TONO DAN CITA-CITANYA

252 27 2
                                    

Author : Icha_cutex

Judul : Tono dan cita-citanya.

Gift yang di mau : NEGERI PARA ROH

*******

"Bapak tidak setuju, Ton!"

Kalimat penolakan itu terdengar jelas dan tak terbantahkan di telinga Tono saat ia mengutarakan cita-cita mulianya. Larangan keras dari Bapak, bahkan seluruh penghuni rumahnya. Sejak awal Tono sudah menyangka akan reaksi yang diterimanya. Tetap saja Tono nekat, percaya diri dan yakin akan keputusan yang diambilnya tanpa pikir panjang.

Satu tahun lalu dia sudah tamat SMA. Belum ada biaya menyambung mimpi menjadi 'anak kuliah' untuk mensejajarkan status sosialnya dengan para anak tetangga. Bukankah ilmu tak harus sepanjang mana gelar yang mengikuti nama, melainkan seluas apa bisa bermanfaat untuk orang lain. Nasehat Ustadz Zulkifli terus Tono ingat.

Tono ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Karena itulah ia membantu ibunya di warung nasi pecel setahun terakhir semenjak ia lulus sekolah. Tugas Tono membuat teh atau kopi, sementara ibunya meracik pesanan nasi pecel. Satu tahun membantu ibunya, terbersit dalam benak Tono untuk bekerja. Berbekal nasehat singkat bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, Tono nekat melamar kerja dengan modal ijazah SMA miliknya.

Dia diterima, pada akhirnya. Sayangnya, Tono lupa meminta izin orang tuanya soal ia akan bekerja. Begitu hari dinyatakan ia bisa bekerja mulai besok pagi, hatinya berkecamuk cemas. Inilah jawaban yang sudah Toni duga.

"Bapak tetap tidak setuju. Meskipun gaji yang kamu dapat lebih besar dari penghasilan Bapak narik becak."

Tono menghela napas. Percuma ia berdebat dengan Bapak. Saat ini orang yang mengajarinya pertama kali naik sepeda belasan tahun silam, nampak menahan emosi. Tono yang masih menundukkan wajah, beranjak pamit untuk masuk ke dalam kamar.

****

Warung nasi pecel ibunya tampak ramai seperti biasa. Sebelum subuh, semua penghuni rumah sudah repot dengan tugas masing-masing. Ibu akan mencuci beras kemudian menanaknya di kompor buatan semen dengan kayu kering sebagai bahan bakarnya. Bapak yang masih memakai sarung, bolak-balik dari sumur untuk mengangkut air. Tini, adik satu-satunya Tono karena memang mereka dua bersaudara, tengah merebus kangkung, kecambah dan mengupas mentimun. Tono sendiri, tengah mencelupkan tahu dan tempe ke dalam baskom berisi air dan campuran garam. Setelahnya, Tono menggorengnya hingga kering.

Air mendidih sudah siap, nasi tinggal mengangkat, sambal juga sudah dilarutkan. Saatnya warung dibuka tepat solat subuh secara berjamaah yang diimami bapak Tono selesai. Sambil menyiapkan apa yang masih belum tersaji, beberapa orang tampak sudah masuk ke dalam warung. Sementara ibunya meracik nasi pecel, Tono dengan sigap membuatkan kopi pesanan pembeli.

Rumah Tono dan keluarganya bukan di daerah pedalaman atau desa terpencil. Bisa dibilang rumah mereka berada di pinggiran kota. Rumah mereka berdinding kayu ulin. Berbeda dengan rumah mereka dulu saat di kampung halaman. Rumah berdinding batu bata kokoh yang berlapis semen kemudian dicat dengan warna putih.

Yah, keluarga Tono memang merantau ke tanah Borneo. Berharap mendapatkan hasil ekonomi yang lebih memberdayakan mereka di mata para tetangga kampung. Sudah lima belas tahun keluarga Tono menempati tanah ini. Tanah dayak, kalau orang menyebutnya.

Nasi pecel, pada akhirnya menjadi keputusan bersama yang diambil sebagai penyokong mata pencaharian utama keluarga Tono. Meski remeh, tapi dari hasil berjualan nasi pecel di tanah rantau, Tono bisa bersekolah hingga lulus SMA. Adiknya juga bisa terus bersekolah dan saat ini tengah menginjak kelas satu SMA. Kemudian bisa membeli tanah dan membangun gubuk sederhana dari kayu ulin.

Bebaskan PilihanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang