Author : fffttmh
Judul : Mama, please...
Gift yang dipilih : Negeri para Roh.
===
"Assalamualaikum, Ree pulang."
Seperti biasa, Reenara akan berteriak jika sudah di depan pintu rumahnya, tak peduli apa pun pendapat tetangga. Ia tak perlu menunggu penghuni rumah untuk dapat masuk ke dalam, Reenara sudah nyelonong sambil menenteng sepatu yang baru saja ia lepas dari sepasang kakinya yang tertutup rok panjang. Dari arah dapur, Reenara mendengar derap langkah kaki yang mendekat kepadanya, lantas ia berbalik dan tersenyum ceria.
"Ya ampun, sepatu kamu kok gak ditaruh di raknya sih, Ree!"
"Lupa, Mam! Bentar."
Reenara bergegas menaruh sepatunya. Takut-takut ibunya akan berkhotbah panjang jika tak ia turuti. Saat berbalik menghadap ke tempat mereka tadi berdiri, Reenara sudah tak melihat ibunya diposisi semula. Ia tau ibunya pasti ke dapur lagi.
Di rumah ini, ayahnya tak mau mempekerjakan pembantu, itu pun atas permintaan ibunya juga. Alasannya klasik, perempuan itu tugasnya di dapur, ngurus keluarga, bukannya pakai baju formal kerja di kantoran.
Terkadang Ree sendiri heran, zaman sekarang masih ada yang berpikiran kolot seperti itu. Emansipasi wanita kan sudah ditegakkan, lalu apalagi yang mendasari pikiran tersebut? Tapi sewaktu Ree hendak mencoba berpendapat, ia sadar yang akan direcokinya adalah ibunya sendiri.
Ree belum siap jadi batu layaknya Malin Kundang. Maka dengan kesadarannya sendiri, ia membatalkan niatnya kala itu dan bergegas naik menuju kamarnya.
Ditengoknya jam yang bertengger manis di dinding berwarna maroon berjarak satu meter di depannya, pukul 16.30. Sudah lewat jam makan siang, ibunya pasti sedang menyiapkan makanan untuk nanti malam. Hari ini Ree dalam keadaan mood yang tidak baik untuk sekedar membantu ibunya memasak, Ree pun naik ke lantai dua menuju peraduannya.
Niatnya hendak menuntaskan novel yang kemarin malam belum selesai ia baca, namun karena kelelahan Ree malah meringkuk di ranjang queen size miliknya.
****
"Eh, bangun, coeg! Kebo banget lo."
Suara bariton yang cukup keras sontak membuat Ree mengerjapkan mata hitamnya. Lantas ia duduk dan menggerakkan kepalanya ke arah posisi berdiri laki-laki yang barusan membangunkannya.
"Makan malam ayo, lo udah ditungguin, cepetan!"
Ree tak menjawab, ia malah mengusir abang satu-satunya itu dengan isyarat tangan, dan dihadiahi dengan jitakan manis yang mendarat di ubun-ubunnya. Tepat setelah ia ditinggalkan sendiri oleh Heri, Ree bergegas turun menyusul.
Ree duduk di tempatnya biasa seraya mengangkat bibirnya menciptakan sebuah lekukan tipis yang indah meski hal itu membuat matanya menyipit, paduan antara senyum dengan mata yang memang belum sepenuhnya terbuka akibat tidur siangnya.
Kebiasaan kelurga Reenara, sebelum memulai jamuan, mereka terlebih dulu akan mengobrol tentang apapun yang sudah dilewati seharian ini. Kali ini semua tampak diam, Ree memilih ia yang akan membuka obrolan malam ini.
"Tadi siang sekolah Ree kedatangan pihak dari kampus yang lumayan beken loh, Mah, Pah. Karena aku udah kelas XII aku berminat dong masuk kampus itu. Ree kan punya prestasi, kalau gak ada biaya Ree bisa ambil beasiswa." Ree menghentikan omongannya, ingin melihat reaksi keluarganya. Tapi nihil, mereka masih bungkam. Merasa mungkin mereka ingin mendengarkan lebih lanjut penuturannya, Ree malah meneruskan.
"Gimana?" Ree menatap satu-persatu Ibunya, Ayahnya, dan terakhir kakaknya.
"Gimana apanya? Mama gak ijinin kamu buat kuliah. Di manapun."
"Tapi kan, Ma...."
"Mau kamu sekolah tinggi-tinggipun akhirnya kamu bakalan jadi ibu-ibu yang kerjaannya ngurus dapur kayak Mama."
"Ree kan bisa kerja sambil ngurus rumah, Mah."
"Cari nafkah itu urusan laki-laki, masih untung kamu Mama sekolahin sampai sekarang. Jangan jadi pembangkang, Ree."
"Mah, gak selamanya cuman laki-laki yang cari uang, kita juga ..."
Lagi-lagi ibunya memotong penuturannya Reenara.
"Mama gak mau denger apapun. Ingat Ree, kalau kamu coba-coba daftar kuliah tanpa sepengetahuan Mama, berarti kamu siap buat gak tinggal di sini lagi."
Selesai dengan ucapannya, ibu Reenara beranjak dari duduknya dan berbalik lantas berjalan menuju kamarnya. Air mukanya datar, tak terbaca. Meski mata itu menyiratkan ada sorot kecewa, pada puterinya.
Reenara pun sama, mengabaikan makanan yang sudah tersaji di atas meja, ia malah pergi ke arah tangga. Tak peduli pada dua laki-laki yang sejak tadi hanya bungkam. Ayahnya itu sepertinya tak berniat menyusul isterinya. Begitupun Heri, anak sulung keluarga Altanta itu malah sudah asik menyantap makanannya. Dasar laki-laki! pikir Ree.
Ree terbiasa dengan kekacauan yang terjadi seperti saat ini. Ibunya yang menentang keinginan Ree, atau bahkan begitu terlihat membenci Ree saat ia mengutarakan sesuatu yang begitu tak disukai ibunya. Tapi yang membuat Ree heran, biasanya Tuan Altanta, ayahnya itu akan menjadi sosok penengah jika kedua perempuan yang begitu berharga di hidupnya itu sedang bertengkar. Malam ini, ayahnya hanya diam. Berbeda dengan Heri, abang Ree itu memang terkesan dingin, tak kenal situasi.
Posisi Reenara kini sudah strategis untuk membaca, tangannya terulur mengambil novel bersampul merah yang siang tadi tak jadi ia baca. Ia memilih melupakan kejadian barusan, tak berguna jika ia terus memikirkan. Jika nanti setelah lulus SMA ia disuruh menikah, ya sudah. Toh masalah calon suami dan tetek bengeknya ibunya yang akan mengatur.
Walaupun ada sebersit rasa yang tak mampu ia jabarkan untuk saat ini, Reenara terlihat begitu kalut. Apapun itu, karena ini pilihan ibunya maka ibunya juga yang menanggung risikonya.
Reenara mengangkat bahunya acuh kemudian tenggelam dalam dunia imajinasinya, membaca pada lembar-lembar serat kayu yang membuatnya lupa diri.
****
Masih dengan seragam SMA yang ia pakai, Ree berlari memasuki area rumah sakit yang menguarkan aroma obat yang begitu menyengat. Reenara selalu tak suka bau ini, selama ia hidup, dapat dihitung dengan jari berapa kali ia menginjakkan kakinya di tempat para dokter ini beroperasi. Kali ini pun sama, kalau bukan pihak rumah sakit yang menghubunginya mengabarkan pada Ree kalau ibunya jam 10.00 pagi tadi dilarikan ke rumah sakit karena pingsan mendadak. Apalagi ini, pikir Ree. Kalau bukan saja yang sekarang berada di dalam rumah sakit ini adalah ibunya, sudah pasti Ree memilih angkat kaki dari tempat ini.
Setelah tadi ia bertanya pada suster sekaligus merangkap sebagai resepsionis rumah sakit, Ree kini menemukan ruang rawat ibunya.
Reenara heran saat ia masuk ke kamar rawat ibunya, ayahnya dan Heri tidak ada di sini. Namun untuk keganjilan yang satu ini, Ree memilih mengabaikan terlebih dulu. Ia melanjutkan langkah kakinya menuju ranjang tempat ibunya berbaring. Ibunya yang memang sudah sadar lantas tersenyum pada Ree.
"Kok bisa, Mah?" Ree tau ibunya dengan pasti dapat menangkap maksud dari pern
tanyaannya.
"Papa kamu sudah nalak Mama." Ibu Ree memalingkan wajahnya. Tak mau menunjukkan air matanya pada puterinya.
"Mah." Otak Ree mendadak kosong. Kemudian dengan lembut memeluk ibunya.
"Abangmu juga ikut ayahmu."Ree menggeleng, mengisyaratkan ibunya agar tidak melanjutkan ucapannya.
"Udah Mah, udah."
Dua pelindungnya kini sudah pergi. Dalam hati Ree menyalahkan keegoisan ibunya yang begitu mengagungkan prinsipnya. Mungkin selama ini ayahnya sudah begitu lama memendam marah, Ree cukup tau selama pernikahan mereka, ibunya sepeserpun tak mengeluarkan uang pribadi untuk keperluan keluarga. Selalu bergantung pada ayahnya.
Mungkin inilah temponya, imbasnya pun terkena Ree.
Tadi ia sudah membicarakan masalah biaya rumah sakit. Ree sebenarnya tak ingin mengganggu ibunya dulu, kejiwaannya sekarang mungkin sedang terguncang. Tapi apa daya, ibunya sendiri yang membuka topik itu.
"Ree, sekali lagi Mama mau bicara sama kamu," Reenara yang asik dengan benda pipih di genggamannya pun mengangkat kepala, tak menunggu dua kali, ia langsung beranjak dari posisi bersandarnya di dinding beton yang dingin.
"Ya, Mah."
"Setelah Mama pikir, kamu memang lebih baik kuliah saja. Kita tak bisa hidup hanya mengandalkan uang bulanan dari ayahmu. Untuk sementara ini Mama masih punya simpanan. Biaya kuliahmu pun kamu mungkin bisa kalau mendapat beasiswa.
"Memang berat, tapi Mama harap kamu paham masalah yang mendera kita sekarang ini."
Dalam hati Ree bersorak riang, meski sekelebat kecewa muncul di dadanya. Setidaknya, kini ibunya menyadari selama ini prinsip yang ia jalani tak sepenuhnya tepat.
===--END--
rachmahwahyu WindaZizty umaya_afs megaoktaviasd c2_anin NisaAtfiatmico deanakhmad irmaharyuni AndiAR22 whiteghostwriter Nona_Vannie Icha_cutex 0nly_Reader bettaderogers Vielnade28 spoudyoo glbyvyn meoowii Riaa_Raiye
umenosekai aizawa_yuki666 destiianaa RaihanaKSnowflake somenaa realAmeilyaM iamtrhnf summerlove_12 TriyaRin beingacid nurul_cahaya TiaraWales HeraUzuchii FairyGodmother3
Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri brynamahestri veaaprilia sicuteaabis holladollam Nurr_Salma MethaSaja Bae-nih Intanrsvln EnggarMawarni NyayuSilviaArnaz JuliaRosyad9 xxgyuu YuiKoyuri SerAyue
KAMU SEDANG MEMBACA
Bebaskan Pilihanmu
ContoKUMPULAN SHORT STORY MEMBER WWG. Didedikasikan khusus untuk kak Asri Tahir untuk menjawab tantangan beliau mengenai cerpen bertemakan kebebasan. So, Please feels free in your life. Enjoy dengan suguhan ala WWG tentang arti sebua...