CHAPTER 10 THE DAY BEFORE THE D DAY

3 0 0
                                    

Perkataan Sayaka kemarin menjadi rutinitas mereka bertiga setiap hari. Pada pagi hari sampai sore, Shinjiro akan bekerja seperti biasanya dengan bantuan Sayaka untuk menjaga Mei. Pada saat ia pulang, Sayaka selalu memasakkan makan malam untuk mereka berdua. Mei sudah bisa makan bubur bayi sekarang. Dan pada saat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, Sayaka akan bersiap untuk bekerja.

Shinjiro penasaran dengan pekerjaan Sayaka dan dia pun pernah bertanya tentang hal itu, tapi Sayaka hanya berkata bahwa ia memang sengaja memilih untuk bekerja pada shift malam karena gajinya yang tinggi serta dapat beristirahat pada pagi sampai sore hari. Shinjiro pun tidak bertanya lagi setelah itu.

Sebulan pun berlalu dan Mei bertumbuh semakin besar. Sekarang dia sudah mulai bisa untuk berceloteh walaupun tidak jelas. Dia pun sudah bisa untuk duduk sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal itu terjadi suatu siang pada saat Shinjiro sedang bekerja.

Semakin hari, Shinjiro semakin menyayangi Mei seperti putrinya sendiri. Dia sudah lupa bahwa Mei bukanlah anak kandungnya. Uang dari si pengirim misterius pun masih tetap ada setiap bulannya dan Shinjiro bersyukur akan hal itu. Meski ia terus berharap bahwa si pelaku akan menunjukan dirinya.

Semakin hari Shinjiro melihat bahwa wajah Mei semakin mirip dengan dirinya dan Sayakalah yang pertama kali mengatakan hal itu. Tapi Shinjiro pernah mendengar dari seseorang bahwa wajah seorang anak akan semakin mirip dengan yang merawatnya dan dia percaya bahwa hal itu nyata. Dia juga melihat wajah Sayaka yang terpantul di wajah Mei. Shinjiro juga menyadari hal itu, tapi Sayaka hanya tertawa dan menanggapnya bercanda.

Suatu ketika di hari libur, telepon rumah Shinjiro berdering. Hal ini membuat kening Shinjiro mengenyit karena belum pernah ada orang yang menelponnya semenjak kejadian "itu.  Lagipula dia tidak ingat pernah memberi nomor telepon apartemennya pada siapapun kecuali Sayaka.

Tapi saat ini Sayaka sedang berada di dalam kamar apartemen di sebelahnya. Untuk apa dia menelpon Shinjiro. Dia pun akhirnya mengangkat telepon tersebut dengan rasa curiga.

"Halo?"

"Halo, Shinjiro? Kaukah itu?" Suara wanita terdengar di ujung saluran telepon. Shinjiro mengernyitkan kening, ia berusaha mengingat siapa pemilik suara yang menelponnya.

"Ya, saya sendiri. Boleh saya tahu siapa yang menelpon?" 

Hening sejenak.

"Begitu sibukkah kau sampai-sampai melupakan orang yang sudah melahirkanmu ke dunia ini? Ataukah kau terbentur kemudian mengalami amnesia sampai-sampai kau lupa kepada ibumu sendiri?"

Mendengar itu, Shinjiro serasa seperti dihantam oleh angin topan. Dua detik kemudian ia pulih dari kagetnya, "Oh maafkan aku ibu. Soalnya suara ibu terdengar berbeda di sini."

Dari ujung sana, ibunya mendesah, "Jangan beralasan, Shinjiro. Ibu tahu kau sedang berbohong walaupun dari telepon."

"Maaf, bu. Habisnya ibu sudah lama sekali tidak menelpon. Jadinya aku lupa suara ibu bagaimana. Oh ya ada apa ibu menelponku? Tidak biasanya."

"Begini, ibumu memutuskan untuk mengunjungimu. Sudah lama sekali ibu tidak ke Tokyo. Ibu ingin mengunjungi teman-teman lama ibu sekali melihat keadaamu. Lagipula kau tidak sibuk bukan?"

Shinjiro hampir saja tersedak air liurnya sendiri karena mendengar berita yang dibawakan oleh ibunya. Pandangannya beralih kepada Mei dan Sayaka yang sedang bermain bersama. Bagaimana ia akan menceritakan kalau dia mempunyai seorang putri sekarang karena seseorang meninggalkannya di depan rumahnya? Apakah ibunya akan percaya? Lagipula jika ibunya melihat bahwa wajah Mei mirip dengan dirinya dan Sayaka, ibunya pasti berpikiran yang tidak-tidak.

Somewhere in NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang