Twenty: Emosi Yang Berubah-ubah

545 51 0
                                    

Udara segar dapat dua orang ini hirup dengan lega. Daun-daun, bunga, serta rumput-rumput yang berada di sekitar mereka tampak basah karena hujan baru saja berhenti. Mereka tidak bisa duduk di bangku taman karena basah. Jadi, mereka memutuskan untuk menyusuri taman yang cukup luas ini sambil berjalan-jalan.

"Lo nggak papa, kan?" tanya Rahel, raut wajahnya tampak begitu khawatir saat melihat wajah Rafi.

Rafi lantas menggeleng pelan. "Nggak papa kok. Emang kenapa lo tiba-tiba tanya kayak gitu? Kalau habis hujan gini mah, nggak mungkin gue langsung sakit," jawab Rafi sambil terkekeh pelan.

Rahel tahu bahwa lelaki itu sengaja mencairkan suasana. Tiba-tiba saja langkah kaki Rahel berhenti, kemudian Rafi juga ikut berhenti. Rafi menatap Rahel dengan bingung.

"Masalahnya bukan itu," ucap Rahel. Kini tangannya terangkat ke pundak Rafi, menatap wajah lelaki itu, masih dengan tatapan khawatir seperti tadi. Atau bahkan lebih khawatir dari sebelumnya.

"Lo kelihatan pucat, Raf."

Rafi sontak memegang wajahnya, detik selanjutnya, dia tertawa renyah. "Ah, elo. Mungkin tadi muka gue kena bedak kali, hehehe."

"Lo nggak usah cari alasan, Raf. Lo lagi ada masalah? Atau apa? Lo bisa cerita ke gue, mungkin aja gue bisa bantu. Jangan apa-apa dipendam sendiri," tukas Rahel seraya tersenyum tipis.

Rafi mengangguk singkat. "Pasti kok," sahutnya mantap. Namun, saat dia selesai mengatakan dua kata itu, darah mulai keluar dari hidungnya, setelah itu tubuhnya langsung jatuh ke tanah. Rafi pingsan, tepat saat itu juga.

Dengan panik, Rahel langsung menelepon ambulans. Selagi menunggu mobil ambulans datang, dirinya berusaha membangunkan Rafi dengan menepuk-nepuk pipinya pelan. Namun hasilnya nihil, Rafi tidak kunjung bangun. Saat ini hati Rahel gelisah sekali, dia tidak berhenti menghela napas. Tangannya terjulur untuk menggenggam tangan Rafi saat mobil ambulans itu tiba dan membawa Rafi ke rumah sakit.

Setelah berada di ruang inap cukup lama, perlahan Rafi mulai membuka kelopak matanya. Kepala dan dadanya terasa sakit sekali. Dengan perlahan, ia mulai mengubah posisinya menjadi duduk.

Tiba-tiba, satu tangan terjulur untuk membantu Rafi. Rafi mendongak, melihat Rahel yang tengah menatapnya dengan senyum samar.

"Gue udah berapa lama nggak sadarin diri kayak gini?" tanya Rafi dengan suara serak.

"Udah beberapa jam. Gimana? Sekarang udah agak enakan belum? Ada merasa pusing nggak?" tanya Rahel beruntun. Dia menggigit bibir bawahnya. Raut wajahnya masih khawatir seperti tadi saat Rafi pingsan. Atau mungkin sekarang sudah menjadi sangat khawatir.

"Gue... ada sakit, ya?" Dengan perasaan ragu, Rafi bertanya. Lelaki itu menatap Rahel dengan sorot mata yang begitu dalam.

Kontan saja, Rahel menggeleng pelan. "Jangan ngomong sembarangan, entar yang ada lo malah beneran sakit lagi. Omong-omong, kata dokter habis ini lo harus ikut serangkaian tes, ya. Buat pastiin kalau lo emang baik-baik aja."

Rafi terkekeh seraya mengangguk. "Sip, deh. Gue udah takut tadi. Gue kira beneran ada terjadi sesuatu sama gue karena dada gue sering sakit, terus hidung gue suka tiba-tiba keluar darah, dan gue suka marah-marah nggak jelas. Tapi, syukur deh karena ternyata dugaan gue salah. Oke, nanti gue ikut tesnya." Rafi menghela napas lega, sudut bibirnya tertarik ke atas, ia tersenyum lebar.

"Ya udah, lo pasti lapar, kan? Lagian, ini juga udah lewat jam makan lo. Mau dibeliin makanan apa?" tanya Rahel, berniat mengalihkan pembicaraan. Oh ralat, tidak sepenuhnya mengalihkan, tapi memang sekarang ini sudah lewat jam makan Rafi.

"Gue mau bubur ayam aja deh, makasih, ya. Sebagai gantinya, besok-besok gue traktir lo makan yang enak deh."

Rahel mengacungkan jempolnya. "Siap! Gue beli dulu, ya, lo jangan kabur ke mana-mana," ucap Rahel mengingatkan, kemudian ia melambaikan tangannya seiring dirinya berjalan keluar kamar.

***

Suara banting-banting barang terdengar dari dalam ruangan Rafi begitu Rahel baru akan membuka kenop pintu. Matanya langsung membulat begitu pintu terbuka. Barang-barang berserakan semua di lantai dan Rafi tampak frustasi. Rambutnya acak-acakkan dan kedua tangannya kini ia taruh di kepalanya selagi mulutnya bergumam tidak jelas.

Lantas, Rahel menaruh dua porsi bubur ayam itu di atas meja yang ada di depan sofa, lalu dengan cepat mendekati Rafi dan merangkulnya lembut. Rahel berusaha menenangkan Rafi dengan menepuk-nepuk punggungnya. Awalnya, Rafi masih tidak bisa tenang, tapi semakin lama dirinya mulai lebih tenang.

4 Mei 2017

A Little BraverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang