Sixteen: Jaga Jarak

570 50 1
                                    

Pagi ini terasa begitu berat bagi Rafi, dia sendiri juga tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena semalam dia tidak begitu bisa tidur karena masalah kemarin. Sambil melemaskan otot leher dan meregangkan otot kakinya, Rafi membuka kulkas dan mengambil satu kotak yogurt stroberi. Semua ini karena Alis, makanya Rafi jadi suka semua minuman rasa stroberi.

"Rafi." Mendengar suara itu, Rafi langsung menepuk jidatnya dan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya berbalik badan dan mengulas sebuah senyum pada wanita paruh baya itu.

"Hari ini kamu nggak ada kegiatan apa-apa, kan?" tanya Mama, satu syal bermotif bunga-bunga itu tergulung rapi di lehernya, wajahnya tampak pucat padahal ini masih pagi hari.

Rafi menggelengkan kepalanya, meneguk yogurt yang berada di tangan sebelum bertanya, "Kenapa, Ma? Mau ke supermarket, ya? Ya udah, ayuk, Rafi temenin."

Yang anehnya, mamanya malah menggeleng. Rafi heran, biasanya kalau Mama memanggilnya seperti itu karena mau menyuruhnya menemaninya ke salon atau sekadar ke supermarket. Tapi hari ini berbeda. Sebenarnya Mama mau ngapain?

"Kamu ajak Rahel jalan-jalan gih. Kasihan dia, akhir-akhir ini mukanya murung terus. Coba kamu ajak dia ke mal, hitung-hitung kamu juga bisa sekalian refreshing dan cuci mata, kan?" kata Mama sambil tersenyum lembut.

Sejak kedatangan Rahel ke rumah ini, mamanya terus mendekatkan Rafi dengan Rahel. Sepertinya, omongannya kemarin mengenai dirinya yang hanya mau menerima Rahel itu memang benar-benar serius. Berbanding terbalik dengan Papa. Papa tampak begitu menyukai Alis sejak hari di mana mereka mulai bersahabat.

Melihat mamanya yang menatapnya dengan tatapan menohon itu, membuat Rafi menjadi tidak tega untuk menolak permintaannya. Seolah ada keajaiban, Rafi mengangguk setuju. Raut wajah Mama langsung tampak bahagia melihat anggukan kepala dari Rafi.

Sebenarnya, Rafi tidak mau mengiyakan permintaan mamanya itu. Tapi, sekali lagi, karena melihat tatapan memohon dari mamanya dan kondisi mamanya yang kurang sehat itu, akhirnya dia memutuskan untuk menyetujuinya. Tapi, untuk sekali ini saja. Hitung-hitung, ini bisa membuat mamanya senang juga. Siapa tahu kan, dengan Rafi yang nurut seperti ini, kondisi Mama akan kembali sehat lagi. Meskipun Rafi tahu bahwa kemungkinannya kecil. Tapi, dia tetap harus optimis.

Setelah itu, Rafi segera menghampiri Rahel yang sedang membaca buku di kamarnya dan menyuruhnya bersiap-siap. Rahel tampak senang saat Rafi mengajaknya keluar, ia langsung bergegas siap-siap dan mereka pergi ke mal terdekat menggunakan mobil Rafi.

"Gue nggak nyangka lo mau ajak gue keluar," ucap Rahel, menoleh ke samping sambil memperhatikan Rafi yang sedang menyetir itu dengan tatapan penuh arti, tak lupa ia tersenyum.

"Iya, Mama gue yang suruh."

Rahel manggut-manggut mengerti, sebagian dirinya merasa kecewa karena ini bukanlah niat Rafi sendiri untuk mengajaknya keluar, melainkan mamanya. Tapi, itu tidak jadi masalah bagi Rahel. Karena dengan berdua bersamanya seperti ini, itu sudah cukup bagi perempuan itu untuk merasa bahagia.

"Nanti kita nonton bioskop, oke?" Rahel tampak semangat dan sangat senang. Daritadi ia tidak berhenti tersenyum.

"Iya, gue ikutin apa kata lo aja," jawab Rafi tanpa menoleh ke sumber suara.

"Ih, mukanya jangan datar gitu. Senyum dong kayak gue, biar awet muda," ucap perempuan itu seraya terkekeh geli.

Kemudian, Rafi tersenyum tipis. Ya, Rafi sadar kalau dia tidak seharusnya terlalu cuek dengan Rahel. Toh, mereka juga bisa berteman seperti biasa. Lagian, perempuan itu juga tidak lagi menyinggung soal kejadian di atap waktu itu.

Mereka tiba di mal setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Seperti biasa, suasana mal selalu ramai apalagi hari ini adalah weekend. Dari tadi, Rahel tidak henti-hentinya berbicara. Mungkin, karena perasaannya sangat senang karena ini pertama kalinya dia jalan dengan Rafi.

A Little BraverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang