Aspettare - 7

5.2K 391 19
                                    

Setelah diantar sampai ke depan rumah oleh Kak Arion, aku mengucapkan banyak terima kasih untuknya. Rasanya sungkan karena ini sudah ketiga kalinya aku diantar pulang. Meskipun Kak Arion berkata bahwa ia sama sekali tidak merasa direpotkan, tapi rasanya aku tetap tak enak hati.

Kak Arion berpamitan pulang dan aku segera masuk ke dalam. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku bersiap untuk mandi dan mengganti pakaianku. Selesai membersihkan badan, aku mengusap-usap rambutku dengan handuk, bermaksud agar cepat kering karena aku baru saja keramas.

Sembari mengeringkan rambutku, aku melihat ke arah nakas dimana foto keluarga dan fotoku dengan Rakka tertata rapi di situ. Lagi-lagi, aku memikirkan Rakka. Rasanya tidak ada satu haripun yang terlewat dengan tidak memikirkannya.

Aku benar-benar merindukan Rakka saat ini. Aku bahkan beberapa minggu terakhir pernah mencoba ke rumahnya yang letaknya tak jauh dari rumahku tapi hasilnya nihil. Rumahnya masih tetap kosong dan tak berpenghuni. Bahkan debu yang tebal juga menempel di lantai dan beberapa bagian depan rumahnya. Menunjukkan bahwa rumahnya memang sudah kosong sejak lama.

Aku lagi-lagi teringat ketika aku mau masuk ke Sekolah Dasar dan Rakka merengek ke mamanya agar ia berada di sekolah yang sama denganku. Akan tetapi mamanya tidak mengizinkan karena beliau sudah terlanjur mendaftarkan Rakka bahkan sudah membayar sebagian biaya administrasinya. Rakka kecil yang saat itu tidak tahu bahwa biayanya di sekolah dasar swasta jauh lebih mahal daripada biaya sekolahku yang merupakan sekolah negeri, marah dan kesal kepada mamanya.

Seharian ia mengurung diri di kamar dan sama sekali tak mau ditenangkan. Mama Rakka kemudian memintaku untuk mencoba membujuknya. Aku saat itu hanya menurut dan menocba berbicara kepada Rakka seperti yang diminta oleh mamanya.

"Ka..." aku mencoba membuka pintu kamar Rakka yang ternyata dikunci.

Aku mendengar suara langkah Rakka dan ia membuka kuncinya. Wajahnya masam saat menyambutku. Ia benar-benar terlihat kesal.

"Mama kamu khawatir, Ka, makan dulu yuk," ucapku dengan mencoba memegang lengannya, bermaksud menuntunnya keluar.

"Enggak," jawab Rakka tegas.

"Kita masih bisa main bareng, Ka, walaupun beda sekolah," ucapku meyakinkannya dengan tersenyum.

Rakka menggeleng. "Kamu pasti bakal lupa sama aku, iya kan," sanggahnya dengan wajah yang masih tak bersahabat.

"Kamu inget enggak, beberapa hari yang lalu, kamu baru pulang liburan kan?" tanyaku.

Rakka mengangguk. "Iya, memangnya apa hubungannya."

"Kamu pergi liburan hampir dua minggu kan?"

Rakka lagi-lagi mengangguk.

"Memangnya setelah kita enggak bertemu dua minggu, kita enggak temenan lagi?" Aku menatap Rakka yang masih bersungut-sungut.

"Kamu masih temanku," tegasnya.

"Kamu juga masih temanku."

"Terus?" Rakka menyipitkan matanya.

"Besok kalau kita masuk sekolah dan enggak ketemu karena sekolah kita beda, bukan berati aku enggak temanmu lagi kan."

"Memangnya kamu enggak bakal lupain aku? Sekolah dasar itu lama loh, enam tahun." Rakka kecil menunjukkan enam jarinya ke hadapanku,

"Memangnya kamu mau enam tahun sekolah terus tanpa berhenti? Kamu enggak mau istirahat, makan, mandi? Kamu cuma mau sekolah terus enam tahun ke depan?"

"Jadwal harianku sampai sore. Sementara jadwalmu cuma sampai siang. Kalau udah sore, pasti mama enggak ngebolehin aku buat main. Aku enggak mau sekolah!" kesal Rakka lalu membalikkan badan.

AspettareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang