Ramai jalan ibukota membangunkanku dari khayal liar yang datang tanpa salam.
Pikirku masih saja tentangmu. Entah aku yang tak pernah melupa. Atau waktu yang terlalu jahat memutar kembali kisah kita.
Aku menatap setiap tawa yang kau tata rapih pada figura itu. Benda yang kau berikan bersama jabat tangan selamat tanggal 6 Januari lalu. Benar, itu hariku.
Tapi apapun yang kau berikan itu, semakin membuat lukaku menyebar. Tidakkah kau tahu? Kini perihnya sudah menggerogoti setengah tulang rusukku.
Aku menghapusmu. Dan kau harus paham atas itu. Kisah kita bukan untuk dikenang. Tak ada baiknya mengenang.
Mungkin kau akan biasa saja melihatku.Aku tertawa pada bintang dan bulan bukan karena aku bahagia. Justru sebaliknya, keduanya datang di saat jelaga menguasai angkasa. Disaat semua hati terbaring tak berdaya pada tumpukan kapuk mereka.
Hanya keduanya yang mampu hadir. Menemani tangisku. Menghapus rinduku. Meneguhkan langkahku untuk tetap berpaling darimu.
Karena kau sudah menjadi sajak pelepas sakitku. Kau yang pertama membawa seburat tawa. Namun, meninggalkan lebih dari jutaan rintik air mata.
Terima kasih untuk setiap kepingan hatimu.
Dulu.
Ah, tak peduli itu dulu atau sekarang. Kau tetap pernah menjadi bagian dari hatiku yang sempit ini.
Selamat tinggal.-Adeleide
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersajak Luka
Poetry'Luka adalah semestanya puisi' -Sapardi Djoko Damono Ketika luka itu ada, disaat yang sama pena mulai menggoreskan sajaknya.