Tujuh: Permintaan Maaf

589 55 10
                                    

***

Naura marah pada Zeryn. Dalam benaknya terbesit segelintir perasaan kecewa pada gadis itu--Sahabat terbaiknya sejak SMP. Satu jam setelah kejadian itu, ia merelakan nasibnya untuk masuk ke ruang BK. Disorot berbagai macam pertanyaan penuh intimidasi.

Hasilnya, dua hari Naura menerima hukuman berupa 'Skorsing' .

Hari ini hari Rabu, hari pertamanya di-skorsing. Hari yang menyebalkan. Tubuh Naura rasanya seperti ditimpa seratus kilo beras. Sejak tadi pagi, berulang-ulang ia mengeluh. Bola mata anggurnya melirik ke arah jam dinding cokelat di sudut kamarnya. Pukul 20.00.

***

"Ze! Mau sampai kapan kamu nangis hah?" Mama dari luar kamar mengeraskan suaranya. Air mukanya tenang bagai temaram rembulan. Di kedua tangannya duduk sebuah nampan berisi makanan dan segelas air putih.

Cklekk..

"Ma, aku capek," tutur Zeryn saat sudah di depan pintu kamar. Mata hazel-nya merah. Sayu juga. Akibat menangis sejak tadi siang. Dugaan Zeryn tepat sekali, Naura telah sah menerima hukuman. Sejak kemarin--setelah kejadian menyesakkan itu terjadi--Zeryn berusaha menghubungi ponsel Naura, tetapi tidak ada sahutan. Sudah pasti, Naura marah pada dirinya.

Mama menatap prihatin, "Makan dulu yah," ujar Mama halus, "yuk di kamar aja makannya, Mama suapin."

"Hiks, iya udah asal disuapin," manja Zeryn. Bibir merahnya mengerucut lucu.

Mama meletakkan nampannya ke atas nakas. Zeryn duduk di sofa ungu muda di sudut kamar. Tangan lembut mama membelai rambut hitam Zeryn. Namun Zeryn masih saja menatap kosong, lurus ke depan.

"Ze, kamu gak berniat minta maaf sama Naura." Kemarin malam Zeryn sudah bercerita semuanya. Beginilah Zeryn jika sedang dihadapkan pada masalah, cepat putus asa. Kadar semangat yang ada di tubuhnya menurun drastis. Ia akan berlama-lama mengurung diri di dalam kamar. Menangis. Menyesali tanpa berbuat sesuatu. Dalam pikirannya hinggap asap negatif. Yah, pesimisme. Sifat buruk Zeryn.

Zeryn angkat bicara. "Naura sudah gak mau jadi sahabat aku." Ia menyeka wajah. "Zeryn memang pantas dapet hukuman kayak gini, ditinggal sahabat!"

"Setidaknya kamu gak berpikiran seperti itu, kamu harus tau sekarang ini bukan kamu saja yang sedang bersedih seperti ini, Naura di sana pasti juga sedih, jauh lebih sedih."

"Kamu mesti tau, Apa yang sebenarnya terjadi, kamu harus selesaikan masalahmu dengan cara yang lebih efisien, ingat! yang harus diselesaikan itu masalahnya, bukan persahabatannya yang selesai begitu saja," tandas Mama berapi-api. Senyum kepercayaan terpancar dari gurat wajahnya.

"Mama percaya sama kamu, Mama tau ini sedikit sulit butuh pemahaman yang kuat, yang bisa bikin Naura luluh lagi, sebenarnya dia hanya salah paham bukan?" suara Mama melembut. Turun satu oktaf.

"Dan aku sangat yakin, Ma, Naura sedang menyembunyikan masalah besar," ungkap Zeryn dengan telunjuknya menempel di dagu.

"Kalau begitu, ayo kamu harus bantu dia, dia butuh penyemangat," ujar Mama menaikkan alisnya.

"Ahh... Mama, 'penyemangat' kaya status aja deh," sembur Zeryn kemudian tertawa kecil.

"Mama kira, kamu berantem sama Naura gara-gara ...,cowok."

"Ihh ... Mama apaan sih, kan aku belum punya cowok," rajuk Zeryn.

"Kalau yang waktu itu? Siapa yah, A... nan?" goda Mama antusias.

"Bukan tau!" Zeryn menggeleng tegas.

"Ya sudah besok temui Naura, kasih penjelasan! Jangan pesimis terus dong," sindir Mama sambil memajukan bibir bagian bawahnya.

***
Sesuai rencana semalam, Zeryn menemui Naura. Ia ingin meluruskan semuanya.

"Nau!" suara Zeryn membuat Naura kaget. Naura yang posisinya membelakangi Zeryn masih diam membeku. Naura tahu itu suara Zeryn. Kaki putihnya saat ini ia celupkan ke kolam renang. Keadaan rumah sepi sekali. Hanya ada Naura. Bukan, ada Zeryn juga.

"Gue tau lo marah." Zeryn menunduk, wajahnya pias. Menatap arlojinya yang kini menunjukkan pukul 14.00.

"Dan seharusnya lo gak perlu dateng ke sini," sinis Naura. Ia mengembuskan napas kentara.

Zeryn melangkah mendekati Naura. Duduk di samping Naura. Ikut mencelupkan kaki ke kolam renang.

Naura membisu. Matanya menerawang jauh menembus celah daun-daun kaca piring yang ada di ujung kolam renang.

"Gue minta maaf," cicit Zeryn penuh penyesalan.

"Gue tau gue salah, siapa sih yang gak akan membela sahabat sendiri."

"Ketidakpahaman gue akan situasi saat itu benar-benar bikin gue kalap." Zeryn terus saja berceloteh, meskipun Naura tetap diam seperti patung.

"Gue tau, lo gak akan mau buat ngurusin masalah gue, ya kan?" Naura akhirnya bicara. Namun dengan ketus.

"Jadi lo gak perlu dateng ke sini dan ngejelasin semuanya," tegas Naura. Sorot matanya mengguncangkan hati Zeryn.

"Gu...,e waktu itu..." Zeryn menggantungkan kalimatnya.

"Nau gue tau, sangat tau, lo pasti jauh lebih sedih kan, lihat Nau, gue juga sedih, gue harap lo bisa memaafkan gue dan menerima gue sebagai sahabat lo lagi." Zeryn menyerah (lagi). Pesimisnya mulai menguap. Apalagi melihat Naura yang keras kepalanya minta ampun.

"Gue udah maafin lo," ungkap Naura akhirnya. Membuat batu yang mengganjal hati Zeryn bergulir dan hilang. Perasaan lega menyelinap ke palung hatinya.

"Tapi maaf Ze, gue gak bisa cerita semuanya sama lo," batin Naura sedikit murung.

Zeryn mengulum senyumnya. Ia senang akhirnya Naura memaafkan kesalahannya. Satu yang ada di pikiran Zeryn saat ini.

Masalah besar apa yang sedang dihadapi Naura?

Tentunya ia yakin Naura tidak mempermasalahkan hukuman itu, meskipun ia tidak menyukai sanksi. Itu memang resikonya. Yang membuat Zeryn heran, apa sebabnya Naura bertengkar dengan Kak Nadine waktu itu. Ini sungguh membingungkan.

"Makasih Nau, gue harap lo bakal jadi sahabat gue selamanya," jawab Zeryn sambil mengulas senyum lembut.

Sore itu masalah antara dua kuntum bunga itu akhirnya selesai, tetapi masih saja ada masalah besar yang menghampiri salah satu dari keduanya. Terus silih berganti, menaungi setiap sel-sel tubuh mereka.

***

To be continue...

Next?

Voment ya... :)
See you next time^^

Best StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang