Belajar!!

21 2 0
                                    

Kegiatan belajar mengajar kami di semester lima berjalan dengan lancar, empat bulan kulalui dengan kehangatan teman-teman sekelas, membuatku menghilangkan pemikiran "aku gak peduli", "itu gak penting" dan "itu bukan urusanku" terhadap mereka. Hanya dalam waktu empat bulan, aku memiliki teman sejumlah tiga puluh, aku sudah tidak merasa kesepian lagi.

Seperti yang dikatan pak Rio, kami harus kompak. Bahkan aku dan Azka jauh lebih dekat dari dua tahun yang lalu, tapi hanya sebatas teman. Nggak cuma aku aja sih yang dekat dengan Azka, murid lainnya juga. Dan sekarang, aku sedang berjalan bersama dua temanku yang bernama Febri dan Sonia, kami bertiga baru saja dari kamar mandi dan hendak kembali ke kelas.

"Kaila!"

Merasa dipanggil, aku pun menoleh, diikuti oleh kedua temanku yang menghentikan langkah kakinya, ternyata yang memanggilku pak Rio.

"Ke ruang guru sebentar yuk, ada yang mau saya omongin."

Wah ada apa nih? Entah kenapa kok rasanya ada perasaan takut ya, saat pak Rio memerintahkan itu, ditambah wajah pak Rio yang serius.

"I-iya pak." jawabku.

Dengan bahasa non verbal, aku menyuruh dua temanku untuk kembali ke kelas terlebih dahulu, awalnya mereka sempat khawatir, tapi akhirnya mereka mau untuk ke kelas duluan.

Aku berjalan di belakang pak Rio sambil memikirkan kesalahan apa yang kubuat akhir-akhir ini, rasanya hanya kesalahan kecil seperti tertidur di kelas dan terlambat ke lapangan saat pelajaran olahraga, oke itu pelanggaran yang 'cukup' fatal.

Pak Rio memasuki ruang guru dan aku mengekor di belakangnya, dia membuka-buka buku sambil mencari sesuatu, dan aku yang berdiri di depan mejanya sedikit gemetaran.

"Nilai UTSmu kemarin ancur." ucapnya sambil memperhatikan buku yang terbuka di atas mejanya.

Seolah petir yang menyambar, ucapan pak Rio membuatku tersentak lalu menunduk, itu kesalahan terbesar. Tapi mau bagaimana lagi? Pelajaranku di kelas dua tertinggal jauh, dan materi kelas dua serta kelas tiga itu saling berhubungan.

"Terutama di pelajaran PPKn dan Sejarah, nilaimu di bawah KKM. Saya tau, kamu ketinggalan banyak pelajaran saat di kelas dua. Kamu harus berusaha keras buat nyusul ketertinggalan itu, kamu mau kan?"

Aku mengangkat kepalaku dan menatap pak Rio, "mau pak."

"Kalau begitu, kamu harus minta tolong Azka buat ngajarin kamu."

"Ha?" kenapa harus Azka?

"Minta tolong Azka buat ngajarin." ulangnya. "Dia pasti mau kok."

"Tapi, kenapa harus Azka? Kenapa gak pak Rio aja?" tanyaku setengah memprotes.

"Kaila, saya juga harus bantu teman-temanmu yang lain, kamu kan tau kelasmu itu kelas ketoprak." jelasnya.

"Tapi pak..."

"Ayolah, daripada nilai akhir semester limamu jelek dan berdampak buruk di UNmu, emang sih nilai rapot tidak mempengaruhi nilai UN, tapi nilai rapot itu mempengaruhi mentalmu, kalau nilai rapotmu bagus, otomatis kamu akan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi saat UN." ujar pak Rio.

"Jadi, mau ya? Lagi pula, biar kamu bisa lebih deket sama Azka." aku menelan ludahku saat pak Rio mengatakan kalimat itu.

"Iya deh." balasku pasrah, mau gimana lagi? Nyatanya nilaiku memang benar-benar ancur.

"Nah, gitu dong. Kalau begitu, silakan kembali ke kelasmu." senyuman tersungging di bibir pak Rio.

Dengan lesu dan bahu mengendur, aku pun berjalan keluar dari ruangan ini menuju kelasku. Akhir-akhir ini memang aku lebih dekat sih dengan Azka dan selalu diusili setiap hari, tapi apa dia mau menolongku?

Saat aku tengah melintasi taman, aku melihat sosok Azka tengah duduk di bawah pohon sambil memainkan PS Vita di tangannya dengan telinga tertutup headphone, rasanya seperti deja vu. Dengan sedikit keberanian, aku pun mendekati Azka dan duduk di sebelahnya, dia hanya melirik sebentar lalu kembali fokus pada gamenya dan aku sengaja diam sampai dia benar-benar menyelesaikan permainan itu.

Lima belas menit berlalu dan selama itu aku menunggunya menyelesaikan game yang ada di tangannya, aku mulai bosan, kudoakan semoga dia-

"Ada apa?" tanyanya yang menoleh ke arahku.

"Ngegamenya udah selesai?" aku malah balik bertanya.

"Udah, gue udah menang." jawabnya, dan aku baru sadar kalau headphone di telinganya sudah dilepas.

"Lo mau gak jadi..." ucapku ragu-ragu. "Guru private gue?"

"Ogah." balasnya enteng lalu bangkit dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkanku yang masih dalam keadaan bengong.

Fix! Azka super nyebelin!

Setelah kesadaranku kembali, aku meraih ponsel yang berada di kantung bajuku dan membuka aplikasi message, berniat untuk mengirim pesan pada seseorang.

'Pak, Azkanya gak mau.'

Tulisku seolah mengadu, lalu mengirimkannya pada nomor pak Rio. Tak lama kemudian pak Rio membalas,

'Semangat! Paksa terus Azka. Ingat, ini demi nilaimu.'

Aku merengut membaca pesan itu, seketika image pak Rio di benakku berubah, dia seperti guru-guru lainnya yang hanya menuntut nilai bagus dari muridnya, aku sedikit kecewa.

***

Keesokan harinya aku kembali memaksa Azka supaya mau membantuku belajar, dan sama seperti kemarin aku langsung ditolak. Hari berikutnya aku terus memaksanya, tapi jawaban yang keluar dari mulut Azka tetap sama.

Pak Rio yang melihatku seperti itu terus menyemangatiku, dia juga memberi jam tambahan sih pada murid-murid lainnya dan mengajari mereka satu persatu.

Aku terus memaksa Azka, tak peduli dia tengah bermain basket, tidak peduli saat dia tengah tiduran di atas pohon atau saat dia bermain laptop, tak peduli pandangan teman-teman sekelasku terhadapku, yang penting nilaiku naik saat UAS nanti. Dan jawaban yang kudengar masih tetap sama, kalau begini aku harus ngeluarin jurus rahasiaku.

Di taman yang terletak di dekat kantin, aku berjalan mendekati Azka yang tengah tertidur di atas bangku panjang dengan sebuah buku menutupi wajahnya. Karena bangku itu cukup lebar, aku bisa duduk di samping tubuh Azka.

"Azka..." panggilku lirih.

Orang yang kupanggil hanya mengangkat buku di wajahnya sedikit lalu kembali menutup buku itu pada wajahnya.

"Ogah." ucapnya, bahkan aku belum mengatakan apapun.

"Gue orangnya gampang putus asa lho, gue udah gak tau gimana caranya supaya nilai gue meningkat, kalo lo gak mau nolong gue, mungkin lebih baik gue mati bunuh diri." ujarku sambil menunduk.

"Bodo." balasnya acuh.

Kkrrrttt.. Kkrrttt..

Suara cuter terdengar, tangan kananku yang memegang cuter kudekatkan pada nadi di tangan kiriku.

"Oi oi! Gak disini juga kali." Azka yang mendengar suara cuter langsung beringas bangkit dan duduk di belakangku.

"Bodo." balasku mengikuti nada suara Azka yang tadi.

"Gue nyerah, udah gak ada lagi yang mau ngajarin gue, bahkan pak Rio pun gak mau." setetes cairan bening menetes dari pelupuk mataku, cuter itu kian mendekat pada nadiku.

Tangan kanan Azka mencengkram pergelangan tangan kananku yang memegang cuter dan tangan kirinya dia gunakan untuk mengambil cuterku, posisi seperti ini seolah dia memelukku dari belakang, pipiku panas.

"Iya gue ajarin." bisiknya di telinga kiriku.

"Serius?" tanyaku sedikit menoleh ke arahnya yang ada di belakangku dengan mata yang berbinar.

Azka memundurkan badannya, dia menutup cuterku dan meletakkan benda itu di saku baju putihnya.

"Iya." balasnya dengan nada menyerah, aku lalu tersenyum dan menghapus air mata palsuku.

"Terimakasih."

Yes! Jurus rahasiaku berhasil. Bunuh diri? Yang bener aja, aku masih pengen hidup kali.

Secret LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang