First Lesson

21 1 0
                                    

Bel pulang telah berbunyi, saatnya semua murid berkemas untuk pulang, lain halnya denganku yang harus belajar dengan Azka.

"Ka, ajarin gue matematika ya." ucapku setelah murid terakhir selain aku dan Azka keluar dari kelas ini.

Azka yang sudah mengemasi buku berdiri lalu duduk di pinggiran mejanya, dia menyeringai lalu berkata, "boleh, tapi ada syaratnya."

Kok aku merinding ya?

"Pake syarat segala?" tanyaku ragu.

"Di dunia ini gak ada yang gratis." jawabnya datar.

"Jadi lo gak ikhlas ngajarin gue?" tanyaku dengan nada galak.

"Kalo lo gak mau nerima syarat dari gue juga gak pa-pa, tapi gue gak mau ngajarin lo." ucap Azka sambil menenteng tasnya dan melangkah pergi.

"Iya-iya gue mau!" masih dalam posisi duduk di kursiku, aku mencekal tangan Azka agar tidak pergi. "Syaratnya apa?"

Azka berbalik, dia kembali memperlihatkan seringaian iblisnya. "Tiruin suara anak anjing!"

"Ha?"

"Lo gak denger suara gue?" alis kanannya terangkat.

Aku melepaskan tangannya lalu menunduk. "Guk... Guk..." ucapku lirih.

"Mana ada anak anjing kaya gitu." sergahnya, dia benar-benar mirip iblis(iblis ganteng).

"Guk!.. Guk!.." aku mencicitkan suaraku dan berusaha menaikkan volumenya.

"Suara kambing!" perintahnya.

"Mbeeek!..." mataku menatap pintu kelas yang terbuka lebar.

"Sapi betina!" perintahnya lagi dan aku pengen nelen orang ini.

Menghela napas kasar dan memutar bola mata malas, aku pun menirukan suara sapi. "Mooooo!..."

"Hahaha!... Mirip." tawanya. "Suara kucing."

"Meong..." ucapku dengan wajah pasrah, aku mulai lelah.

Azka terdiam, mulutnya sedikit terbuka dan mata tajamnya melebar setelah melihatku menirukan suara kucing dengan wajah pasrah, dia kenapa?

Tak lama kemudian dia menggelengkan kepalanya, sepertinya sudah sadar. Lalu Azka memutar ke belakang kursi yang ada di depanku dan duduk di tempat itu.

"Matematika ya? Bab apa?" tanyanya.

"Statistika." balasku singkat sambil membuka buku paket matematikaku bab statistika.

"Statistika itu yang pertama ada pemusatan data tunggal, buat nyari rata-rata rumusnya adalah sigma Fi atau frekuensi dikali xi atau data terus dibagi jumlah frekuensi." jelasnya sambil menulis sesuatu di buku catatanku.

"Nah, gini." dia mengembalikan buku catatanku dan menunjukkan tulisannya.

"Tulisan lo lumayan juga." pujiku setelah melihat tulisanya yang rapi dan tidak terlalu jelek seperti biasanya.

"Gue gak minta penilaian lo tentang bagus enggaknya tulisan gue." ujar Azka jutek. "Cepet itu dibaca! Kalo gak paham bisa langsung tanya."

Orang aneh, bukannya berterimakasih karena udah dipuji malah jawabannya nyolot gitu, tau gitu gak usah dipuji tadi.

Aku pun membaca tulisan Azka dan mencoba memahami rumus yang sudah tercatat di bukuku, rumus ini jelas jauh berbeda dari rumus kimia yang kebanyakan sudah kukuasai. Setelah selesai memahami, Azka mencoba menerangkan sebuah soal yang menggunakan rumus tadi.

Dia memberiku sebuah soal untuk kukerjakan sendiri, pertamanya aku masih salah, lalu dia kembali memberiku soal yang berbeda dengan cara pengerjaan sama, kali ini aku mulai benar dan soal seterusnya aku sudah bisa mengerjakan soal dengan jenis yang sama seperti ini.

Masih di bab statistika, Azka mengajariku materi yang berikutnya. Kalau tadi membicarakan rata-rata atau mean, sekarang kami membicarakan tentang median dan modus. Penjelasan yang keluar dari mulutnya benar benar bisa kupahami dengan mudah, sepertinya dia berbakat menjadi guru.

Dua jam berlalu, materi statistika yang kupelajari hampir selesai. Tapi tiba-tiba ponsel Azka yang terletak di atas meja bergetar, membuatnya langsung meraih benda itu dan berjalan keluar kelas tanpa mengucapkan apapun, untung tasnya masih di dalam kelas.

Waktu terus bergulir, kulirik jam tanganku yang menunjukan pukul lima sore lebih tujuh menit. Entah kenapa, mata ini jadi berat, akhirnya kuletakkan kepalaku diantara lipatan tanganku, lama kelamaan mataku memberat dan pemandanganku menggelap. Aku terlalu capek hari ini.

***

"Woy bangun, udah sore! Lo mau nginep disini?" teriak seseorang.

Mataku langsung terbuka dan spontan kuangkat kepalaku. "Ini jam berapa?" tanyaku celingukan.

"Udah setengah enam. Tuh soal-soalnya udah gue kerjain, tinggal lo pelajarin aja di rumah. Gue duluan." anak itu berbalik dan melangkahkan kakinya pergi. "Baik-baik di jalan."

Baik-baik di jalan? Itu artinya sama aja dengan hati-hati di jalan kan? Walaupun kadang suka usil, ternyata Azka masih memiliki sisi baik. Sadar suasana, aku pun langsung memasukkan semua barangku ke dalam tas dan segera keluar dari kelasku.

Saat sore hari, sekolah ini benar-benar sepi, beberapa sudut ruang masih gelap, membuatku sedikit berlari agar segera mencapai pintu gerbang. Setelah keluar dari pintu gerbang, aku segera berjalan menuju halte, untung ada sebuah angkutan yang melintas, aku langsung menaiki angkutan yang tidak terlalu ramai itu, hanya terdapat dua orang ibu-ibu dan tiga anak kecil serta supir di dalamnya.

Baru kali ini aku pulang sekolah di jam setengah enam, padahal saat latihan untuk lomba pun pulangnya tidak akan selarut ini. Beberapa suara qiroatil quran terdengar, menandakan sebentar lagi waktunya maghrib.

Tapi sepertinya aku menemukan sebuah keanehan, dua ibu-ibu yang berada dalam satu angkot bersamaku terlihat sedang menahan tawanya saat memandangku, firasatku tidak enak.

Aku meraih hpku yang terletak di saku kemeja, layarnya yang gelap karena sengaja kumatikan menampilkan wajahku. Tiga garis melintang lebar di pipi kiri dan kananku, lingkaran hitam terdapat di ujung hidungku, aku sudah seperti kucing, belum lagi coretan dibagian wajah yang lain.

Aku menggeram dalam hati, dasar AZKAMPREET!!

Secret LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang