6

29 5 0
                                    

Kenzy hanya diam sejak tadi. Bahkan ketika Ice chocolate with marshmallow sudah disajikan di hadapannya. Ia tidak berkata apa-apa. Sejujurnya, Vero bertanya-tanya akan apa yang ada di pikiran Kenzy saat ini. Kenzy hanya memperhatikan minuman yang ada di hadapannya lekat-lekat. Sesaat saja, Vero jadi ingin memiliki kelebihan untuk membaca pikiran. Agar ia tidak akan kesulitan dalam mendekati perempuan, begitu pikirnya.

Vero memperhatikan sekeliling kafe yang mereka kunjungi. Apa mungkin gue salah, karena bawa dia ke kafe ini? Mungkin keingetan soal Brian di sini. Bego. Nggak seharusnya gue bawa dia ke sini. Batin Vero.

Vero semakin dibuat bingung di situasi seperti ini. Ia tertunduk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Merasa aneh dan sedikit canggung. Biasanya saat mereka bertemu, mereka selalu berbicara sesuatu dari yang terpenting bahkan hingga yang tidak penting sama sekali. Seringkali mereka tertawa bersama layaknya orang yang sudah lama dekat.

“Kalau boleh tau, kenapa lo pesenin gue ice chocolate dan bukan hot chocolate kayak kemarin?” Kenzy bertanya pada Vero, tanpa mengalihkan pandangannya dari minuman itu. Yang semula Vero hanya tertunduk, kini menegakkan kepalanya.

Vero tampak berpikir sejenak. “Hm... nggak ada alasan khusus. Gue cuma mau lo nggak ingat sama kejadian beberapa hari yang lalu, di sini, dan Brian. Gue ubah sedikit nggak apa-apa ‘kan?” Vero balik bertanya. Kenzy mengangguk kecil sebagai jawaban. “Dan juga, gue cuma mau nurutin keinginan lo buat minum ini. Karena lo tau sendiri ‘kan? Minuman yang kemarin, lo pakai buat mandiin Brian. Kenzy tersenyum kecil. Ia benar-benar dibuat puas oleh Vero dengan jawaban itu. Bahkan ia sama sekali tidak berpikir, bahwa Vero akan menjawab seperti itu.

“Thanks, ya.”

“Cuma sekedar ‘Thanks’?” Vero menaikkan sebelah alisnya. Lalu tersenyum misterius.

“Jadi mau apa? Jangan aneh-aneh deh, Ver. Lo baru beliin gue ice chocolate. Tau gini mah mending gue beli sendiri.” Kenzy menggerutu kesal.

“Et dah. Jadi orang serius amat, Mbak.”

Kenzy memutar matanya malas. “Lo udah buat gue kesal berkali-kali hari ini, lo tau? Ngehabisin energi gue aja deh.” Kenzy berkata seolah ia tidak main-main. Vero jadi berpikir, entah ada angin apa yang lewat tadi, hingga membuat Kenzy marah seperti ini. Baginya, ini terlihat sedikit berlebihan, tak semestinya Kenzy marah seperti itu.

Vero tertunduk lesu. Kedua tangannya memilin ujung seragam sekolahnya. Posisi duduknya pun sedikit lebih merosot dibanding tadi. Tanpa sepengetahuan Vero, sebenarnya Kenzy memperhatikan ia diam-diam. Lama Vero berada di posisi seperti itu, dan selama itu lah Kenzy menahan tawanya. Vero terlihat seperti anak kecil yang dimarahi ibunya, tak berani menatap mata lawan yang ada di depannya. Tetapi, di sisi yang lain, Kenzy menemukan sesuatu yang berbeda. Vero sangat terlihat lucu dan menggemaskan. Bahkan ketampanannya tidak berkurang sedikit pun, malah bertambah.

Tak lama kemudian, tawa Kenzy berderai dengan kencang. Tawa yang sejak tadi ia tahan, tersembur begitu saja. Hampir sebagian pengunjung kafe memperhatikan Kenzy yang tertawa terbahak sambil memegangi perutnya. Vero yang melihatnya pun tak mengerti alasan Kenzy tertawa seperti itu. Vero rasa, di kafe tidak ada yang membuat lelucon sama sekali. Beberapa saat, Kenzy menghentikan tawanya. Lalu meneguk ice chocolate yang sejak tadi menunggu di hadapannya.

Kenzy memalingkan wajahnya ke arah jendela. Pandangannya berhenti pada satu titik. Ia melihat dua orang yang duduk berseberangan dengan Kenzy dan Vero. Satunya adalah gadis kecil dan satu lagi adalah wanita yang tampak sudah berumur, namun masih terlihat cantik dan terawat. Vero mengikuti arah pandang Kenzy dan berhenti pada dua orang itu. Gadis kecil itu tampak sedang menikmati es krim yang ada di hadapannya. Suap demi suapan yang diberi ibunya, tampak dinikmati betul oleh gadis kecil itu. Memejamkan matanya sambil tersenyum ketika suapan itu sampai di mulutnya.

Kenzy tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Masa lalu terlintas begitu saja di kepalanya.

“Dulu gue nggak pernah suka sama cokelat. Nyentuh sedikit pun gue nggak mau.” Kenzy menceritakan masa lalu tanpa mengalihkan padangannya dari sepasang ibu dan anak itu. “Tapi, semua itu berubah. Ketika gue dikenalin sama dessert yang dibuat oleh nyokap. Dessert itu terbuat dari cokelat dan nyokap maksa gue buat nyobain itu. Dia buat itu sampai berkali-kali tapi gue selalu nolak, entah apa alasannya. Sampai terakhir kali, waktu nyokap gue lagi sakit, dia berusaha mati-matian buatin gue dessert itu.”

“Alhasil, gue mau nyobain itu. Dan untuk pertama kalinya, gue jatuh cinta sama cokelat.” Kenzy mengalihkan pandangannya, ia menatap mata hitam legam milik Vero. “Tapi, ada rasa lain setelah itu. Nggak cuma jatuh cinta, tapi juga benci. Setelah nyokap gue berusaha untuk buatin dessert itu, tubuhnya langsung drop. Dia minta izin ke gue untuk masuk ke kamar buat istirahat. Dan dia benar-benar istirahat untuk selamanya, dia pergi ninggalin gue tanpa aba-aba. Kalau gue tau saat itu adalah saat-saat terakhir dia, seharusnya gue bisa buat waktu terakhirnya lebih sempurna.”

Kenzy tertunduk dalam ketika ia menjeda ceritanya. Tetesan air bergerumul di kantung matanya. Namun ia seka terlebih dahulu, takut air mata itu keluar tanpa aba-aba dan mengundang perhatian. Setelah dirasanya tidak ada lagi yang memprotes ingin keluar dari matanya, ia menegakkan kepalanya. Kembali menatap Vero yang menunggu lanjutan cerita dari Kenzy. “Pada hari yang sama, gue ngerasain dua hal. Gue jatuh cinta untuk pertama kalinya dan hanya membutuhkan sedikit waktu untuk berubah menjadi benci. Itulah cokelat, sama seperti cinta.” Kenzy mengakhiri ceritanya. Ia tersenyum singkat dan meneguk cokelatnya kembali.

“Kalau pada saat itu lo benci sama cokelat, terus apa yang buat lo suka lagi?” Vero mengeluarkan pertanyaan yang berputar beberapa kali di otaknya. Ketika Kenzy mendengar pertanyaan itu, ia tersenyum sekilas lalu menghela napasnya lelah. Ia benci mengingat ini, tapi itu lah keadaan yang sebenarnya. Ia harus menceritakannya hingga tuntas karena sudah terlanjur basah, Vero mengetahui sebagian teka-teki masa lalunya.

Kenzy memejamkan matanya sejenak. “Ada seseorang yang mengubah rasa benci itu. Itu dulu, waktu gue masih junior di Bakti Negara. Gue suka nangis sendirian di belakang sekolah, tanpa Cleo atau tanpa siapa pun yang tau. Ketika gue keingetan sama nyokap, gue pasti ke sana. Di hari itu, ada cowok yang ngasih gue cokelat. Dia bilang ke gue kalau cokelat bisa nyembuhin luka yang ada di hati gue. Bagaikan sihir, gue terima cokelat itu. Dan dari cokelat itu lah, gue mulai dekat dengan cowok itu dan—“

“Tunggu! Gue tau dia siapa.” Jari telunjuk dan suara Vero menginterupsi cerita Kenzy.

“Dia... Brian?” Kenzy tersenyum kecut mendengar nama yang baru saja Vero sebutkan.

Hanya dengan ekspresi itu, tanpa dijelaskan iya atau tidaknya, Vero sudah tahu jawabannya.

Dan obrolan mereka tak hanya berhenti di situ saja. Vero pun turut menceritakan kehidupannya pada Kenzy. Tentang sekolah yang ia pijaki sebelum sekarang, tentang alasan bagaimana ia bisa pindah ke Bakti Negara, bahkan Vero juga menceritakan perempuan yang pernah ia sukai sebelum Kenzy. Tetapi, tentunya Vero masih belum mengungkapkan bahwa ia mempunyai perasaan khusus pada Kenzy, tidak hanya sebatas teman saja.

Mereka hanyut dalam banyak cerita. Hingga tak sadar bahwa waktu pun berjalan begitu cepat.

“Wanna go home?” Tanya Vero begitu ia menyadari bahwa langit yang sebelumnya cerah, kini berubah menghitam.

“Sure,” Kenzy kembali menyeruput cokelat miliknya, menghabiskan sisa-sisa cokelat dan tak lupa ada dua marshmallow yang masih utuh di dalam gelas, tak ikut mencair dengan marshmallow lainnya ketika menyatu dengan hangatnya cokelat.

Chocomarsh Love [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang