Episode 3

61 12 1
                                    

Seluruh warga dievakuasi. Sebagian besar pejabat Negeri maupun Kota ikut menyingkir. Menyisakan Bi, sebelas orang dewasa, tiga gadis menakjubkan, dan seekor Singa Besar Bersayap.

Semilir angin menerpa, terasa lebih dingin menurut Bi.

Singa Besar berbulu emas itu meringkuk di sampingnya, Bi yang belum terbiasa menggeser sedikit tubuhnya menjauh.

"Wahai.. Alangkah lebih baik perkenalan diri. Agar nyaman sekalian." Tiu membuka percakapan.

Seperti disetujui yang lain. Taaz, membuka percakapan selanjutnya, memperkenalkan diri.

"Perkenalkan Putri, Saya Ketua Dewan Kota Damaraa, Taaz."

"Hah?"

Siapa tadi namanya? Tas?

Nama yang unik.

Kemudian disusul oleh Saad, Sekertaris Dewan Kota.

"Saya Pimpinan Raav dari Negeri Cahaya ."

Ada Tiu Tetua dari Negeri Teluk. Wanita yang memberinya mantel, Ekk Song, Menteri dari Negeri Ekk. Baas, Tetua dari Negeri Cahaya .

"Pimpinan Ekk Fang dari Negeri Ekk."

Selebihnya dari sebelas orang, Bi tidak bisa menghapal semua namanya. Terlalu rumit, aneh dan ganjil.

Ketiga gadis menakjubkan mendekat padanya. Bi berdiri tidak nyaman, baju kebayanya basah kuyup, begitu juga dengan rambutnya.

"Oh.. hai Putri dari Negeri Langit. Wahai.. Aku Putri Sou dari Negeri Teluk. Aduhai lihatlah lihat begitu cantik rupamu walau basah."

Bi mengernyit, logatnya sama seperti Tiu ketika berbicara.

Sou menatap Bi dengan senyum lebarnya, membungkuk sebelum melangkah mundur. Membuat Bi kikuk harus bagaimana.

"Putri Naad, Putri dari Negeri Cahaya ."

Aura menawan sangat terpancar pada Naad. Gadis percaya diri, terlihat anggun. Naad mengangguk pelan pada Bi.

"Namaku Ekk Ving, Putri dari Negeri Ekk. Sungguh merasa terhormat bisa melihat Anda secara langsung Putri."

Berwibawa. Itulah kesan pertama Bi mau mendengar Ving berbicara.

"Aku Bi, maksudku Bening." semua mengangguk takzim.

"Nama indah, Bi." Ving tersenyum.

Bi menyelipkan rambut yang sudah mulai mengering terkena semilir angin, ke belakang telinga, merasa rendah diri. Membandingkan keadaan dirinya dengan para Putri.

Bi tidak tahu apa maksudnya dengan putri negeri, entahlah.

Seseorang tiba. Di hadapan mereka, seorang pemuda bersetelan hitam. Wajahnya tegas, napasnya memburu seperti sehabis lari maraton.

Dia membungkuk dalam, lalu menghadap Taaz.

"Maafkan aku Ketua Dewan. Atas kecerobohan diriku, Dewa Langit keluar dan mengamuk. Entah kenapa Dewa Langit meraung-raung di dalam kandang. Mengamuk menghancurkan jeruji baja."

"Maafkan atas keteledoranku." lanjutnya.

Kemudian Pemuda itu diam termangu, menatap Singa Besar yang disebut sebut Dewa Langit masih meringkuk di sebelah Bi, mengusap usap telapak tangan Bi pada kepalanya.

Pemuda bersetelan hitam itu menatap Bi takjub. Matanya melotot.

"Benar. Ini semua salahmu Ksatria Biru, kau akan mendapatkan sanksinya nanti."

Bi menoleh cepat menatap Taaz, kemudian menatap pemuda yang di sebut Taaz, Biru.

"Berani sekali Taaz menghukum orang dari Negeri Langit." sakartis Pimpinan Raav.

Dari langit? Bukankah mereka juga menyebutku dari langit.

Sebenarnya ada dimana dirinya? Tempat apa ini? Dimana aula hotel tempat acara Perpisahan sekolah? Mana papa dan mamanya? Bagaimana nasib beasiswa yang diterima Bi?

Pikiran Bi berputar cepat. Kepalanya berdenyut kencang.

Bi terduduk jatuh. Beberapa orang berseru tertahan.

Dewa Langit melenguh, terdengar sedih. Bi melihat mata bening bercahaya itu redup. Seakan Singa ini mengerti apa saja yang Bi rasakan.

Bi tersenyum tipis. Entah kemana perginya rasa takut setengah mati beberapa menit lalu, Bi hanya merasa menemukan sahabat lama.

Dewa Langit bangkit gagah, meraung pelan. Sayapnya ia kepakkan lebar-lebar. Menyundul lengan Bi pelan. Bi memiringkan kepala, bingung.

"Dia ingin kamu naik."

Kalimat Biru membulatkan mata Bi. Apa katanya? Naik. Naik ke atas Singa Bersayap ini, yang benar saja!

Bi menggeleng.

Dewa Langit meraung lantang menatap Biru.

"Dia benar-benar ingin kamu naik di punggungnya."

"Apa? Tidak. Aku takut." Bi menggeleng keras. Bagaimanapun Singa ini tetap hewan buas.

Dewa Langit menggeram kencang. Bahasa tubuhnya seakan siap memangsa makanan nya.

"Baiklah,"

Biru menghela napas. Berjalan ke arah Dewa Langit, mengelus bulu emasnya. Kemudian berjongkok menghadap Bi.

"Aku temani."

Bi menatap Biru. Apa katanya?

The Great PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang