"Eh, Ta, aku mau tanya deh."
Aku menoleh dari buku yang sedang kubaca. Kak Gia masih bertahan di kamarku padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Kami masih bertahan di depan layar laptop masing-masing. Bedanya, di sekelilingku, aku masih harus membaca buku-buku retardasi mental untuk melengkapi skripsiku, dan dia sedang menyelesaikan tugas-tugasnya.
"Ya?"
Aku dan Kak Gia selalu akrab dan dekat. Kami tinggal di salah satu rumah kos sederhana yang menyenangkan. Di akhir pekan, kami akan nge-mall berdua, duduk di cafe-cafe kota Semarang dan menghabiskan malam minggu di sana, saling sharing untuk berbagi beban bersama, dan tentu saja sesi curhat sesama mahasiswa jurusan psikologi.
"Kalau kamu jadi penelitian di SLB itu, berani tanyain ke gurunya gak, kenapa anak-anak itu kelihatan normal-normal aja, Ta?"
Aku memiringkan kepala.
"Benar kan? Mereka semua kelihatan normal-normal aja. Gak ada yang kelihatan kurang or something, gitu. Lalu kenapa mereka harus sekolah di SLB?"
Aku diam. Benar juga ya. Kunjungan ke SLB sudah berlalu sejak dua hari lalu, tapi kenapa aku baru menyadarinya ya? Kebetulan beberapa anak SD yang kulihat kemarin tidak menunjukkan sesuatu apapun—mereka berbicara dengan normal, tidak ada yang cacat dari tubuh mereka, dan wajah anak-anak tersebut tidak berbeda dengan anak pada umumnya.
"Oh ya, beberapa minggu lalu aku ke SLB di depan Citraland Mall. YPAC itu. Tahu kan, Kak?"
Kak Gia mengangguk, walaupun aku sama sekali tidak menjawab pertanyaannya tadi.
"Di situ, semua anak kelihatannya parah. Kecacatan mereka terlihat dari sekali pandang saja. Benar juga, di SLB yang kemarin semuanya baik-baik dan normal-normal aja ya."
"Kecacatan mereka gimana?"
"Ada yang down syndrome. Jadi sekali lihat aja, kita udah tahu kalau dia DS. Kan kelihatan dari wajahnya yang mirip orang Mongolia. Terus, ada yang pakai kursi roda, ada yang jalannya timpang, ada yang bisu tuli, ada yang... macem-macem deh, Kak."
"Beda banget sama kemarin berarti ya? Kemarin kita kayak masuk ke sebuah sekolah normal yang terpencil."
Aku tidak menjawab, lalu kami kembali pada layar laptop masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh malam, dan tahu-tahu aku dapat insight.
"Oh, nemu jawabannya deh!"
Kak Gia menoleh dari laptop Asus-nya dengan kening berkerut, "Nemu apa?"
"Aku tahu! Aku tahu kenapa semua anak di sana kelihatannya normal-normal aja!"
Kak Gia tersenyum antusias, "Karena?"
"SLB itu khusus untuk anak-anak tuna grahita. Mereka kan tuna grahita alias retardasi mental. Mereka bukan down syndrome, Kak."
Kak Gia tampak berpikir sejenak.
Ayo dong, calon psikolog masa gak tahu bedanya retardasi mental sama down syndro—
"Oh iya! Retardasi mental kan cuma memengaruhi fungsi kognitif ya? Gak akan kelihatan kayak down syndrome yang wajahnya memang khas, kan?"
"Betul!" Aku menjentikkan jari. "Kata Bu Weni pas aku bimbingan, retardasi mental itu cuma bercirikan IQ yang rendah, di bawah 70, sedangkan IQ orang normal kan berada di kisaran 100. Kemampuan adaptasi sosialnya juga rendah. Dan semua ciri-ciri itu muncul sebelum seseorang berusia 18 tahun."
"Ada juga lho anak retardasi mental yang jadi perenang hebat, pemain biola unggul... Mereka bisa kerja kok, karena fisik mereka normal dan gak bakalan ada orang yang tahu kalau dulunya mereka sekolah di SLB ketika melihat fisik. Tapi memang kemampuan kognitifnya agak kurang," lanjutku.
YOU ARE READING
Bocah-Bocah SLB Kagok
General FictionAku gak tahu. Gak tahu seberapa besar porsi rasa syukur yang pantas memenuhi hati para orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Seberapa besar orang tua mampu menerima keadaan bila anaknya diputuskan harus masuk ke SLB dan bukan di sekolah no...