Penobatan dilaksanakan dengan sangat khidmat. Ditemani kerlap lampu istana dan cahaya bulan, semua terasa begitu syahdu. Namun, kesyahduan itu tak ubahnya bayangan semu. Hanya kesementaraan sebelum pangeran menemui ajalnya.
"Anakku. . ." Ucap sang raja dengan suara lirih sambil memegang bahu pangeran.
"Sudahlah, tidak apa, Ayah."
Keharuan itu tak berlangsung lama. Dari dalam istana, muncullah sang utusan sambil membawa kembang api yang penuh dengan luka, "Maafkan kehadiranku bila mengganggu keharuan ini. Hanya saja, kita tidak memiliki banyak waktu lagi. Malam telah semakin pekat dan hari harus segera berganti," ucapnya pada raja dan pangeran yang ada di hadapannya.
"Tidak. Itu tidak masalah wahai utusan. Aku mengerti. Karena memang itulah tujuanku. Aku akan segera melakukan pengorbanan diri," balas sang pangeran yang kini telah menjadi raja.
"Terima kasih, rajaku yang baru. Sejujurnya, aku masih belum rela bila kerajaan ini harus kehilangan seorang bijak sepertimu," ucap sang utusan.
"Iya, anakku. Aku. . . Aku masih belum dapat menerima ini semua," tambah raja sebelumnya.
"Bukankah sudah kukatakan, tak ada yang harus disesali? Tak ada gunanya menyesali ini semua. Sekarang, wahai utusan, tolong berikan padaku belati suci."
Sang utusan pun memberikan belati suci pada raja yang baru, "Ini, Tuanku."
Raja baru tersebut kini menggenggam belati suci dengan kedua tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, "Wahai ayahku dan seluruh penduduk negeri yang aku cinta. Aku harap pengorbananku ini tidaklah sia-sia. Aku harap kalian semua tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan kelak. Dan aku harap kembang api dapat kembali bermekar malam ini. Pengorbananku ini bukanlah apa-apa. Ini hanyalah hal kecil. Ketika kalian benar-benar mencintai seseorang maka kalian akan melakukan hal apapun untuk orang yang kalian cintai tersebut. Tak peduli apakah kalian harus menderita atau bahkan kehilangan nyawa. Hiduplah demi cinta dan matilah demi cinta. Maaf dan terima kasih. Selamat tinggal semuanya. Kini aku dapat berjumpa dengan Ibu di sana."
Di hadapan semua orang yang hadir di halaman istana, raja baru itu menikamkan belati suci ke jantungnya.
"Tidaaaaakkk. . ." Teriak raja yang lama. Ia kini tertunduk lesu sambil menangis dan memegangi tubuh putranya yang rebah. Terdengar pula suara isak tangis dari kerumunan rakyat. Mereka pun bingung menentukan sikap dan pada akhirnya hanya dapat terdiam.
Sementara itu darah mengucur deras dari tubuh raja baru dan dengan segera sang utusan membasuhkan darah sang raja pada kembang api. Waktu telah menunjukkan pukul 12 malam. Lonceng jam pun berdentang. Semua orang hanya dapat menelan ludah, was-was apakah kembang api akan pulih atau tidak. Perasaan rakyat kini bercampur baur, haru, sedih, khawatir, takut, bimbang. Kecemasan hadir di wajah setiap orang. Cemas akan nasib dari kerajaan dan hari esok.
Sang utusan pun terlihat gelisah. Ia masih terus membasuh kembang api dengan darah raja. Keringat pun mengucur dari sekujur tubuh utusan, "Kumohon, kumohon kembang api, hiduplah, kembang api hiduplah, hiduplah, kembang apiii hiduplalaaaahh!" Teriak sang utusan pada akhirnya.
Seberkas cahaya muncul dari tubuh kembang api. Cahaya tersebut menyembuhkan luka-luka yang ada pada tubuh kembang api. Seperti kilat, kembang api pun melesat ke angkasa sambil memekakkan teriakan melengking. Ia pun bermekar di angkasa menghasilkan cahaya seperti Phoenix yang membentangkan sayapnya.
Semua rakyat bergembira, bersorak-sorai tak henti-henti. Semua orang bernyanyi dan menari. Hilang segala kegelisahan dan ketakutan yang sejak tadi menghantui mereka. Semua orang, kecuali sang raja. Ia masih memegangi tubuh putra semata wayangnya. Di saat yang lain memandang angkasa, hanya raja seorang yang menunduk ke bawah.
"Wahai utusan," akhirnya raja membuka suara.
"Ya, Tuanku."
"Aku rasa diriku ini sudah tak pantas lagi disebut sebagai raja. Rakyat pun kini sudah tidak percaya lagi padaku. Aku sudah tidak ingin lagi menjadi raja. Menjadi raja hanya membutakan nuraniku. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menunjukmu sebagai raja yang baru. Aku rasa kau adalah orang yang layak menjadi pemimpin di negeri ini. Aku sangat percaya padamu. Rakyat pun percaya dan mencintaimu," ucap sang raja.
"Lantas bagaimana dengan diri Tuan?" Tanya sang utusan.
"Aku lebih memilih untuk mengasingkan diri saja ke kampung halamanku di perbatasan sana. Aku menaruh harapan besar padamu," lanjut sang raja.
"Aku rasa aku masih belum layak untuk menjadi raja, Tuan. Diriku ini masih memiliki banyak sekali alpa," sang utusan merendah.
"Tidak, wahai utusan. Dirimu sudah sangat layak untuk menjadi pemimpin negeri ini. Penolakanmu tadi adalah bentuk dari kelayakanmu."
"Hhahahaha, aku sudah tau pak tua bahwa diriku ini memang layak. Akhirnya setelah sekian lama, setelah sekian usaha yang aku lakukan untuk dapat menguasai negeri ini, akhirnya penantianku tersebut datang juga. Hhahaha, bagus sekali pak tua bila dirimu itu sadar. Mulai saat ini aku dapat melakukan apapun sesukaku, tanpa ada lagi yang menghalangi," ucap sang utusan dalam hati.
***
"Bunda, apa maksudnya itu? Apakah sang utusan itu orang yang jahat?" Tanya sang anak.
"Entahlah, Nak. Kita tidak benar-benar dapat mengetahui hati seseorang, bahkan terkadang, hati kita sendiri," jawab sang bunda sambil mengusap kepala anaknya dan mengecup keningnya.
#selesai