CHAPTER 3 PEP TALK

10 1 0
                                    

Hari pun berganti menjadi bulan...

Menitipkan Mei pada Izumi Nanase menjaadi suatu hal yang biasa baginya. Dan beberapa hari terakhir, Izumi selalu mengundangnya untuk makan malam di apartemennya. "Rasanya menyenangkan untuk memiliki teman bicara setelah sekian lama."

Shinjiro juga merasa Izumi adalah teman bicara yang menyenangkan. Meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak akan ada yang berubah dari Shinjiro. Meskipun ia telah membuka diri untuk orang lain. Namun tembok yang telah dibangunnya setelah 10 bulan ini tidak dapat dirobohkan begitu saja. Namun yang Shinjiro tidak sadari, batu untuk membangun tembok itu perlahan-lahan berjatuhan. Dengan pikiran itu, Shinjiro pun tertidur. 

***

Shinjiro berdiri di depan pintu rumahnya. Ia sudah menyiapkan bunga untuk istri tercintanya dan sebuah boneka beruang untuk putrinya yang masih kecil. Senyum bahagia terpancar pada wajahnya. Ia mengetuk pintu untuk mengejutkan mereka berdua.

Tidak ada jawaban.

"Mereka pergi kemana? Ah, mungkin mereka tidak dengar."

Shinjiro memutar knop pintu dan ternyata tidak dikunci! Shinjiro masuk dan bau masakan menyeruak ke hidungnya. Ia sangat mengenali bau masakan ini. Shinjiro tersenyum, ini bau makanan kesukaannya. Ia berjalan menuju dapur dan...

Tidak ada siapa-siapa... Hanya ada air yang sudah mulai mendidih di dalam panci. Tutup panci diatasnya bergetar keras, asap menyeruak sampai keluar jendela. Air sup yang ada di dalam panci mulai meluber keluar. Shinjiro segera mematikan kompor yang masih menyala. Suasana rumah kembali sunyi.

"Mei? Keiko? Kalian ada di mana?" panggil Shinjiro. Shinjiro naik ke lantai dua. Di sana terdapat kamar anak perempuannya. Shinjiro mengetuk kemudian membuka pintu dengan perlahan.

"Mei, ayah bawakan bo..." Shinjiro membeku. Bunga mawar dan boneka beruang dalam pelukannya terjatuh begitu saja. Tubuhnya tidak bisa bergerak dan matanya nanar dengan pemandangan yang ada di hadapannya.

Ia melihat istrinya sedang menggenggam pisau dan mengangkatnya, tapi bukan itu yang membuat Shinjiro terdiam, tapi pada siapa yang dia mengarahkan pisaunya. Putri satu-satunya yang sedang tertidur pulas dengan terbungkus selimut bergambar beruang  kelihatannya tidak menyadari apa yang akan terjadi padanya.

"HENTIKAN! KEIKO HENTIKAN!" teriak Shinjiro.. tapi tampaknya Keiko tidak dapat mendengar teriakan Shinjiro. Jantungnya sudah berdetak tak beraturan. Adrenalin mulai memacu, membuat segalanya menjadi kabur. Istrinya mengangkat pisau tinggi-tinggi.

"JANGAN!!" Shinjiro berlari secepat kilat ke arah istrinya.

Krek!! Shinjiro mendengar seperti sebuah cermin yang retak dan kemudian pecah, peristiwa di hadapannya berganti. Sekarang bukan lagi, Keiko dan Mei, putrinya. Pemandangan di hadapannya berubah menjadi pemakaman. Dua buah peti mati berada di hadapannya dengan orang-orang yang mengelilinginya. Duka yang ia rasakan begitu pekat, begitu nyata. Ia sedang memandang kedua peti mati itu. Tampak orang-orang yang berusaha menghiburnya, tapi ia tidak dapat merasakan apapun.

Shinjiro jatuh berlutut. Tubuhnya mati rasa. Wajahnya pucat. Ekspresinya datar. Semua emosinya ikut terkubur bersama dengan kedua peti mati itu. Ia sama sekali tidak menyangka dalam waktu yang sama, dalam jam yang sama dan dalam detik yang sama, kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya terenggut darinya. Hal itu meninggalkan jejak luka yang sangat besar dalam jiwanya. Dan tidak akan ada yang bisa menyembuhkan luka yang menganga ini.  Ia ingin berteriak namun tak dapat, mulutnya telah terkunci. Teriakannya tidak akan membawa putri dan istrinya kembali. 

Shinjiro menunduk. Ia sampai tidak punya kekuatan untuk menangis lagi. Rasanya air matanya sudah habis tak bersisa. Taka da lagi kebahagiaan, tak ada da lagi warna. Semua hanya ada warna hitam pekat. Warna duka. Nafasnya kembali sesak. 

Somewhere in NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang