"Kau tuntun saja sepedanya ,ya?"
"Baik."
Aku baru sadar kalau Naruto jadi orang yang penurut. Dia melakukan dengan baik apa yang kuperintah. Tanpa mengeluh. Walau pada jalan tanjakan yang lumayan, ia mendorong sepedaku sebisa mungkin. Aku yang sudah berada di akhir tanjakan melambaikan tangan ke arahnya. Ia hanya tersenyum simpul sambil masih terfokus dengan sepeda.
"Ada apa? Berat ya?" Naruto menggeleng. Aku hanya memakluminya dengan gelengan kepala saat dia sudah berjalan mendahuluiku. Mungkin dia hanya malu untuk mengakuinya. Sifat pemalunya lebih dari sekedar yang kubayangkan.
Tanpa sadar aku terdiam di tempat, telah tertinggal beberapa langlah dari Naruto. Langkah kakiku berlari mengejarnya yang lebih jauh empat meter di depan.
"Kita mau kemana?" tanya Naruto.
"Kemana saja. Sudah kubilang kita akan berkeliling kota, kan?" Naruto mengangguk mendengarkan, tapi raut wajahnya ada yang beda, ia tampak menahan sesuatu. Jangan bilang!
"Ada apa? Bisa cerita?"tanyaku khawatir seraya mendekat dengannya. Ia menunduk sesaat.
"Apa ada yang aneh dengan kita?" setahuku tidak, jadi aku menggeleng tidak mengerti, "memangnya kenapa?"
"Dari tadi setiap orang yang lewat selalu memperhatikan kita. Mereka seperti orang jahat, tersenyum sendiri saat memandangi kita" yang benar saja?
Kutoleh ke kanan-kiri dan juga kebelakang. Benar juga, kenapa aku baru sadar, ya? Atau mungkin karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Yang kulakuakan hanya membalas tatapan muka orang-orang itu.
Jika diperhatikan raut wajah orang yang sedang memperhatikan kita, Naruto benar—mereka tersenyum aneh, walau tidak seperti orang jahat yang Naruto maksud.
Aku mengangkat bahu ke orang-orang tersebut. Mereka hanya tersenyum, ada juga yang menyilangkan tangan mereka. Ada satu orang yang berjalan di dekatku. Tanpa basa-basi, orang itu menepuk bahuku seraya berkata, "kau kuat juga." jangan bilang orang-orang itu melihat aksiku membonceng Naruto!
"Ah, itu … tidak juga." reaksiku kelihatan kikuk sekarang. Bagaimana mungkin membonceng Naruto akan se-memalukan ini, tak pernah kuduga sebelumnya.
Aku berlari menghampiri Naruto yang langkah kakinya lebih cepat dariku. Dia bahkan mempercepat langkah kakinya yang membuatku sulit menyamai jaraknya. Dia takut pada pandangan orang-orang?Cemas? Mungkin saja ia malu. Tentu saja, bahkan aku pun jadi sedikit kikuk melihat pandangan orang-orang, sampai berlari pun tak bisa fokus ke depan. Jadinya…
"Hei, Naruto—aww." belum sempat aku selesai bicara, aku menabrak satu objek yang besar karena tidak memperhatikan depan dan terlalu kikuk untuk fokus. Kutengok Naruto sedang diam berdiri tak lagi melanjutkan mendorong sepeda. Ia melihatku dan bercicit, "anu, Hinata…" jarinya menunjuk-nunjuk kearah seseorang.
"Iruka-sensei."
Iruka-sensei, guru semasa kami SD tengah berdiri (atau menghadang) di depan kami. Ia tersenyum melihat kami dan membalas sapaanku—yang sebenarnya adalah reflek kaget.
"Hinata. Dan kamu … Naruto, 'kan?"
Iruka-sensei memang ramah, bahkan bisa dibilang paling ramah dari semua guru yang pernah mengajarku mulai dari TK sampai sekarang. Tidak heran jika beliau tanpa segan menyapa kami yang pernah menjadi muridnya. Hal itu sebenarnya adalah sebuah kebiasaan bagiku, karena hampir setiap kali kita bertemu kita selalu menyempatkan salam atau hanya sekedar teguran sapa. Tapi tak habis pikir jika Iruka-sensei masih mengingat Naruto yang hanya beberapa tahun saja pernah tinggal di sini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aitakatta
FanficBertemu teman lama sepermainan semasa kecil? Pastinya bikin senang, apalagi temannya bukan sekedar teman. Tapi, bagaimana jika temanmu itu datang dengan ingatan dan kepribadian yang berbeda? Ya, amnesia. Hmm ... wait a minute! Hinata butuh waktu unt...