8

16 3 0
                                    

Puluhan motor terparkir rapi di bawah terangnya cahaya bulan bersinar. Sang pemilik berkumpul dengan gerombolannya masing-masing, menyusun strategi untuk memperebutkan posisi pertama. Tempat favoritnya di kala kunjungan ke kota Bandung. Ia suka sekali balapan, namun karena kejadian menyakitkan itu, ia memberhentikan ketertarikannya.

Detik, menit, dan jam berlalu tak ia pikirkan. Ia hanya terus terhanyut dalam lamunannya yang tak kunjung selesai. Telepon genggamnya berdering beberapa kali, namun tangannya tidak juga tergerak untuk menerima atau menolak panggilan itu. Mungkin bosan mendengar dering teleponnya sendiri, ia angkat panggilan itu.

Dari benda kotak berukuran 5 inchi itu, ia mendengar bisingnya kendaraan lalu lalang di pinggir jalan. Ia lihat nama si penelepon, hanya 'tidak diketahui' yang tertera di sana.

"Ini siapa?," ia membuka pembicaraan.

Bukannya menjawab, si misterius balik bertanya. "Menurut lo, gue siapa?," lelaki itu berpikir siapa yang ada di seberang sana. Suaranya terdengar tidak asing dan lagi pula, itu suara perempuan.

Satu nama terlintas di kepala Vero, "Ini... Kenzy?"

Kemudian terdengar suara tawa dari si penelepon, "Untung aja lo bener, kalau salah udah habis lo gue omelin"

Vero tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya meski tak dapat dilihat oleh Kenzy. Merasa beruntunglah ia karena ketika suasana hatinya sedang buruk, Kenzy tiba-tiba datang memulihkan suasana hatinya walaupun hanya sebatas telepon.

"Kenapa? Kangen gue ya? Belum juga sehari kita pisah." Vero bergurau.

Kenzy menghela napasnya lelah "Enak aja. Gue nggak gampang kangen sama orang, apalagi sama lo." Ucap Kenzy diselingi dengan tawa kecilnya.

"Iya deh, iya. Gue nyerah. Ada hal penting apa, Ken?"

"Nggak ada. Cuma kalau gue lihat, kayaknya lo lagi galau."

"Kata siapa?"

"Kata hati gue"

"Emang hati bisa ngeramal?"

"Bisa lah." Kata Kenzy dengan bangga.

"Kalau gitu, tebak, gue suka sama siapa?" Tanya Vero yang berhasil membuat Kenzy terdiam.

"Pertanyaan gituan mah nanti aja baru gue jawab"

"Kapan mau lo jawab?" Vero tak sabaran. Harapnya bakal dijawab, namun malah ditepis oleh Kenzy, "nanti lah," katanya.

"Gantian, tebak, gue dimana?" tantang Kenzy.

"Di pinggir jalan pastinya. Soalnya berisik. Lagi beli bakso ya?" tanya Vero. Mengingat Kenzy yang doyan bakso, mungkin saja malam ini Kenzy keluar hanya untuk membeli itu.

Kenzy meringis kecil mendengarnya, "emangnya kerjaan gue makan mulu apa," kemudian tertawa kecil. Kenzy terdiam sejenak, kemudian berkata "gue di belakang lo."

Vero tak mengerti yang dimaksudkan Kenzy. Mana mungkin Kenzy ada di dekatnya. Lalu Vero niat bertanya sambil penasaran ia perhatikan keadaan sekitar, "maksudnya itu..," tatapannya berhenti di satu titik. Dan benar, Kenzy di belakangnya. "Gue pikir, lo main-main. Ternyata lo emang ada di sini, di belakang gue".

Vero dan Kenzy masih berbicara lewat telepon, padahal jarak mereka hanya sekitar lima meter.

"Lo kenapa, Ver? Cerita sama gue." Kata Kenzy sambil tersenyum tipis memandang Vero dari kejauhan.

Vero membalas senyumannya. Ia turun dari motor, lalu berjalan menghampiri Kenzy. Dengan telepon yang masih menempel di telinganya, ia berkata, "gue sakit, Ken."

Kenzy terdiam mendengarnya. Lama mereka berdua terdiam. Lalu Kenzy mematikan panggilan tersebut dan melangkah untuk lebih dekat dengan Vero. Kenzy harus sedikit lebih mendongak untuk dapat menatap mata Vero, mengingat tinggi tubuh Kenzy yang masih kalah dengan tingginya tubuh Vero.

"Gue sakit."

"Ssttt," Kenzy memotong perkataan Vero. "Gue nggak mau denger itu. Gue mau lo kuat. Kalaupun itu nyakitin lo, cerita sama gue. Tapi gue nggak mau denger lo sakit."

Mendengar apa yang diucapkan Kenzy, lantas Vero tersenyum simpul. Dituntunnya Kenzy untuk naik ke atas motornya. Lalu dibawanya Kenzy pergi tanpa izin atau ucap sepatah kata pun.

Sekitar lima belas menit kemudian, mereka sampai di tempat yang Vero inginkan. Sebuah taman indah dengan pohon pohon sebagai riasan utamanya, di setiap sisi jalan tampak ditanami pohon yang rimbun. Dengan ditemani lampu berkelap-kelip, hingga tampak tenang siapa pun yang melihatnya.

Mereka duduk di sebuah kursi taman di sana. Sama-sama terdiam. Vero sibuk dengan pikirannya dan Kenzy yang takut membuat Vero terganggu.

"Tadi, gue ketemu sama temen SMA gue yang lama. Nggak tau deh kenapa tiba-tiba dia nyusul gue." Vero tertawa kecil, tatapannya lurus ke arah rumput gajah mini di depannya. "Masa lalu gue pahit. Dulu gue pernah jatuh cinta ke satu orang cewek, dia cantik, dan tentunya dia baik. Nggak gue sangka, ternyata dia punya perasaan yang sama dan nggak lama kemudian, kita jadian."

Vero menghela napasnya. Dan Kenzy masih terus diam mendengar, memberi kedamaian untuk Vero selama bercerita.

"Hubungan gue sama dia baik, bahkan sangat bahagia. Namun, semua itu hancur dalam sekejap. Dulu gue suka balapan, gue sering bawa dia ke arena bahkan dia nemenin gue balapan. Di hari itu, dengan biasanya, gue minta dia nemenin dan dia mau. Tanpa gue tau kalau motor yang bakal gue pakai itu udah diatur sama orang." Ia bercerita, diiringi dengan helaan napasnya yang terdengar lelah. Pasti sakit berada di posisinya.

"Waktu gue balapan, rem motor gue blong. Di malam itu juga, pacar gue meninggal. Karena gue, nyawa orang yang gue sayang pergi. Gue ngedown. Tapi ada lagi seseorang yang nyemangatin gue, dia bener-bener nyembuhin hati gue, dia adalah orang yang nyusul gue dan datang ke rumah tadi." Vero tersenyum kecil lalu berkata, "dan ternyata, dia lah yang buat motor gue blong. Orang yang padahal gue percaya. Ketika gue tau hal itu, gue udah benci sama dia dan balik benci ke diri gue sendiri. Gue percaya dengan orang yang salah, dengan orang yang nyelakain diri gue sendiri."

Cerita Vero berakhir dengan tatapan sendu. Tepat berhenti ketika menatap mata Kenzy. Tak lama kemudian, Kenzy merias wajah dengan senyuman tulusnya. "Jangan salahin diri lo sendiri. Karena pada kenyataannya, bukan lo yang salah ataupun hobi balap lo itu. Cuma hati lo yang sedang diuji, dan syukurlah lo kuat ngehadepin itu semua. Gue bangga sama lo, dan pastinya pacar masa lalu lo itu juga bangga, tanpa perlu dibicarain." Kenzy memegang tangan Vero yang diam sedari tadi, dielusnya tangan Vero dengan ibu jarinya. Persis saat di kelas waktu itu, hal yang pernah dilakukan oleh Vero untuknya.

"Makasih, Ken. Gue seneng denger kata-kata lo." Ucap Vero sambil tersenyum. Vero menyelipkan jari jemarinya ke sela jemari Kenzy. Hangat rasanya.

Beberapa detik kemudian, Kenzy melepas kaitan tangannya dan berdiri tegak. "Gue laper, ayo cari bakso." Kata Kenzy dengan riang, alih-alih untuk menghindari genggaman tangan Vero. Padahal dia sendiri yang memulai.

Vero yang menyadarinya pun hanya tertawa kecil dan berjalan menyusul Kenzy ke motornya. Maklumlah, kadang-kadang Kenzy juga bisa bersikap seperti anak kecil.

Chocomarsh Love [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang