Di antara suara gemuruh rakyat yang meminta pertanggungjawaban dari sang raja, terdengarlah suara langkah kaki yang berjalan begitu anggun dari kerumunan tersebut. Ia melangkah setapak demi setapak hingga mencapai di depan kerumunan dan berteriak dengan lantang, "Duhai rajaku, tak perlu kau gusar ataupun beresah hati. Semua tanggung jawabmu, biar aku saja yang melakukannya."
Melihat peristiwa di hadapannya, sang raja menjadi tertegun. Raut wajahnya pun kini kian pucat. Tak disangkanya, putranya sendiri, sang pangeran, rela mengorbankan diri demi ayahnya. Rakyat pun yang semenjak tadi berteriak-teriak dengan lantang dan penuh amarah, kini sudah mulai padam. Hanya tersisa suara bisik-bisik di antara mereka.
"Tapi, tapi anakku, kau ini masih muda. Langkah hidupmu masih sangatlah panjang. Apa kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu?" Tanya sang raja dengan suara bergetar. Ia masih tak percaya, karena dirinya sendiri saja sangat takut menghadapi kematian.
"Tentu saja aku sangat yakin, rajaku. Bagiku, umur dan diriku ini tidaklah berarti apa-apa bila dibandingkan dengan keselamatan rakyat dan negeri ini," jawab pangeran dengan suara yang lantang.
"Kau bilang keselamatan negeri? Apa jadinya negeri ini bila kau harus mati? Kau adalah pewaris tunggal kerajaan ini. Bila kau mati, maka tak ada lagi masa depan negeri!" Bentak sang raja.
"Tapi, bila aku tidak mengorbankan diri, jangankan keselamatan negeri, hari esok pun tak akan ada!" Balas pangeran.
Mendengar hal itu sang raja langsung terdiam.
"Rajaku, kumohon, korbankanlah diriku, sungguh aku tidak ingin melihat kau yang dikorbankan. Biar bagaimanapun, kau ini adalah ayahku dan aku sangat menyayangimu. Anggaplah ini sebagai bentuk bakti seorang anak kepada orang tuanya," ucap pangeran dengan sangat yakin.
"Tapi, anakku. . ."
"Sudahlah Ayah, lagi pula aku ingin membuat diriku ini berguna. Selama ini mereka di luar sana selalu membicarakanku, mengganggapku sebagai pangeran tak berguna, pangeran yang manja, yang hanya dapat berlindung pada nama besar dan kekuasaan. Aku sudah lelah dengan itu semua Ayah," ucap pangeran dengan suara parau.
"Oh, anakku. . ." Raja menatap dengan iba.
"Paling tidak, sekali dalam hidupku ini aku ingin melakukan hal yang benar-benar berguna bagi rakyat dan negeri ini," sambung pangeran.
Melihat sikap anaknya tersebut, sang raja hanya dapat terpaku. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ia sungguh malu dengan dirinya sendiri yang tak lebih dari seorang pecundang. Ia bahkan sudah menganggap dirinya tak pantas lagi untuk dipanggil sebagai raja. Sesungguhnya raja sangat ingin mengorbankan dirinya sendiri, tetapi ia merasa kini semuanya telah terlambat, apalagi setelah melihat kebulatan tekad pangeran.
"Segera lakukan upacara penobatan raja yang baru. Dengan ini aku menyatakan untuk turun tahta dari kerajaan ini!" Perintah raja.
Keputusan tersebut membuat semua orang tercengang. Para petugas kerajaan segera menyiapkan berbagai hal yang dibutuhkan untuk acara penobatan. Sementara rakyat yang menyaksikan peristiwa itu semua, kini menjadi iba dengan nasib yang akan diterima oleh pangeran. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang meninggalkan halaman istana karena tak sanggup melihat pengorbanan pangeran.
Upacara penobatan pun siap dilaksanakan, segala sesuatunya telah disiapkan. Raja mulai memasuki halaman istana, mendatangi pangeran, dan kemudian menyerahkan mahkota miliknya kepada pangeran. Pun dengan jubah kebesarannya.
"Atas nama kerajaan ini, maka aku menobatkan anakku menjadi raja yang baru, yang akan memimpin negeri ini!" Ucap sang raja dengan suara parau dan menitihkan air mata. Dalam hatinya ia hanya dapat meminta maaf atas kesalahan dan sikap pecundangnya selama ini.
