Jilid 21

4.3K 50 0
                                    

Sementara itu Cia Soen sudah bicara dengan suara nyaring! "Aku Cia Soen berdosa besar dan aku sama sekali tidak duga, bahwa aku bisa hidup sampai hari ini. Sekarang, jika diantara para enghiong ada yang sanak keluarganya dibinasakan olehku, maka ia boleh lantas saja maju untuk ambil jiwaku. Boe Kie, kau jangan merintangi dan juga tidak boleh membalas sakit hati, supaya kau tidak menambah kedosaanku."

Dengan air mata berlinang, si anak mengangguk.

Untuk beberapa saat seluruh lapangan sunyi senyap. Sesudah melihat apa yang terjadi, banyak orang yang menganggap, bahwa turun tangan terhadap Cia Soen diwaktu itu bukan perbuatan seorang ksatria.

Tiba2 seorang pria maju dan berkata: "Cia Soen, ayahku, itu Cie Tin Cin Lam Khoe Loo Hiong binasa dalam tanganmu. Aku ingin membalas sakit hatinya."

"Benar, Koe Heng boleh lantas turun tangan," jawabnya.

Orang she Khoe itu segera menghunus golok.

Bukan main bingungnya Boe Kie. Ia serba salah. Tubuhnya gemetaran dan tanpa merasa ia maju beberapa tindak.

"Anak Boe Kie!" bentak sang Gie Hoe, "Kalau kau merintangi, artinya kau anak tidak berbakti. Sesudah aku mati, kau boleh periksa penjara diddalam tanah dan kau akan tahu segala apa."

Orang she Khoe itu mengangkat goloknya sampai dibatas dada. Tiba2 air matanya mengucur. Ia meludahi muka Cia Soen dan berkata dengan suara parau, "Diwaktu hidup, Sian hoe (mendiang ayah) seorang gagah. Jika tokhnya angker, ia tentu tidak setuju jika aku membinasakan seorang buta yang tidak bisa melawan lagi..." Goloknya jatuh dan sambil menekap muka dengan kedua tangannya, ia lari balik ke orang banyak.

Seorang wanita setengah tua maju dan berkata: "Cia Soen, aku ingin membalas sakit hati kakakku. Im Yang Pan Koan Cin Peng Hoei." Ia mendekati, meludahi dan berlalu sambil menangis.

Melihat ayah angkatnya dihinakan tanpa bergerak, hati Boe Kie seperti disayat pisau.

Dalam Rimba Persilatan hidup atau mati di pedang kecil. Yang dianggap sebagai urusan besar ialah hinaan. Kata orang.

"Orang gagah boleh dibunuh, tak boleh dihina." Meludahi muka adalah salah satu hinaan terhebat, tapi Cia Soen menelannya dengan segala kerelaan. Ini merupakan bukti, bahwa ia sungguh2 merasa menyesal akan perbuatannya yang dulu2.

Demikianlah seorang demi seorang maju menghampiri untuk membalas sakit hati sanak keluarganya. Ada yang meludahi, ada yang menggelepok, ada pula yang mencaci. Cia soen menerima itu semua dengan kepala menunduk dan mulut membungkam.

Sesudah tigapuluh orang lebih melampiaskan ganjelannya, majulah seorang imam yang jenggotnya panjang. "Pinto membuktikan bahwa Cia thay sebenarnya seorang mulia. Pintu sendiri pernah membinasakan banyak orang baik, orang2 jalanan putih maupun orang2 jalanan hitam. Apabila Pinto membalas sakit hati terhadap Cia thay hiap, lain2 orang juga tentu akan mencari pinto untuk membalas dendam sakit hati mereka." Sesudah berkata begitu, ia menghunus pedang, mementil badan pedang yang lantas patah dua dan melemparkan gagang senjata itu ditanah. Sesudah memberi hormat dengan membungkuk, ia berlalu sambil menundukkan kepala.

Para hadirin lantas saja mengutarakan pendapat mereka dengan bisik2. nama Thay hie coe tidak banyak kenal orang. Tak dinyana, ia mempunyai kepandaian tinggi. Apa yang sangat mempengaruhi orang adalah sikapnya dan dada yang lapang. Sesudah mendengar teguran Thayhie coe, rasanya tak ada orang lagi yang menghina Cia Soen.

Tapi diluar dugaan, dari rombongan Co bie pay keluarlah seorang pendeta tua. Ia menghampiri Cia Soen dan berkata, "Kau sudah membunuh suamiku, tapi cukuplah jika aku meludahi mukamu," ia lantas saja menyemburkan ludahnya kemuka Cia Soen. Orang yang berkuping tajam lantas bisa mendengar bahwa dalam semburan ludah itu mengandung sesuatu. Cia Soen bahwa sebatang paku sedang menyambar. Ia tidak berkilat dan hanya berkata didalam hati, " Kalau aku mati sekarang, aku mati agak terlambat."

Kisah Membunuh Naga (To Liong To / Heaven Sword and Dragon Sabre) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang