Seminggu kemudian....
Sejak kejadian itu, Shinjiro tidak pernah bertemu dengan Sayaka lagi. Bukan karena Sayaka pindah atau apa, tapi karena kesibukan Shinjiro pada pekerjaannya dan pada Mei sehingga dia tidak pernah bertemu dengan Sayaka lagi, tapi terkadang wajah Sayaka terus terbayang di pikirannya.
Ekspresi terakhir yang diperlihatkan padanya tertancap di kepala Shinjiro. Lagipula, mengapa Ia merasa pernah melihat wanita itu sebelumnya? Apakah pikirannya sudah benar-benar pikun sehingga dia lupa dengan orang-orang yang pernah hadir dalam kehidupannya?
Tapi secepat pikiran itu datang, secepat itu pula pikiran itu sirna. Sekarang Mei sudah bisa berguling-guling ke sana kemari dan itu membuat Shinjiro semakin kewalahan karena pernah suatu ketika Mei yang sedang berguling, tidak sengaja menabrak meja dan hampir saja menjatuhkan jam beker kalau saja Shinjiro tidak langsung reflex menangkapnya.
Shinjiro menghelas nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Ternyata mengurus dan merawat seorang diri lebih sulit dari perkiraannya. Shinjiro tersenyum, ketika Mei menatapnya lagi. Mei kecilnya sudah mulai lincah dan tidak bisa diam di suatu tempat. Dia senang sekali untuk berguling-guling ke sana kemari sampai-sampai membuat Shinjiro menggeleng-geleng.
Malam ini, bulan bersinar bagai menghiasi lukisan langit yang gelap bersama bintang-bintang. Entah mengapa perkataan Sayaka waktu terakhir mereka bertemu terus terngiang di kepalanya.
"Bagaimana kalau aku menerima tawaran bantuannya? Setidaknya aku tidak perlu kewalahan seperti ini. Wajahku sampai-sampai tidak terurus karenanya." Shinjiro berbaring di lantai kayu sambil menatap lampu di langit-langit kamar. Dia mengelus wajahnya yang sudah pernuh dengan jenggot dan kumis yang kasar. Ada kantong hitam di bagian bawah matanya.
Shinjiro menggeleng, "Memangnya berapa umurku? Meminta bantuan pada seorang wanita... Aku kan laki-laki. Aku harus bertahan!" Shinjiro memukulkan tinjunya ke udara. Ia menoleh kemudian melihat Mei melakukan hal yang sama. Shinjiro tertawa geli. Rasanya dia tidak tahu harus melakukan apa jika Mei tidak datang ke dalam kehidupannya.
Perlahan mata Mei tertutup kemudian terbuka lagi, tertutup kemudian terbuka lagi. Mei mulai menghisap jempolnya.
"Ah... kau sudah mengantuk rupanya." Ia mengangkat Mei kemudian menaruhnya di atas tempat tidur. Shinjiro menepuk-nepuk paha Mei sampai dia benar-benar tertidur. Beberapa menit kemudian Mei sudah berada di alam mimpi. Nafasnya teratur diiringi dengan dadanya yang naik dan turun dalam ritme yang sama.
Biasanya setelah Mei tidur. Shinjiro akan mengambil rokok dan sekerat birnya kemudian berjalan menuju teras. Dia akan merokok dan minum di teras sampai dia sudah benar-benar mengantuk. Kebiasaan buruk memang, ia sudah tahu itu dan dia juga tahu bahwa dia harus mengubahnya karena kehadiran Mei. Dia sudah melakukan kebiasaan itu dari dulu, tapi sejak istri dan anaknya meninggal dia memulai kebiasaan itu kembali.
Biasanya ketika dia melihat ke langit, dia akan membayangkan bagaimana istrinya melarangnya untuk merokok dan minum minuman keras. Shinjiro juga ingat sewaktu Keiko menyembunyikan semua kardus rokoknya dan menguburnya di suatu tempat supaya dirinya tidak melakukan hal itu kembali. Shinjiro hanya bisa tertawa melihat kelakuan istri dan putrinya.
Dia menutup mata membayangkan semua itu. Asap rokok mengalir ke atas berbentuk garis lurus. Dia menghisapnya kemudian menghembuskannya dengan kencang. Tirai yang berada di belakangnya tertutup karena dia tidak mau Mei melihat hal yang dilakukannya ini, tapi pintu geser dia buka sedikit supaya dia bisa mendengar jika Mei membutuhkannya.
Shinjiro terus menutup mata tanpa sadar jam demi jam berlalu, tapi bulan purnama tetap menghiasi langit malam dengan bintang-bintang yang terkadang melesat jatuh ke langit yang tak berujung. Dia sudah memutuskan sejak merawat Mei bahwa dia hanya akan menghisap satu puntung rokok setiap harinya, tidak lebih. Shinjiro membuka kaleng bir ketiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere in November
Любовные романыKehilangan merupakan bagian dari cerita hidup manusia. Namun ketika ada kesempatan kedua yang datang, akankah kita mengambilnya? Bertemu dengan kematian secara berulang-ulang membuatnya skeptis dengan kehidupan. Suatu ketika hidup Shinjiro Kushieda...