Aspettare - 9

5.1K 389 13
                                    

Aku meminta pulang saat langit sudah benar-benar gelap. Alison menurut dan menuntunku pulang melewati lorong-lorong sekolah yang remang-remang. Pertanyaan dan ucapan yang tadi Alison lontarkan seputar Rakka rasanya benar-benar menohok dan membuatku keyakinanku pada Rakka terasa memudar. Akan tetapi, anehnya, dibanding memikirkan soal Rakka dan kedatangannya, kali ini aku malah lebih tertarik dengan Alison yang berpikiran membawaku ke tempat ini. Aku punya banyak pertanyaan untuknya.

"Gue mau nanya sama lo, Al," kataku saat aku dan dia sedang menuruni anak tangga.

"Sssttt...." Alison membuat gerakan dengan telunjuk yang ia letakkan di depan mulutnya, tanda aku harus diam. "Nanti aja, tanyain di mobil. Kita enggak boleh berisik di sini."

Ucapan Alison membuatku bergidik ngeri. Aku sudah berpikiran macam-macam yang membuatku semakin takut. Aku merapatkan tubuh ke arahnya. Takut jika tiba-tiba ada sesuatu yang tidak aku harapkan lewat di depan.

Aku lihat, Alison menahan tawa sembari mempererat tangannya yang memegang pergelangan tanganku, layaknya seorang ayah menuntun anaknya agar tak hilang di keramaian. "Jangan sampai berisik, ya, takutnya penunggu di sini keganggu," ulangnya setengah berbisik.

Aku menghela napas panjang. Entah serius atau tidak, yang jelas aku memang paling takut dengan hantu dan sejenisnya. Apalagi suasana di sekolah ini benar-benar mencekam, tak ada orang lain selain kami berdua, bahkan yang terdengar saat ini hanya suara jangkrik yang entah dimana keberadaannya.

"Al, lo jangan bercanda ya!" Aku mencubit lengan Alison dengan tangan kiri dan ia hanya terkekeh pelan.

Perjalanan melewati lorong-lorong sekolah terasa sangat panjang untuk ditempuh. Aku langsung menghembuskan napas lega begitu aku dan Alison sudah tiba di luar gerbang tepat di depan mobil Alison. Dengan sigap, Alison mengunci gerbang dan segera masuk ke mobil.

"Lo mau tanya apa?" tanyanya sembari memutar lagu yang entah apa judulnya.

"Banyak," jawabku. "Yang pertama, kenapa lo bisa punya semua kunci yang lo pegang tadi? Mulai dari kunci gerbang bahkan sampai kunci akses buat ke bangunan lantai empat."

"Lo inget kan, gue pernah kena tegur Bu Wiwi setelah gue bawa mobil ke sekolah?" Alison mulai bercerita dan aku menganggukkan kepala menanggapi ucapannya. "Setelah itu, gue dapet hukuman dari Bu Wiwi buat bersihin seisi sekolah sama temen-temen gue yang lain. Otomatis, saat itu juga gue dapet kunci seisi sekolah dari Pak Badi, satpam kita. Gue rasa, kunci itu bisa bermanfaat buat hari-hari berikutnya. Jadi, gue sengaja duplikat kunci yang gue rasa penting."

Aku cukup takjub mendengar jawaban Alison. "Ternyata, lo pinter juga ya."

Alison menaikkan kedua alisnya, menyombongkan diri.

"Kalau soal bangunan di lantai empat tadi, kok lo bisa tahu kalau ada tempat kayak gitu? Bukannya tempat itu sengaja ditutup rapat biar enggak ada yang berani masuk?"

"Oh rooftop tadi... Setahu gue, bangunan di lantai empat tadi sengaja dibangun jadi laboratorium yang lebih besar buat gantiin laboratorium yang udah ada di lantai dua. Gue juga enggak ngerti kenapa sampai sekarang pembangunan itu belum juga selesai dikerjain. Gue penasaran banget pas gue bersihin lantai tiga, gue lihat akses pintu buat ke lantai empat ditutup rapat bahkan sampai digembok dua kali. Makanya, mumpung gue lagi pegang kunci seluruh ruangan sekolah, gue sengaja dan nekat naik ke situ."

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, antara takjub dan bingung dengan tingkah Alison yang terkesan sangat nekat.

"Oh iya, Al, sekolah kita kan punya cctv, terus kalau kita ketahuan masuk sekolah malem-malem gimana donk?" Begitu teringat dengan keberadaan kamera pengawas yang dipasang di setiap sisi sekolah, aku begitu panik dan jantungku langsung berdebar hebat.

AspettareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang