Tujuh

869 47 14
                                    

"Apa ada yang ingin kau sampaikan hingga aku diundang kesini, Lascrea?" Tanya Raizel dengan tatapan mendalam. Lascrea bungkam, harus dengan kata apa ia memulainya? Tatapan Raizel saja sudah membuat jantungnya berdegup cepat, tak biasanya ia merasakan hal seperti ini ketika didekat orang lain apalagi dengan laki-laki.

"Apa kepastianmu?"

Raizel yang tak mengerti apa maksud ucapan Lascrea lalu menaikan alis, "kepastian?"

"Ya. Kepastian tentang perjodohan itu." Ucap Lascrea tanpa menatap Raizel "aku tidak ingin terus-terusan diganggu oleh arwah ayahku."

Kini giliran Raizel yang bungkam.
"Kapan kau akan melamarku, Cadis Etrama Di Raizel?" Lanjut Lascrea. Mungkin ini kali pertama bagi Raizel saat seorang wanita menuntut untuk dinikahi, ia kini bimbang dan dilema. Haruskah ia menerima perjodohan itu? Atau malah akan menolaknya?

"Nanti akan kupikirkan."

Disisi lain, Frankenstein bersama para kepala keluarga sedang meminum teh bersama. Mereka mungkin penasaran saat ini dengan percakapan Raizel dan Lascrea di balkon kastil. Canda tawa mereka mewarnai suasana saat ini, namun tidak dengan Frankenstein yang wajahnya terlihat cemas.

"Frankenstein, kau terlihat cemas. Apa kau sedang tidak sehat? Atau ada yang kau pikirkan mungkin?" Tanya Gechutel yang menyadarinya.

"Ah, iya. Aku sedang mengkhawatirkan sesuatu."

"Sesuatu apa? Anakmu?"

"Tidak. Aku khawatir ketika aku pulang kondisi rumahku berantakan seperti kapal pecah."

"Hahaha... bukankah ada Roby dan anak buahmu yang mengurusnya."

"Tetap saja aku khawatir. Apalagi Roby, anak itu bisanya mengacau saja."

"Kira-kira apa yang dibicarakan Tuan Raizel dan Lord ya? Kenapa lama sekali? Pfft." Celetuk Regis yang tampaknya sudah mulai bosan dengan suasana.

"Anak kecil gak boleh tau!" Gumam Rael.

"Memangnya kamu sudah besar Rael?" Ucap Seira dengan datar.

"Sudahlah, buktinya aku ajak nikah kamunya gak mau." Jawab Rael.

"Masih kecil udah nikah-nikah. Dasar bocah jaman now." Celetuk Ludis.

***

Roby menutup kotak P3Knya setelah membalut lengan Vione yang terluka itu. Bukan cuma di lengan saja, banyak luka lain di tubuhnya yang sudah diobati Roby.

"Sekarang kau tidurlah, aku juga sudah buatkan cokelat hangat untukmu diatas meja."

"Tadi itu kakak-kakakmu?"

"Aku tidak punya kakak ataupun adik. Mereka adalah anak buah ayahku."

"Kau tidur ya. Aku mau main game dibawah."

Roby menutup pintu kamar Vione perlahan. Ia langsung segera menuju layar PS-nya, sudah lama ia ingin melampiaskan rasa kebebasannya itu selagi sang ayah sedang tidak ada di rumah.

"Om, main game bareng yuk!" Ucapnya pada Tao, Takio, dan M21. Tao sedikit tersinggung saat Roby menyebutnya sebagai 'om'.

"Heh! Apa maksudmu memanggilku 'om'? Memangnya aku sudah tua? Lagipula aku bukan ommu."

"Lho kok om keselan sih? Kalo gak mau yaudahlah gak usah marah-marah. Santai aja." Ucap Roby yang baru memulai game tembak-tembakannya itu.

"Ciri-ciri orang yang sedang PMS adalah orang yang suka marah-marah." Celetuk M21.

***

Annyeong....

Sudah update nih😄
maaf ya readers, ketelatan up-nya dan partnya yg pendek wkwk😅😅
Author sedang fokus ujian jd bakal slow lagi updatenya😅😅

Moga mastah cepet halalin mba laslas ya:"

See u next part!😊

Author.

Noblesse (Next Generations) - DiscontinueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang