Out of The Woods

134 12 1
                                    

Author    : Bae-nih

Judul       : Out of The Woods.

Hadiah    : Confess by Collen Hoover.

******

Beban pekerjaan minggu ini benar-benar diluar dugaan. Banyak sekali barang-barang yang harus dipersiapkan untuk tiga proyek yang sedang berjalan. Sering kali aku merasa kalau kepalaku ini dipukul dari segala arah. Bayangkan saja tiga proyek di tiga tempat yang berbeda dan salah satunya berada di wilayah waktu indonesia tengah membuatku harus berpacu dengan waktu.

Kendala bahasa juga sering membuat kepalaku migrain mendadak karena aku harus mengerti Bahasa Indonesia yang diucapkan dengan logat berbeda dan dicampur dengan bahasa daerah setempat oleh supplier di seberang sana.

Sejak pagi ponsel dan telepon di atas meja selalu bersahutan, terkadang aku bingung yang mana yang harus kudahulukan. Telinga dan bahuku masih mengampit gagang telepon dan mulutku aktif berbicara dengan seorang marketing kaca dari Surabaya ketika sebuah pemberitahuan pesan masuk. Aku membukanya tanpa melihat sang pengirim.

Ping

Downy : Aku liat video kamu di ig. Ketawa kamu kayanya lepas banget. Ketawanya jangan terbahak gitu. Jelek tau.
Downy : aku cuma mau bilang itu. Met kerja.
Downy : 😚😚😚

Kampret! Umpatku dalam hati.

Me : nggak usah sirik kalo temen-temen aku lebih asik.
Me : jangan wa, telp, etece kalo cuma mau bikin mood orang jelek.
Me : 😤😤😤

Downy : Jangan marah, ini demi kebaikan kamu.

Me : Basi.

Downy : bil
Downy : bila
Ping
Ping
Ping

Aku tidak lagi membalas pesannya. Lebih baik aku kembali memfokuskan pikiran pada tumpukan kertas dan gambar proyek di atas meja yang jelas sekali meminta perhatian sejak pagi daripada membalas pesan yang selalu berhasil membuat hatiku panas.

"Beb, sambungin ke TA dong."

"Badan lo masih lengkap, kan? Telepon sendiri," balasku jutek pada seorang arsitek manja yang semakin membuat moodku terjun bebas.

"Gua nggak bawa handphone, udah si sambungin aja. Lu kan tinggal pencet-pencet telepon di depan lu terus sambungin ke gua."

Aku mengembuskan napas pasrah karena merindukan suasana kantor yang sepi tanpa jeritan telepon dan gangguan dari rekan kerjaku yang selalu meminta untuk disambungkan ke seseorang di seberang sana. Sekali saja aku ingin merasa tenang ketika menatap gambar kerja dan tumpukan kertas yang selalu berserakan agar saat pulang mejaku telah bersih yang artinya aku berhasil mencapai target kerja harian.

"Sini!" aku melambaikan tangan padanya dan menarik sebuah kertas fax yang telah kupotong menjadi ukuran yang lebih kecil dari balik kalender di samping monitor kemudian menuliskan sebuah nomer telepon, "Catet! masukin database karyawan di komputer lu dan tempel di monitor."

"Galak amat hari ini, kenapa sih?"

"No comment, udah sana. Hush ... hush," tanganku bergerak mengusirnya.

"Gua heran kenapa cewek-cewek di kantor ini galak banget. Manisnya cuma pas makan siang dan mau maghrib."

"Lu mau tahu alasannya?" aku memutar kursi dan menatap arsitek manja yang duduk di tepi meja, "karena kalian emang pantes buat digalakin."

"Betul, Bil." Dewi ikut menimpali ucapanku, "gimana gue nggak galak kalo kalian ditangih bon bensin aja lama banget."

"Ya elah Wi, bon bensin sepuluh ribu doang."

Bebaskan PilihanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang