"Waktunya istirahat ya, anak-anak! Jam sepuluh tepat kita mulai pelajaran lagi."
Bu Dewi sempat menoleh sedikit ke arahku sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya, dan ia segera berlalu dari kelas. Suara sepatunya terdengar menuruni anak tangga yang berjarak hanya beberapa meter dari kelas ini. Oh ya, sekolah ini kan memang mungil dan serba berhimpit.
Aku menoleh pelan-pelan dan menemukan pemandangan yang beberapa hari ini kulihat—anak lelaki yang selalu menunduk dan membungkuk. Sambil menelan ludah, aku berdiri dari tempat dudukku di samping lelaki ini, "Permisi ya, Ren."
Sudah kuduga, dia tidak akan menjawab. Jadi aku langsung keluar dari kursiku dan mengedarkan pandangan. Di bangku sebelah, Zaskia dan Lena menatapku dengan pandangan malu-malu. Mereka senyum-senyum sendiri. Oke, ini kesempatan yang bagus, kan?
Aku melihat bangku Kamal sudah kosong. Tentu saja, lelaki itu mana bisa diam? Ia sudah buru-buru kabur keluar kelas begitu Bu Dewi mengumumkan waktu istirahat. Segera saja aku beranjak ke sana dan duduk di bangku lelaki itu.
"Halo."
Dua gadis itu senyum-senyum disapa seperti itu. Aku membalas senyum mereka, "Kalian gak makan? Atau jajan?" tanyaku dengan nada ramah.
Keduanya menggeleng.
"Gak, Mbak."
"Tadi sudah sarapan kok."
"Oh." Aku mengangguk-angguk. "Ujiannya bulan apa, nih?"
Mereka kelihatan mudah didekati. Walau saling berpandangan dulu sebelum menjawab, keduanya kompak, "Bulan April, Mbak."
"Oh... Masih lima bulan lagi, ya?"
"Iya."
"Berapa mata pelajaran sih?"
Mereka senyum-senyum lagi. Kenapa ya? Sambil menunggu jawaban, aku menganalisis. Eh? Mereka merasa kurang perhatian? Bisa jadi. Mungkin jarang relawan atau orang normal menyentuh tempat ini sehingga kedatangan seorang mahasiswa saja menjadi hal menyenangkan buat remaja-remaja di sini.
"Lima," jawab Zaskia pendek sambil ia menunduk.
"Oh, lima ya. Lima itu pelajaran apa aja?"
"Matematika... Eh, apa lagi?" Zaskia menoleh ke Lena. Yang ditanya menampilkan wajah sedang berpikir walau tidak keluar suaranya.
Aku memutuskan untuk tersenyum kecil karena tidak ada jawaban juga setelah ditunggu.
"Yang paling sulit pelajaran apa, nih?" tanyaku lagi, karena sepertinya tidak menyenangkan menunggu jawaban yang tidak juga dijawab.
"Matematika!"
"Oh..." Aku tertawa kecil. "Kalau Kakak bantu belajar matematika, mau?"
Kedua gadis itu kelihatan membelalakkan mata dengan senang, "Mau, Mbak!"
"Oke, deh. Boleh main ke rumah kalian, kan, buat bantu-bantu belajar matematikanya?"
Mereka mengangguk-angguk bahagia dalam satu detik saja.
"Jadi, rumah Zaskia di jalan apa?"
"Yakin, Mbak, rumahnya di dalam sini?"
Mungkin si sopir Go-Jek juga sudah bisa menebak keraguanku sampai ia merasa perlu bertanya begitu. Tapi... duh, beneran deh. Masih banyak rumah ya di dalam gang sesempit ini?
"Benar kok, Pak, alamatnya Gang Melati 3, nomor 52."
"Tapi gangnya kecil banget, lho, Mbak."
Sekarang motor kami berhenti tepat di ujung sebuah gang yang amat sempit. Amat sangat sempit, karena aku berani taruhan kalau tidak mungkin sebuah mobil masuk ke dalam kawasan ini. Eh... kalaupun dua motor saling berhadapan, salah satu harus berhenti dulu supaya yang lain bisa berjalan pelan-pelan. Gang ini dipenuhi rumah-rumah yang saling berhimpitan dengan pemandangan yang super kacau. Baju-baju dijemur dengan tali rafia yang saling dikaitkan, atap pendek yang terbuat dari kayu dan sudah kelihatan lapuk, dinding rumah yang sudah bolong-bolong, sampai kursi-kursi bambu yang sudah berlubang di sana-sini. Kondisi perumahan di sini mengenaskan.

YOU ARE READING
Bocah-Bocah SLB Kagok
General FictionAku gak tahu. Gak tahu seberapa besar porsi rasa syukur yang pantas memenuhi hati para orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Seberapa besar orang tua mampu menerima keadaan bila anaknya diputuskan harus masuk ke SLB dan bukan di sekolah no...