Part 7

101 23 8
                                    



Aku menyipitkan mata, melongok ke dalam gang yang berukuran sangat sempit. Di dalam gang ini ya, rumahnya? 

"Benar ini ya, Mbak, rumahnya?"

Aku buru-buru menoleh dan mengangguk, "Benar kok, Pak, rumahnya di dalam gang ini. Jadi, berapa ongkosnya ya?"

Sopir Go-Jek itu buru-buru membuka Android-nya, lalu menyebutkan rupiah yang harus kubayar. Setelah beres, ia pamit dan segera berlalu dari hadapanku. Aku menarik napas sekali lagi. Benar di sini kan, ya, rumahnya?

Udara siang ini tidak terik. Malah, kalau boleh ditebak, hujan akan segera turun setelah ini. Aku buru-buru mendekap tasku dan berjalan memasuki gang super sempit. Eh, gang ini juga tidak panjang. Tahu-tahu, aku sudah di penghujung gang buntu. Ketika menoleh ke kanan, ada sebuah rumah super sederhana yang pintunya terbuka sedikit.

Aku memandangi penampakan rumah di hadapanku. Sederhana, kecil, dan terkesan agak berantakan. Atapnya pendek, pintu rumahnya terbuat dari kayu yang dicat warna biru kusam, dan ada beberapa sandal rumah di depan pintu.

"Mbak?"

Aku segera menoleh dengan kaget. Seorang lelaki agak tua, dengan kulit tubuh hitam legam dan punggung agak membungkuk sudah berjalan mendekatiku.

"Cari siapa?" katanya, sambil berjalan mendekatiku.

Aku memeluk tasku, lalu berjalan satu langkah untuk mendekatinya. "Hm, ini benar rumah Pak Saleh?"

Lelaki itu mengangguk cepat, "Benar, saya sendiri. Ada perlu apa ya, Mbak?" Kali ini alisnya naik setingkat.

Aku memaksakan seulas senyum kecil. Oke, ini kesan pertama yang harus dibangun dengan tepat. Pendekatan yang cacat sedikit saja bakal menyulitkan langkahku selanjutnya karena subjek penelitian akan kehilangan kepercayaan terhadapku.

"Oh, Bapak sedang sibuk?"

"Tidak... Tidak." Ia menggeleng pelan.

"Boleh mengobrol di dalam, Pak?"

Lelaki itu tersenyum, "Oh, monggo, monggo, masuk, Mbak. Rumahnya berantakan lho."

Entah benar atau tidak, aku merasa ada beban yang terlepas begitu saja dari dadaku. Senyum lelaki itu mengandung penerimaan yang baik. Ia orang Jawa tulen yang kelihatan sederhana dan amat ramah. Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam rumahnya, "Ayo, monggo masuk, Mbak. Eh... Sandalnya dipakai saja."

Aku mengikuti langkahnya dan tetap menanggalkan sandalku di depan pintu, "Gak papa, kok, Pak."

"Rumahnya kotor lho."

Aku buru-buru tersenyum, "Enggak, Pak, rumah saya juga begini."

Kami lalu duduk di sebuah rumah tamu mungil yang ala kadarnya. Oh. Aku baru menyadari kalau lantai ruang tamu ini juga masih dilapisi semen, dan belum dikeramik. Selain itu... Penerangan di ruang tamu ini kelihatan sangat minim karena tidak ada lampu yang dihidupkan. Ada sebuah kipas angin berdiri di sudut ruang, sofa-sofa lumayan empuk yang kami duduki walau isi sofanya sudah mencuat ke luar karena ujungnya robek-robek. Televisi di pojok ruangan, sebuah lemari plastik...

"Ada perlu apa nih, Mbak, mencari saya?"

Aku menatap lelaki yang duduk di hadapanku.

"Saya Renata Rianto, Pak. Kemarin saya sempat main ke sekolah Lena, katanya Lena akan ujian bulan April besok, ya, Pak?"

"Wah, dalam rangka apa nih, Mbak, main ke sekolah anak saya?"

Aku menelan ludah dengan hati was-was. Jangan... Jangan sampai lelaki ini lalu kehilangan respek terhadapku. Ini baru pertemuan pertama, dan aku harus membangun image yang benar. Jangan salah jawab, atau ia akan memilih bungkam terhadapku.

Bocah-Bocah SLB KagokWhere stories live. Discover now