Kak Gia terlihat tersenyum kecil pada bocah-bocah itu, lalu ia menoleh ke samping. Ada sebuah tangga mungil untuk jalan menuju ke bawah. Aku dan Kak Gia masuk lewat tangga tersebut tanpa memedulikan anak-anak itu lagi. Eh, sialnya, di setiap anak tangga kami juga masih harus bertemu bocah-bocah SD yang lain.
"Permisi ya." Kami melangkah menuruni anak tangga mungil yang hampir penuh oleh anak-anak SD. Mereka cekikikan dan saling berbisik ketika melihat kami menunduk sambil melewati setiap anak tangga. Saking rendahnya, kami sampai harus turun tangga sambil menunduk dalam-dalam karena atap tangga yang sangat rendah. Berhasil melewati tangga, kami disuguhi pemandangan beberapa orang wanita paruh baya sedang mengobrol ringan di kursi-kursi kecil.
Kami lalu masuk ke dalam melewati lorong kecil nan pendek. Tidak sampai tujuh langkah, ada sebuah ruangan terbuka yang di atasnya bertuliskan 'administration/administrasi". Ini ruang kepala sekolahnya?
Kami mengetuk pintu. Ada seorang wanita muda yang menoleh, lalu mempersilakan kami duduk. Setelah duduk berhadapan dengannya, aku mulai berbicara.
"Bu, saya Renata Rianto, dari Psikologi Universitas Wesada. Saya ingin mengajukan izin untuk melakukan penelitian di sini."
"Oh, mau izin penelitian ya, Mbak?"
"Iya, betul, Bu."
"Kembali saja ke sini seminggu lagi. Kepala sekolahnya sedang pergi ke luar kota. Surat penelitian boleh dititipkan ke saya dulu, kok."
"Yakin, Ta, kamu mau penelitian di sana?"
Aku menunduk dalam-dalam sambil memperhatikan cangkir coffee di atas meja. Kami berdua sudah masuk ke dalam salah satu restoran di dalam Grand Edge, salah satu hotel dan berbagai resto di daerah Sultan Agung Semarang. Dari SLB mungil itu, kami berjalan kaki keluar gang super duper kecil itu dan menemukan tempat makan sekeren ini.
Sepanjang jalan keluar gang tadi, aku frustasi dan menimang-nimang. Duh, benar gak ya keputusanku buat penelitian di sana? Yakin nih mau tetap kualitatif dan ambil bidang klinis? Yakin bisa hadapi semua itu? Gila aja.
"Ini kompleks penelitianmu nanti. Diingat-ingat ya jalannya. Jangan kesasar lagi kalau ke sini."
Aku mengangguk. Kami tetap berjalan keluar gang. Jarak antara SLB dengan Grand Edge yang berada di depan sebuah jalan besar yang ramai ini sekitar 500 meter. Sekarang kami sudah duduk di Bayleaf, salah satu restoran di dalam Grand Edge. Dua cangkir kopi dingin sudah tersaji di meja.
"Jadi galau nih, Kak."
Kak Gia menatapku tanpa berkomentar. Ia menunggu kalimatku selanjutnya.
"Mana aku gak suka anak-anak, lagi."
"Kan kamu mau neliti ibunya?"
"Tapi dengar sendiri kata gurunya tadi, kan?"
Kak Gia mengangguk.
Dalam otakku, masih terngiang jelas percakapan kami di kantor administrasi yang ternyata kantor kepala sekolah itu.
"Penelitian ke anaknya ya, Mbak?"
"Oh, bukan, Bu. Saya mau meneliti ibunya."
"Iya, tapi kan harus lewat anaknya dulu, Mbak. Gak bisa langsung pendekatan ke ibunya tanpa mendekati anaknya, kan?"
YOU ARE READING
Bocah-Bocah SLB Kagok
General FictionAku gak tahu. Gak tahu seberapa besar porsi rasa syukur yang pantas memenuhi hati para orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Seberapa besar orang tua mampu menerima keadaan bila anaknya diputuskan harus masuk ke SLB dan bukan di sekolah no...