Aku mematung di depan sebuah pintu kayu. Sederhana sih, tapi tidak seburuk perumahan Zaskia kemarin. Rumah-rumah di sekitar sini kelihatan sederhana namun terawat. Selalu ada pagar-pagar rendah yang menyenangkan. Tadi aku sempat ragu di depan pagar. Tapi pagarnya tidak terkunci. Jadi setelah membayar ongkos Go-Jek, aku membuka pagar dan masuk melewati pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Ada sebuah pohon mangga besar. Yah, ini kan bulan Februari. Mana ada pohon mangga yang berbuah?
Sekarang aku berhenti di depan pintu kayu sederhana. Warnanya coklat tua. Di sampingku, ada sebuah kursi kayu panjang dan meja bundar yang juga terbuat dari kayu. Lantai rumah ini kelihatan kotor. Oke, aku harus menguatkan niat. Kali ini semoga berjodoh!
Dua kali ketukan, lalu terdengar suara teriakan dari dalam rumah, "Ya... ya... sebentar."
Tiga detik kemudian, seorang wanita tampak menyibakkan gorden dari dalam rumah dan mengintip. Aku memasang senyum. Ia lalu membuka pintu.
"Siang, Bu."
Aku mengobservasi. Dahi wanita itu langsung berkerut-kerut tak karuan. Ia memandangku dengan pandangan... oh? Kurang bersahabat?
"Ya? Cari siapa, Mbak?"
"Ini benar rumahnya Hadi, Bu?"
Dia diam sebentar. "Benar."
"Ibu... ibunya Hadi?"
"Ya."
Aku ingin menghembuskan napas, tapi kutahan.
"Saya Renata, dari Universitas Wesada, Bu. Kemarin sempat main ke sekolahnya Hadi. Saya ke sini mau ngobrol sedikit Bu, apakah boleh?"
Duh. Nyaliku ciut hanya dalam hitungan detik. Wanita ini... dia memandangku dengan alis berkerut, tidak segera menjawab, dan bahasa tubuh yang sulit kuartikan. Yang jelas, aku paham kalau dia menolak.
Oke, aku tahu itu. Tapi pergi sekarang bukan sikap yang tepat, apalagi jelas-jelas aku sudah terlanjur menjelaskan tentang diriku dan tujuanku datang ke sini. Sial. Andai saja aku paham sejak awal, mungkin aku bisa berpura-pura salah alamat. Tapi sekarang?
"Boleh, Mbak. Masuk."
Dia berbalik, lalu berkata sekali lagi, "Maaf ya, rumahnya berantakan," katanya dengan nada super datar.
Aku buru-buru mencopot sepatu dan mengikutinya masuk. Langkah pertama, kami langsung dihadapkan pada ruang tamu yang sempit dan terisi penuh. Ada sofa-sofa, meja kayu, lemari plastik, foto-foto, lemari es...
"Gak apa-apa, Bu. Rumah saya juga berantakan," kataku sok akrab. Tapi ternyata tidak mengubah apapun karena wanita itu sama sekali tidak menanggapi.
"Jadi, mau tanya apa, Mbak?" todongnya langsung, begitu dia mempersilakanku duduk.
Aku ingin menelan ludah rasanya.
"Jangan lama-lama ya, tapi. Saya masih banyak kerjaan. Belum nyapu, belum ngepel, belum masak juga."
Oke, fix, dia bukan subjekku!
Tadinya kupikir setelah tidak mungkin mengambil ibu Zaskia sebagai subjek penelitian, aku harus cepat berpindah halauan dan mencari subjek penelitian baru. Pilihanku jatuh pada nama Hadi. Eh, sialnya aku malah menemui wanita ini—yang tidak bersahabat bahkan sejak aku memperkenalkan diri tadi.
Jadi kepala sekolah SLB Kagok memang telah memberiku data lengkap tentang nama siswa, nama orang tua, pekerjaan orang tua, sampai alamat rumah. Bahkan surat pengantar wawancara juga sudah ada dalam genggamanku. Sembari mulai jarang datang ke SLB, aku mengawali masa berperang—mengunjungi rumah mereka untuk mendapatkan tiga orang subjek penelitian. Tujuanku jelas, ibu dari anak retardasi mental. Tapi tahu sendiri kan, kalau tujuan pertamaku sudah pupus karena ibu Zaskia kerja di luar kota? Dan sepertinya subjek kali ini juga tidak akan berhasil.
YOU ARE READING
Bocah-Bocah SLB Kagok
Fiction généraleAku gak tahu. Gak tahu seberapa besar porsi rasa syukur yang pantas memenuhi hati para orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Seberapa besar orang tua mampu menerima keadaan bila anaknya diputuskan harus masuk ke SLB dan bukan di sekolah no...