Jilid 2

8.9K 91 1
                                    

Thay Giam tahu otak si tua masih kalang kabut dan ia hanya bersenyum tanpa meladesi. Baru saja ia mau berlalu, mendadak menyambar sebuah gelombang besar, sehingga pakaiannya basah kuyup dan kakek sendiri mendekam diatas pasir dengan badan gemetaran.

Dengan adanya kejadian itu, Thay Giam berubah pikiran. "Jika menolong orang, kita harus menolong sampai diakhirnya," pikirnya "kalau aku berlalu, mungkin sekali dia akan mati didalam laut." Memikir begitu, ia lantas saja menjambak punggung si kakek itu dan sambil menentengnya, ia berjalan kearah sebuah bukit, ia mengawasi keadaan diseputarnya dan melihat sebuah rumah kecil yang bentuknya menyerupai kelenteng. Ia lalu pergi kesitu dan benar saja rumah itu rumah berhala yang didepannya terdapat huruf2 "Hay sin bia" Kelenteng Malaikat Laut. Ia menolak pintu dan mendapat kenyataan bahwa kelenteng yang sangat kecil itu hanya mempunyai sebuah ruangan.

Sesudah meletakkan si kekak diatas meja sembahyang, ia mengeluar bahan api, tapi tak dapat menggunakan karena basah. Dalam gelap, ia meraba2 meja sembahyang dan sungguh untung diatas meja terdapat bahan api yang diperlukannya. Ia lalu menyalakan bahan api itu dan menyulut lilin yang tinggal sepotong.

Dibawah sinar lilin ia lihat muka si kakek yang berwarna hijau ungu sebagai tanda keracunan hebat. Dengan kaget ia merogo saku dan mengeluarkan sebutir Thian sin Kay tok tan atau pel pemunah racun. "Telanlah pel ini," katanya.

Si kakek membuka mataya. "Tidak," katanya dengan suara gusar. "Aku lebih suka mati daripada makan pil racunan."

Biar bagaimana sabarpun, Jie Thay Giam naik juga darahnya. Sambil mengerutkan alis, ia berkata dengan suara keras: "Kau anggap aku siapa? Walaupun Boe tong Cit hiap bukan orang2 mulia, mereka sedikitnya bukan manusia2 yang gemar mencelakakan sesama manusia. Sebentar pel ini adalah untuk memunahkan racun. Karena kau sudah kena racun hebat, biarpun belum tentu bisa menolong jiwamu, sedikitnya pel ini bisa memperpanjang usiamu selama tiga hari. Paling benar kau menyerahkan To liong to kepada Hay see pay dan menukarkannya dengan obat pemunah."

Mendadak kakek itu melompat bangun dan berteriak : "Tidak . . . .! Tidak bisa !"

"Perlu apa golok mustika itu, kalau jiwamu sendiri sudah melayang?" tanya Thay Giam.
"Jiwaku boleh melayang, tapi To liong to mesti tetap jadi milikku" jawabnya dengan suara pasti seraya mencekal golok itu erat2 dan menempelkannya dipipinya dengan sikap sangat menyayang.

Jie Thay Giam jadi heran bukan main. Ia sebenarnya ingin menanya, "apa kefaedahan golok tersebut sehingga dicinta sampai begitu. Tapi melihat sorot mata si kakek yang serakah dan ganas, ia jadi merasa muak dan sesudan memutar badan, ia lantas saja berjalan pergi.

"Tahan! Mau kemana kau?" bentak orang tua itu.

Thay Giam tertawa. "Kemudian aku mau pergi, bukan urusanmu," jawabnya sambil berjalan terus. Tapi baru ia berjalan beberapa tindak, mendadak kakek itu menangis keras seperti jeritan binatang yang terluka hebat yang penuh kesakitan dan putus harapan.

Tangisan itu telah membangkitkan rasa kesatria Jie Thay Giam. Ia balik kembali menanya: "Mengapa kau menangis?"

"Sesudah mengalami banyak sekali penderitaan, barulah aku memiliki golok mustika ini." jawabnya. "Tapi sekarang aku tahu, dalam sekejap mata, jiwaku akan terpulang kealam baka. Sesudah aku mati, perlu apa golok mustika ini ?"

"Hm....untuk menyelamatkan jiwamu tak ada jalan lain dari pada menyerahkan golok itu kepada Hay see pay untuk ditukar dengan obat pemunah" kata Jie Thay Giam.

Sikakek menangis meng gerung2. "Aku tak tega untuk menyerahkannya! Tak tega untuk menyerahkan!" teriaknya dengan nada pe
nuh keserakahan.

Thay Giam merasa geli melihat serakahnya orang tua itu tapi dengan menyaksikan penderitaannya yang sangat hebat ia tidak bisa tertawa pula, seorang ahli silat yang sejati hanya mengandalkan kepandaiannya untuk mengalahkan musuh dan dalam sepak terjang ia selalu berjalan lurus dan bersedia untuk menolong sesama manusia supaya namanya tetap harum turun temurun. "Golok atau pedang mustika adalah benda2 yang berada diluar badan kita. Kalau mendapatkannya kita tak usah bergirang, sedang kalau kehilangan kita juga boleh tak usah merasa sedih. Maka itu, perlu apa Lootiang mesti bersedih sampai begitu rupa?"

Kisah Membunuh Naga (To Liong To / Heaven Sword and Dragon Sabre) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang