Aksiku tergolong nekat dan bodoh. Bagaimana bisa, untuk apa aku harus ijin keluar ke kamar mandi saat pelajaran Hibiki-sensei? Nekat sekali, bukan? Tapi bodohnya aku ... bodohnya diriku yang tidak kembali lagi ke kelas dan memilih menangis sesenggukan di sini. Pastinya Hibiki-sensei akan marah besar dan mungkin akan memberiku hukuman yang berat, tapi aku benar-benar tidak mampu kembali ke kelas untuk saat ini, apalagi bertemu dengannya lagi. Mengingatnya saja sudah membuatku sakit.
Rasanya sakit, sangat sakit. Apa yang dia ucapkan terdengar jujur dan meluncur bebas tanpa beban. Bibirnya bergerak lancar saat mengucap kata 'sakral' itu, seperti tanpa beban sedikitpun ia mengeluarkan suara seraknya. Sakit, seperti terasa hatiku telah ditikam oleh ratusan jarum tak kasat mata dan mengoyaknya perlahan, perlahan dan menyakitkan.
Apa tadi hanya sebuah kebohongan?
Untuk apa dia berbohong?
Sungguh bodoh sekali jika memang dia berbohong kepadaku, kepada diriku yang selalu mengingatmu sepanjang waktu. Bodohnya dia yang melupakan janji kita saat itu, saat kita akan berpisah dan kau berkata, "Jangan melupakanku, aku juga tidak akan melupakanmu sampai kita bertemu lagi. Janji?" aku selalu memegang teguh janji itu, Naruto. Apa dia terlalu bodoh untuk mengingat sepenggal kalimat SINGKAT janji kita?
Naruto, pernahkah kau tahu jika aku selalu menyimpan sejuta khayalan indah saat kita bertemu lagi?
Aku tak pernah mengira kau akan meminta maaf saat kita bertemu lagi. Alasan bodoh! Seharusnya dia mengenalku dengan baik! Maaf saja tidak akan cukup. Jika memang dia tidak bisa mengingatku, seharusnya kau harus menghapus semua khayalan bodoh ku yang terlalu indah saat bertemu denganmu lagi.
Bodoh bodoh bodoh bodoh!
Sudah berapa kali aku memaki diriku sendiri, sudah tak terhitung banyaknya. Aku tak tahu siapa yang harus disalahkan. Aku yang bodoh ini atau Naruto memang yang lebih bodoh? Pikiranku kacau. Aku menghirup udara dalam-dalam untuk menenangkan diri, suaranya terdengar aneh karena dibarengi dengan suara sesenggukan yang tak bisa kuhentikan.
Berapa kalipun aku menghirupnya, udara masih tak sesegar biasanya. Rasanya seperti ditambahi dengan extrak jarum kecil yang membuat paru-paruku sakit. Dadaku terasa sesak. Lagipula, kenapa juga aku menghirup napas dalam-dalam di dalam WC?
"Kenapa ... hiks ... hiks ... kenapa bisa?" kuseka aliran deras air mata ku yang menggenang di kedua pipiku. Berhenti, bodoh! Kenapa air mataku tak bisa berhenti?
Aku tak tahu apa aku terlalu berlebihan tentang ini.
Kuseka lagi pipiku yang basah, dengan kasar. Rasanya mataku sudah perih karena terlalu lama(mungkin) menangis. Kulihat jam tanganku, 15 menit, pasti cukup lama untuk bisa membuat mataku bengkak. Waktu istirahat akan segera datang. Inginnya sih segera pergi dari sini karena toilet akan ramai saat jam istirahat datang, tapi rasanya aku masih perlu sedikit waktu untuk sendiri.
Waktu sendiri untuk bisa meniadakan harapanku yang telah menjadi palsu.
Aku memejamkan mata untuk sesaat, sebelum suara gaduh langkah kaki membuyarkannya. Suara alas kaki dengan lantai yang beradu terdengar ribut, orang itu berlari dari ujung lain bilik didekat pintu.
"Hinata ... Hinata ... Hinata, kau disini? Oi Hinata-chan, jawab aku!" dari suaranya aku sudah tahu siapa dia. Dia memang sahabatku, dan dia sedang mencariku daripada memilih diam damai di kelas tanpa ada ancaman jika keluar dari Hibiki-sensei.
"Hinata." dia memanggilku lagi, kali ini suaranya terdengar lebih dekat. Aku menghirup napas sekali hirup (bodohnya aku, sekali lagi menghirup napas di WC sekolah) dan menyeka air mataku untuk sekali lagi. Untuk saat ini terasa lebih ringan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aitakatta
FanfictionBertemu teman lama sepermainan semasa kecil? Pastinya bikin senang, apalagi temannya bukan sekedar teman. Tapi, bagaimana jika temanmu itu datang dengan ingatan dan kepribadian yang berbeda? Ya, amnesia. Hmm ... wait a minute! Hinata butuh waktu unt...