tahu cara peliharanya nggak?" tanya Rafi, berniat meledek.

Alis tahu saat ini lelaki itu tengah menatapnya dengan tatapan jahil. Namun, tatapan itu tidak begitu tampak karena tertutup oleh kecanggungan mereka.

Alis lantas menatap Revon yang dari tadi hanya diam saja. "Kan Revon bisa kasih tahu gue gimana cara peliharanya. Lagian, gue juga bakal ekstra hati-hati karena nanti udah diajarin sama dia. Eh, udah dulu, ya, kita duluan," pamit Alis sambil tersenyum kikuk.

Rafi tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Alis langsung berjalan melewati Rafi tanpa menunggu respons dari lelaki itu, disusul oleh Revon yang berjalan di belakangnya. Sebelum Revon benar-benar pergi, ia menepuk bahu Rafi dua kali. Rafi tersenyum tipis menanggapi tepukan itu.

Di dunia ini memang tidak ada yang berakhir selamanya. Bahkan mungkin persahabatan Rafi dan Alis memang sudah berhenti sampai di sini. Dan mungkin Rafi masih belum tahu kalau Alis bukan hanya sekadar menjauhinya, tapi perempuan itu juga sedang berusaha melupakannya.

26 April 2017

A Little BraverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang