Sebelas: Kerinduan itu kembali

520 34 5
                                    

***

Aku bisa merasakan bagaimana getar rindu itu mengalir.

Bunyi bel dari luar rumah mengalihkan perhatian Naura yang sedang membaca salah satu novel karya Tere Liye.

Ia beringsut turun dari tempat tidurnya. Dalam hatinya menelusup sebuah kebahagiaan meskipun sedikit.

Mungkin saja di luar sana, di depan pintu rumahnya, berdiri seseorang yang amat ia rindukan, seseorang yang dulu sering sekali membawakan Naura hadiah dan mengajak jalan-jalan keluarga. Ayahnya. Naura berharap itu adalah Ayahnya.

Atau mungkin sosok tegar penuh kelembutan. Wanita yang menyayangi Naura dan amat Naura cintai. Wanita yang belakangan ini sering sekali menghabiskan waktunya di kantor tempatnya bekerja. Wanita yang dirindui Naura setiap waktu. Ibunya, Naura berharap di depan sana ada ibunya berdiri dengan seulas senyum atau mungkin dengan cupcake kecil kesukaan Naura.

Naura menghentikan langkahnya ketika sampai pada pertengahan anak tangga. Ia sempat berpikir, atau mungkin barangkali yang berdiri disana justru sosok ayah dan ibunya. Sosok yang sama-sama ia sayangi sedang mengulas senyum penuh kasih sayang pada Naura. Buru-buru Naura menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Kejadian beberapa hari yang lalu bahkan sudah melumat habis pemikiran Naura tadi.

Naura melanjutkan langkahnya, agaknya pemikirannya tidak berhenti begitu saja. Ia juga berpikir kalau yang berdiri disana ternyata pak herdi--satpam rumahnya. Atau mungkin yang di depan sana adalah hantu. Oh, Naura segera membuang pikiran absurd itu.

Naura berhenti. Ia menatap handle pintu di hadapannya. Tangannya bergerak ragu-ragu.

Cklek

Mata Naura membelalak sempurna saat tahu siapa yang datang ke rumahnya.

***

Semilir angin malam membelai lembut wajah tampan Nanda.Rembulan tampak malu-malu, sedangkan sang bintang sama sekali belum menampakkan diri.

Bola mata legamnya menelusuri layar laptop miliknya yang intensitas cahayanya seperti membunuh lampu kamar.

Ia melempar pandangannya pada ponsel pintarnya yang terlihat berkedip tanda notifikasi pesan.

Nanda mengambil ponselnya. Sedetik kemudian seulas senyum tipis tercetak di bibirnya. Sebelah alisnya terangkat kemudian tertawa kecil.

"Awas aja lo! Gue udah nungguin lo, tapi lo gak datang!"

Ia tertawa sedikit lebih keras ketika seseorang--yang tadi mengirimkan pesan singkat untuknya--tiba-tiba menelepon dirinya. Namun sayangnya hanya beberapa detik saja dering telepon sudah lenyap padahal Nanda belum sempat menjawab panggilan itu.

"Kebiasaan deh, pelit banget, telepon aja susah, missed call mulu." Nanda menggerutu sembari terkekeh pelan.

***

Zeryn melipat dahinya saat dilihatnya Aldana--kakak laki-lakinya--yang tertawa sendirian sambil sesekali tersenyum menatap ponsel canggihnya.

Zeryn mencibir. Pasti dari pacarnya.

Tiba-tiba Zeryn terkesiap. Bukannya ia sedang masak nasi goreng? Zeryn menepuk dahinya. Pasti saat ini nasi yang ada di wajan penggorengan itu sudah menghitam. Kebiasaan buruk Zeryn--lupa.

"Huhh! Gara-gara bang Dana nih," seloroh Zeryn dengan nada kesal. Dana menolehkan kepalanya sekilas, menatap malas pada adiknya itu.

"Apaan sih?"

"Pasti nasi goreng gue udah item," ucap Zeryn sambil berlari terbirit-birit menjauhi kamar kakaknya.

"Dasar aneh tuh bocah," ujar Dana kesal, ia kembali menatap layar ponselnya.

***

Naura ingin sekali sekarang ini memeluk laki-laki paruh baya di hadapannya. Namun kehadiran seorang gadis yang kini ikut berdiri di hadapannya itu membuat Naura mencelos. Wajahnya sudah panas menahan emosi. Diam-diam tangannya mengepal melihat pemandangan di depannya itu.

"Mau apa Ayah ke sini?" Naura menundukkan kepalanya. Ia sudah terlalu muak dengan sandiwara.

"Ayah rindu padamu nak," balas Ayah.

Naura membalas ucapan Ayah barusan dalam hati. "Naura juga Yah?"

Naura diam. Memandangi wajah tegas Ayahnya kemudian beralih menatap tak suka pada gadis yang masih saja terdiam sambil menggenggam tangan Ayahnya.

"Naura, Untuk beberapa hari ini Nadine akan tinggal bersamamu," ujar Ayah dengan nada yang lembut.

"Apa maksud Ayah?"

"Maksud papah, Aku bakal tinggal di sini sama kamu, Nau?" Nadine mengulas senyum sinisnya.

Ayah mengangguk. Naura melotot sebal. Gadis di hadapannya ini benar-benar menyebalkan, apalagi yang akan menjadi masalah selanjutnya.

"Bukannya kalian sudah saling kenal, hmm?"

"Iya, Pah, Naura baik, aku senang bisa mengenalnya," ujar Nadine dengan wajah sok manisnya.

Ingin rasanya saat ini juga Naura pergi dari sana. Ia sungguh kenyang dengan kepura-puraan Nadine.

"Ya sudah, Ayah titip Nadine padamu, Nau."

"Besok pagi Ibu Nadine akan ada urusan dengan Ayah di luar kota, jadi kamu harus menemaninya ya," pinta Ayah halus yang tentu saja semakin membuat Naura nelangsa.

Naura mengembuskan napas tak suka. Mungkin setelah ini ia akan mandi air mata. Naura sudah cukup lelah. Ayah tidak lagi menyayanginya bukan?

***

"Kar, gue kangen nih sama lo?"

"Bodo amat."

"Kok gitu?" Nanda berpura-pura memasang wajah sedih, meskipun wajahnya tetap saja terlihat datar.

"Lo nyebelin?"

"Dasar manja."

"Huh! Dasar si dingin kutub utara lo,"

"Terus mau lo apa?"

"Gue gak mau tahu, besok lo ke sini."

"Kalo gue gak mau," pancing Nanda membuat runyam.

"Gue jamin gue gak mau lagi ketemu sama lo."

"Yakin, gak mau ketemu gue?"

"Tau ah!"

"Udah deh yah! dah malam!"

"Night, pelangiku."

"Udah malam gak ada pelangi!"

Sambungan telepon terputus. Nanda menaruh ponselnya ke atas nakas. Ia merebahkan dirinya di atas kasur empuk miliknya. Menatap langit-langit kamarnya yang bercorak monokrom.

Ia menjumput lembaran kertas yang terlihat seperti foto. Ia menatap lekat-lekat foto itu. Ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman.

Diam-diam rindu merayap di dadanya. Menelusup bagian dalam hatinya. Hingga akhirnya Jatuh pada dasar hati.

***

Update baru, semoga berkenan di hati. Wkwkwk...

Best StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang