Theme Song : Let Me Explain - Bryson Tiller
Di sinilah kami sekarang, sebuah wedangan yang tak begitu ramai oleh pembeli. Selain karena memang sudah cukup larut, dipilihnya wedangan adalah karena irit biaya, begitulah menurut pikiran seorang Edgar. Toh, aku juga tidak masalah dibawa ke tempat seperti ini, karena aku juga bukan tipe wanita yang hrus ke restoran mahal tiap kali ingin mengobrol.
"Jadi... ya gitu deh," Edgar membuka percakapan lebih dulu.
"Ya gitu gimana?!" bentakku.
Edgar terkekeh melihatku yang geregetan menghadapi sikap irit bicaranya dia.
"Ya gitu," Edgar memberi jeda untuk melanjutkan bicaranya. "Jadi, gue itu, aduh gue bingung harus mulai darimana ceritanya--"
"Dari awal! Gue bakal siap dengerin lo ngedongeng."
Edgar menghembuskan napasnya kasar. "Gue itu salah satu orang yang gak percaya sama yang namanya cinta."
"What? like seriously? you know, all of people--" Aku memotong perkataannya. Namun belum selesai aku brrbicara, Edgar balik memotong ucapanku.
"Sshh! Jangan disela dulu, please! Keburu gue nggak mood cerita nih. Gue juga nggak semata-mata anti banget sama yang namanya cinta. Disini ada sejarah awal mulanya. 'Edgar kecil' itu masih percaya sama cinta dan kasih sayang yang dia dapet dari orang tuanya. Tapi lambat laun, rasa sayang dan cinta itu udah jarang gue dapetin. Bokap yang sibuk ngurusin Bisnis, nyokap yng sibuk sama arisan sosialitanya, sampe-sampe 'Edgar kecil' udah gak diperhatiin lagi sama mereka. Dia tumbuh dan besar bukan bersama orang tuanya, melainkan sama pengasuhnya.
"Miris nggak sih? Orang tua gue sendiri, Sen! Dia nggak pernah peduliin nilai sekolah gue yang meningkat ataupun sebaliknya. Mulai remaja, gue cari pelarian. Gue pengen dapet perhatian. Dan gue pernah masuk ke 'dunia gelap'. Belum lama gue main-main di dunia itu, ada anggota di situ namanya, Tristan. Gue biasa manggilnya Bang Tristan, dia cukup dengan sama gue waktu itu, dia juga gue ceritain kenapa gue masuk ke dunia kayak gitu. Setelah tau alesan gue, dia langsung nyeret gue keluar dan jauh-jauh dari sana. Dia banyak banget nolong gue."
"Terus sekarang lo masih komunikasi sama ai Tristan itu?" aku bertanya, karena sudah tidak tahan hanya diam saja.
Edgar mengangguk kecil. "Kalo gue lagi kesepian, bosen di rumah, nggak ada kegiatan, gue sering main ke kost-an dia. Gitaran bareng, curhatan lah, ps-an, banyaklah. Dia udah gue anggep sebagai abang gue sendiri. Pada saat itu, gue udah yang kayak gak betah di rumah, karena tiap kali ke rumah yang gue lihat cuman orang tua gue yang lagi bertengkar. Suntuk dan beban psikis gitu sih. Entah apa yang mereka perdebatin, pokoknya setiap harilah mereka kayak begitu. sampe tiba dihari ulang tahun gue, bokap nuntut cerai nyokap gue. Di depan mata kepala gue sendiri! Sejak hari itu, presepsi gue tentang cinta itu 'bullshit' 'temporary' 'pain'"
Aku menyimak tiap kalimat yang Edgar lontarkan. Baru menyadari bahwa Edgar memiliki kehidupan yang cukup keras. Dan aku langsung berpikir, bukan cuman aku saja yang mendapat cobaan hidup.
"Gar, lo tau nggak? lo coba deh ngilangin mind set lo tentang cinta itu. Gue juga ngalamin masa yang lo alamin juga kok. Tapi itu nggak ngebuat gue jadi anti sama yang namanya cinta. Karena pada prinsipnya, lo berani jatuh cinta berarti lo jiga harus berani nanggung rasa sakitnya. You'll feel the love even it getin hurts. Because pain is a part of love."
Edgar menatap tajam ke arahku selama beberapa detik. Dan hal tersebut membuat ku salah tingkah sendiri. "kenapa?" Ku beranikan untuk bertanya. Karena jantung ku juga sudah mulai sulit dikontrol.
"Gue bisa liat kok," balasnya masih dengan menatap tajam mataku.
"Liat apa?"
"Rasa sakit itu. Dia sembunyi dibalik mata indahmu. So, you turn! tell me your whole story."
KAMU SEDANG MEMBACA
HEART OF DARKNESS
Teen FictionSegala hal di dunia ini bisa saja terjadi, mungkin memang tak pernah terbayangkan di detik sebelumnya. Tapi kalau sudah takdir menginginkan itu terjadi, kita bisa apa? Kita ini hanya tokoh yang bermain dalam sebuah drama, dan Tuhanlah yang mengatur...