Bukan Wanita Pilihan

262 18 10
                                    

Author : brynamahestri

Judul : Bukan Wanita Pilihan.

Gift yang dipilih : Negeri Para Roh.

******

"Mar, apa istrimu itu ndak bisa masak? Sayur opo tho ini? Ndak ada rasanya." Sumitro, wanita enam puluh tahun itu mendorong piring makan yang masih belum terjamah. Menatap Damar, putra semata wayangnya, sambil menyandarkan punggung ke kursi makan.

"Maaf Bu, biar Woro masakkan sayur yang baru ya." Woro bersiap berdiri menuju dapur.

"Wes ora usah*. Aku sudah ndak lapar lagi," ucapnya tanpa melirik sedikit pun pada Woro. (*Sudah tidak perlu)

Woro menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali mertuanya bersikap seperti itu. Bahkan hampir setiap kali Damar makan malam bersama di rumah, ada saja hal yang tidak disukai atau tidak sesuai dengan keinginan Sumitro.

"Ibu dhahar*, njih. Bukannya Ibu belum makan malam? Damar ndak mau kalau Ibu sampai sakit lagi. Bukankah Ibu harus minum obat?" Woro tersenyum pada Damar yang selalu bisa membujuk ibunya itu. (*Makan)

Sumitro menatap kesal pada Woro. "Coba lihat suamimu ini. Sudah capek-capek banting tulang buat nafkahin kamu, tapi kamu ndak becus ngurus rumah."

Woro menunduk, kembali menekuri butir-butir nasi di piring yang baru setengah dijamahnya. Menyesap air putih dari tepi gelas, mencoba melegakan sesak di dada. Sumitro tidak pernah gagal membuat Woro sakit hati. Memang malam ini Woro hanya sempat memasak sayur lodeh terong, menggoreng bandeng dan membuat tempe bacem. Tapi, Woro yakin masakannya tidak keasinan pun tidak kurang garam. Manis dan pedasnya juga pas di lidah.

Damar menarik napas dalam. Sesaat dia melihat Woro yang tengah menunduk, yakin bahwa saat ini mata wanita itu tengah merebak menahan tangis.

"Ehem."

Damar menoleh menatap Sumitro, sadar bahwa beliau meminta perhatiannya. "Damar suapin ya, Bu." Damar mulai menyuapkan sesendok demi sesendok nasi hingga isi piring pun kandas tak bersisa.

"Istrimu itu memang ndak bisa apa-apa, Mar. Ibumu ini sampe pusing mikirin bagaimana nasibmu kalau Ibu sudah ndak ada lagi. Kalo Ibu ndak nyuruh apa ya bisa dia temandang gawe*? Jantung ibumu ini sudah ndak beres, Mar. Ndak tahu berapa lama lagi Ibu bisa hidup. Ndak rela rasane ninggalin kamu sama wanita macem Woro." (*Bekerja)

Damar hanya terdiam, menatap hampa pada tumpukan piring kotor di atas meja makan. Sedangkan Woro memilih untuk merapikan meja dan kembali berkutat di dapur, mencuci tumpukan piring kotor.

Seperti itulah Damar, mungkin sebagian orang mengatakan dia anak berbakti karena tidak berani membantah orang tua, terlebih ibu yang telah melahirkannya. Beberapa akan berpikiran bahwa Damar terlalu takut pada Sumitro, bahkan tidak bisa membela istrinya sendiri. Namun itulah Damar. Laki-laki yang sangat Woro cintai. Laki-laki yang dipilihnya untuk menjadi imam di dalam biduk rumah tangganya.

Samar-samar masih bisa terdengar berbagai ocehan Sumitro tentang kelakuan Woro hari ini, tentu saja dengan versinya sendiri. Woro sengaja berlama-lama di dapur demi menghindari celetukan pedas mertuanya lagi. Biar saja Damar yang meladeni, toh seharian tadi Woro sudah cukup kenyang mendengar omelan Ibu dari pria yang dicintainya itu.

Yah ... Cinta. Satu kata itu yang membuat Woro tetap bertahan dalam kesabaran tak terbatas. Bukannya dia tidak tahu, bahkan sejak dia belum menikah dengan Damar pun Woro telah sadar bahwa Sumitro tidak menyukainya.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat bagi Woro untuk mencoba mencuri hati Sumitro. Namun tetap saja Sumitro belum bisa menerimanya sebagai istri sah Damar. Woro bukanlah wanita seperti yang dituduhkan Sumitro padanya. Dia sangat rajin, cekatan dan cepat tanggap. Hanya satu kesalahan Woro, dia terlahir dari keluarga tak mampu. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat Woro berusia empat belas tahun, sedangkan kedua adiknya masih kecil. Sehingga ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu ibunya berjualan pecel di pasar Klewer.

Bebaskan PilihanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang