Tiga

1.3K 76 19
                                    

"Hei apa yang sebenarnya kau pikirkan? Apa kau tidak sadar dengan ucapanmu tadi?! Bisa-bisanya kau bicara seperti itu pada Tuan Raizel!" Seru Regis mengikuti langkah Frankenstein.

"Apa kau bermasalah dengan pendapatku? Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Tuan pun sedang memikirkan apa keputusannya. Lagipula itu pesan dari Lord terdahulu bukan?" Ucap Frankenstein, langkah Regis terhenti seketika saat mendengar kalimat terakhir Frankenstein. Mencerna setiap penggalan kata dikalimat akhir itu.

"Pesan dari Lord terdahulu??" Gumamnya meneliti kata demi kata itu. Baginya Lord adalah seorang yang sangat dihormati, dikagumi, dan diagungkan. Kata-katanya pun bagai petuah yang harus dilaksanakan.

"Aku tidak habis pikir dengan pendapat anehmu itu, Frankenstein." Ucap Regis menatap punggung Frankenstein yang mulai menjauh.

Disisi lain terdengar suara pintu utama terbuka seketika langkah Frankenstein pun terhenti tak jauh dari pintu itu. Tak lama tampak seorang laki-laki berambut pirang pendek masuk dari balik pintu itu.

"Dari mana kau Robby?" Tanya Frankenstein.

"Bermain." Ucap laki-laki yang berusia sekitar 17 tahun itu.

"Kau belum makan siang kan? Makan sana!"

"Aku tidak lapar. Aku lelah, ingin tidur." Ucapnya berlalu dihadapan Frankenstein.

"Tunggu. Saat kau bermain, kau tidak membuat kekacauan kan?" Seketika langkah Robby pun terhenti dan menoleh kearah Frankenstein.

"Hm tidak. Aku hanya membuat kerusakan pada salah satu gedung kota." Ucap Robby tersenyum menyeringai dan kembali meneruskan langkahnya.

"Ckck. Anak itu benar-benar."

Frankenstein melangkah ke arah balkon ruangan itu, dilihatnya seorang bangsawan dengan anting salib yang tampak sedang memunggunginya. Perlahan Frankenstein mendekatinya.

"Mastah--"

"Frankenstein." Frankenstein pun memandang ke arahnya.

"Aku menolak." Ucapan itu pun seketika membuat Frankenstein tersentak mendengarnya.

"Ta.. ta.. tapi kenapa Mastah? Bukankah--"

"Aku sudah memikirkannya. Ini belum saatnya."

"Baik. Saya mengerti Mastah."

Frankenstein masih memikirkan kata-kata tuannya. Mencerna disetiap kata-kata itu. Mungkin benar ucapan Regis, dirinya terlalu cepat untuk mempertanyakan sampai ia lupa memikirkan apa pendapat tuannya.

***

Tak... tuk... tak

Terdengar suara langkahan sepatu di koridor mansion yang sepi itu. Mansion itu ukurannya bisa melebihi sebuah istana dan memang selalu sepi. Tapi siapa sangka mansion sebesar itu hanya dihuni oleh satu orang, yaitu sang Noblesse. Sangat disayangkan bukan jika mansion sebesar dan semewah itu hanya dihuni oleh satu orang?

Langkah sepatu itu pun terhenti didepan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Perlahan ia membukanya hingga terdengar bunyi decitan. Mansion yang usianya lebih dari 820 tahun itu pun masih berdiri dengan kokohnya. Lalu ia memasuki ruangan itu dan disambut oleh hembusan angin semilir yang mampu membuat horden jendela itu menari-nari. Sinar matahari yang menyeruak masuk di ruangan itu sampai membentuk bayangan dimatanya. Ia pun mengingat beberapa kepingan-kepingan memori yang pada saat itu sang Noblesse yang gemar menatap keluar jendela kamarnya, dirinya pun hanya terdiam menatap punggunggnya. Ia terlalu gugup dan sampai pada akhirnya salah tingkah.

"Edian?"

"Ya?"

"Mau sampai kapan kau berdiri disana?"

"Em... ijinkan saya berada disini sebentar lagi, Mastah."

"Baiklah."

Kepingan-kepingan memori itu pun membuatnya semakin merindukan. Rindu yang tak bisa ia jelaskan, yang hanya bisa ia tahan dengan diam.

"Kapan kau kembali, Mastah?"

Aku merindukanmu.

Disisi lain disebuah kastil lord, tampak seorang pemuda bangsawan tengah terburu-buru berjalan di koridor itu. Seketika ia terhenti saat mendengar ada yang memanggil namanya.

"Lazark!" Yang dipanggil pun menoleh dan yang memanggil mendekati.

"Kau sepertinya terburu-buru."

"Aku harus menemui Ignes untuk menjemput putraku."

***

"Bagaimana? Kau sudah menemukannya?"

"Ya, benar ini data yang aku cari." Ucapnya mengecek satu persatu data tersebut.

"Informasi yang aku dapat namanya adalah Frankenstein dan sang Noblesse sendiri."

"Lalu kau akan menyerang mereka? Dasar bodoh!"

"Aku tak yakin dan itu tak akan mungkin."

"Sudah kubilang. Mereka itu bukan tandinganmu, bodoh! Melawan penjaga saja kau tidak bisa. Dasar payah!"

"Iya-iya. Aku memang bodoh dan payah! Tapi tak ada orang yang setia sepertiku kan?" Ucapnya memasang tampang wajah keren.

"Segera lah hilangkan penyakit percaya dirimu itu. Aku muak." Mendengarnya pun Vione langsung melemparkan kertas-kertas itu kearah Ignes.

"Lalu kau sendiri sampai kapan menyembunyikan anak orang seperti penculik hah?! Jangan karena kakak dan adik itu menolakmu kau sampai berbuat hal yang rendah seperti ini. Sangat tidak berkelas."

"Tak kusangka kau lebih bodoh dari yang kukira. Kau tau apa tujuanku menculik Laurent? Itu agar dapat memudahkanku memperdaya mereka bodoh!" Ujarnya sambil menjitak kepala Vione. Vione pun lalu mengusap-usap kepalanya.

"Tidak lama lagi kita akan menyerang Lukedonia." Ucapnya menyeringai.

***To Be Continued***

Update... update...

Annyeong~ Maaf ya untuk updatenya yang lama dan slow banget hehe. Itu karena saya lagi fokus dicerita teen fiction😆😆 jadi kurang ada waktu buat di fanfiction. Sekali lagi saya minta maaf atas ketidaknyamanannya. Buat yang udah baca cerita saya, vote dan koment, kamsahamnida😉😉❤

See u next part!

Author.

Noblesse (Next Generations) - DiscontinueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang