Part 8

112 20 7
                                    

Sampai saat ini, aku melihat wanita itu kelihatan nyaman duduk bersamaku. Jawaban-jawabannya menyenangkan, senyumnya juga kelihatan tenang dan tidak terkesan menyelidik. Eh? Dia cemas gak sih dengan kehadiranku? Dia pasti tahu dong, kalau aku ke sini bukan tanpa maksud? Atau memang dia setulus itu—terbuka soal keadaan anaknya tanpa bermaksud menutup-nutupi?

Aku sulit menebak. Yang pasti, langkahku harus tepat dan jangan terkesan terburu-buru. Aku tahu harus masuk di celah yang benar agar kehadiranku tidak menjadi ancaman buatnya, apalagi kalau beliau masih belum bisa menerima kondisi gangguan anaknya.

"Oh, kalau ibunya Nathan..."

"Nah, ini Lena sudah pulang, Mbak." Wanita itu tersenyum sambil kepalanya menunjuk ke luar. Entah benar atau tidak, perutku sedikit melilit mendengar kalimat itu. Dan ketika aku menoleh, telingaku lebih dulu mendengar celotehan beberapa remaja di luar pintu. Oh my God! Lena bawa teman-temannya?

"Buk..."

Gadis itu melepas sepatunya di depan pintu, lalu menyapa ibunya. Tapi kalimatnya terhenti ketika tatapan matanya jatuh padaku. Eh?

"Lena, ini lho, kakak dari Wesada mau bantu-bantu kamu belajar."

Aku buru-buru berdiri, lalu mengulurkan tanganku, "Halo, Lena. Masih ingat aku, kan?" tanyaku berusaha seramah mungkin. Eh, di belakang gadis remaja ini, masih ada dua orang remaja lelaki.

Gadis di hadapanku tersenyum malu-malu, persis seperti anak SD yang masih kekanakan. Ia tidak lekas membalas uluran tanganku, tapi tubuhnya meliuk ke kanan dan ke kiri, baru menyalamiku, "Masih," ujarnya sambil senyum-senyum sendiri.

Aku membalas senyumnya, lalu pandanganku beralih ke dua remaja lelaki itu, "Ini Kamal ya? Dan ini... Hadi? Benar ya?"

Dua lelaki di belakang gadis ini saling pandang duluan, lalu senyumnya yang lebar mengembang, "Masih ingat ya, Mbak?"

Aku mengangguk cepat, "Iya, masih dong," jawabku dengan nada bersahabat.

"Nah, Len, ganti baju dulu sana. Terus langsung belajar sama Mbaknya, ya."

Aku buru-buru menoleh. Wanita paruh baya itu bahkan sudah mulai berdiri dari sofanya.

"Lena boleh makan dulu, kok, Bu. Santai saja."

"Lena jarang makan sepulang sekolah kok, Mbak. Makannya agak sore biasanya."

"Oh." Aku menoleh ke Lena.

Gadis itu tersenyum manis ke arahku, lalu segera berjalan dengan langkah yang kelihatan sangat riang, "Sebentar ya, Mbak, aku ganti baju dulu."

Aku mengangguk ramah, "Ya, silakan ya."

"Nah, teman-teman Lena itu sering main ke sini, Mbak. Malah, beberapa kakak kelasnya, alumni Kagok juga sering ke sini. Kalau Hadi dan Kamal sih hampir tiap hari ke sini buat belajar."

"Wah, pada mau ujian ya, Bu? Jadi sering belajar bareng ya?"

"Iya, Mbak. Ya sudah, saya tinggal ya, Mbak. Sebentar lagi Lena juga keluar."

"Monggo, monggo, Bu. Matur nuwun ya."

Wanita itu lekas memasuki lorong dan menyibakkan tirainya. Ia masuk kembali ke dalam kamarnya. Sekarang aku hanya duduk bertiga dengan dua remaja lelaki ini. Aku menoleh dan tersenyum ke mereka, "Kalian gak lapar? Mau makan dulu mungkin?" tanyaku basa-basi—tentu saja. Aku tidak bawa makanan tapi, sambungku dalam hati.

"Ah, ndak kok, Kak, belum lapar." Kamal menjawab dengan nada malu-malu sambil senyum-senyum sendiri. Lelaki di sebelahnya juga begitu walau tidak menjawab.

Bocah-Bocah SLB KagokWhere stories live. Discover now