Eighteen: Dulu, iya dulu

604 53 0
                                    

Lelaki itu menopang dagunya dengan tangan kanan seiring jempolnya menggulir layar ponselnya ke atas ke bawah. Tidak ada yang menarik baginya saat melihat home Instagram yang itu-itu saja. Tapi, tiba-tiba saja satu foto menarik perhatiannya. Untuk sesaat matanya tidak berkedip, mulutnya ternganga. Alis... jadian? Tapi, sejak kapan? Dan kenapa dengan Revon?

Rafi melihat tanggal foto itu di post, dan ternyata itu dua hari yang lalu. Ini sudah tiga bulan sejak mereka menjauh seperti ini. Dan Rafi sendiri tidak percaya kalau mereka berdua sudah jadian. Pada akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk mengambil kunci mobil dan buru-buru menuju apartemen Alis.

Suasana hatinya sangat gelisah sepanjang perjalanan menuju apartemen perempuan itu. Yang membuat Rafi bingung adalah mereka menjauh selama tiga bulan dan sekarang dia mendapat kabar kalau Alis tengah berpacaran. Dengan sepupunya pula. Apakah Rafi harus mempercayai ini semua? Apa yang harus dia lakukan? Pikirannya benar-benar kacau.

Suara bel yang berbunyi tiga kali itu membuat Alis yang sedang memasak mie di dapur buru-buru mencuci tangan dan dengan cepat menuju pintu. Baru saja dia mau menyapa siapa pun orang yang memencet bel itu, tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku saat pintu terbuka dan melihat siapa orang itu.

"Kok lo bisa ke sini?" tanya Alis dengan raut wajah bingung.

"Gue nggak dikasih masuk dulu nih?" Rafi malah bertanya balik.

"O-oh, iya." Alis segera menggeser tubuhnya agak ke samping, membiarkan Rafi masuk ke dalam.

Hawa yang dingin langsung menyambut Rafi begitu ia menapakkan kakinya di ruang tamu yang tidak begitu besar ini. Ia melihat ke sekeliling. Semuanya masih sama. Sama seperti empat bulan yang lalu ia ke sini. Rafi tersenyum miris. Alis tidak dapat melihat senyum yang lelaki itu tampilkan barusan karena Rafi sedang memunggunginya.

"Mie lagi?" tanya Rafi dengan satu alis terangkat saat melihat ada panci di atas kompor.

Alis mengangguk singkat, lalu entah kenapa dia menggaruk belakang kepalanya.

Setelah itu, Rafi langsung dengan leluasa menuju dapur, seolah ini adalah tempat tinggalnya atau karena dia sudah sangat paham dengan tempat ini. Kemudian ia mematikan kompor dan menuangkan mie kuah itu ke dalam mangkuk bermotif bunga-bunga kesukaan Alis.

Alis hanya bisa mematung di tempat kala melihat tindakan Rafi. Perasaannya tidak keruan, seolah udara di sekitarnya menjadi lebih sedikit, dadanya terasa sesak melihat Rafi melakukan tindakan yang sering ia lakukan dulu.

"Tumben," ucap Rafi tiba-tiba.

"Apanya?" tanya Alis pelan.

"Nggak pakai telur," jawabnya sembari mengangkat mangkuk itu dan menaruhnya di atas meja makan. Tangan kanannya menarik salah satu kursi yang ada di sekitar meja, kemudian ia menatap Alis. "Makan gih."

Dengan patuh Alis mengikuti apa yang Rafi katakan. Jujur saja, tiba-tiba Alis merasa suasana di dalam apartemen ini menjadi begitu mencekam. Alis belum lama tinggal di sini, ini baru bulan keenam. Bukannya dia tidak punya rumah, dia punya. Hanya saja, dia sedang ingin menjauh dari keluarganya untuk sementara ini. Orangtuanya sering ribut. Setiap kali Rafi soal papa mamanya, Alis akan selalu terlihat sedih. Jadi, beberapa waktu terakhir ini Rafi belum mengungkit atau bertanya lebih jauh lagi soal itu.

Dengan perlahan, Alis mulai memakan mienya. Selanjutnya, Rafi ikut duduk di sampingnya dan menatap perempuan itu sambil tersenyum tipis. Alis merasa agak salah tingkah karena dilihatin seperti itu oleh Rafi, tapi dirinya tetap berusaha bersikap biasa saja.

"Tumben," ucap Rafi lagi.

Alis menelan mie yang ada di dalam mulutnya sebelum menyahut ucapan Rafi. "Apanya?"

A Little BraverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang