UNTUKMU, ANNA

89 19 15
                                    

UNTUKMU, ANNA

Cast: Gabriel, Anna

Theme: New Year

Length: Approximately 700 words story

Genre: Future, Angst

Author: virlyvir98

***

Aku tidak akan pernah bisa mengubah takdir meskipun aku terlahir sebagai pengendali waktu. Hanya Tuhan yang bisa, aku tahu itu – Gabriel Dharma Iswara.

Gabriel menikmati tawa ringan sepanjang malam pergantian tahun di halaman rumah Anna. Bangku panjang di bawah pohon tanjung itu telah berdiri di tempatnya sejak Gabriel dan Anna masih balita. Nyaman dan tak tergantikan; itulah ungkapan dari Anna jika seseorang bertanya mengenai bangkunya.

"El, kamu tau ngga sih apa itu mimpi?" Anna yang sejak tadi menatap ruang tiga dimensi berhiaskan bintang-bintang dan letupan kembang api warna-warni kini memalingkan wajahnya menatap Gabriel.

Gabriel tak repot-repot membalas tatapan Anna. Ia hanya menghela napas kemudian berkata dengan santainya, "Mimpi itu omong kosong."

Tampak guratan kasar di dahi Anna. Gadis itu tak serta-merta setuju dengan jawaban Gabriel, "Lalu, bagaimana dengan harapan?"

Lelaki di sebelah Anna mendesah pelan sambil memutar tubuhnya menghadap Anna, "Itu juga omong kosong."

Anna tampak membuka mulutnya ingin membalas sinisme Gabriel. Namun, di detik berikutnya, gadis itu kembali mengatupkan rahangnya dan menunduk dalam diam.

"Kenapa?" Gabriel merendahkan tubuhnya mencoba menilik wajah mungil Anna yang tersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai menutupi wajahnya.

"Kamu bilang mimpi dan harapan itu omong kosong," Gabriel melihat Anna menyeka matanya dengan punggung tangan. Gabriel tahu betul; Anna sedang menangis.

"Kalau semua omong kosong, berarti harapan aku bisa hidup sampai pengumuman kelulusan nanti juga omong kosong, dong? Impianku jadi pramugari juga omong kosong, El?"

Gabriel mengibaskan sebelah tangannya di depan dada seolah berkata 'bukan itu maksudku', tetapi yang ia katakan justru, "Ngga semua hal yang aku anggap omong kosong itu juga berarti omong kosong buat kamu, An."

Anna dan Gabriel tumbuh bersama di lingkungan yang sama sampai-sampai Gabriel tak ingat sejak kapan ia mengenal Anna. Gabriel, laki-laki itu hanya ingat bahwa Anna divonis menderita penyakit kanker darah sejak keduanya duduk di bangku SMA kelas dua. Sejak insiden vonis itulah Gabriel merasa dirinya jatuh ke dalam labirin kompleks dan masih belum menemukan jalan keluar hingga saat itu.

Sekali lagi Anna menyeka air matanya, "Aku harus jadi pramugari," ia menarik kedua sudut bibirnya, "Kalau kamu?"

Gabriel kehilangan akal. Ia benar-benar hampa jika ditanya soal cita-cita. Orang tuanya juga bingung mengapa anak semata wayangnya itu tak pernah mengungkit soal cita-cita. Padahal, Gabriel termasuk ke dalam jajaran anak cerdas di sekolahnya dengan nilai di setiap mata pelajarannya yang selalu selisih satu poin dari nilai sempurnanya – seratus. Gabriel bilang, ia benci angka satu yang diikuti banyak angka nol. Katanya, kasihan angka satu jika terlalu sering dikejar-kejar oleh angka nol.

Namun, sore itu Anna terkejut mendengar jawaban Gabriel, "Pi- pilot? Kenapa?"

Gabriel terkekeh menatap Anna, "Biar bisa kerja bareng kamu dan bisa nganterin kamu berobat ke luar negeri."

Bukannya tertawa mendengar jawaban Gabriel, Anna justru begitu serius menanggapinya, "Kamu harus jadi pilot. Titik. Aku ngga mau kamu alih cita-cita," Anna memukul lutut Gabriel pelan, "Biarpun nantinya aku ngga bisa kerja bareng kamu, kamu harus tetap jadi pilot."

"Kamu berlebihan, An," Gabriel mendesah pelan, "Aku ngga mau jadi apa-apa. Ngga perlu pekerjaan bergengsi, yang penting kamu tetap ada di sini."

Jantungnya terasa nyeri. Ia pikir dirinya benar-benar akan kehilangan Anna. Dan sejak saat itu, Gabriel mengutuk kanker darah dan bersumpah akan menjaga seluruh orang yang ia sayangi dari penyakit sialan itu.

Sementara bumi terus berotasi, sampailah Gabriel pada semester kedua tahun pertamanya setelah lulus dari sekolah penerbangan. Ya, siapa lagi yang membuatnya benar-benar menjalani kehidupan di sekolah itu kalau bukan Fransianna Garnet, teman masa kecilnya yang menghabiskan seluruh hidup bersama Gabriel.

Hari-hari Gabriel bertajuk pada kesibukan yang tak terhindarkan. Cukup melegakan. Ia tak perlu repot-repot mencari bahan pelampiasan.

Paling tidak, di lapangan terbang ini, di balik kabin kontrol, ia mengenali dirinya. Gabriel Darma Iswara. Pilot Pesawat Boeing 777-300ER. Penerbangan nomor KU 1012. Setiap malam ia menatap pigura di nakas kamarnya sambil tersenyum pahit menatap wajah manis di dalam bingkai.

"Kamu yang ngajarin aku tentang impian dan harapan. Kamu juga yang bersikeras minta aku buat jadi pilot."

Atau mungkin di lain hari, Gabriel akan berkata dengan air mata yang berdesakan di pelupuk matanya, "Aku adalah pilot yang selalu dan akan terus terbang bersama sejuta kenangan bersamamu, Anna."

Fransianna Garnet

1 Januari 1994 – 1 Januari 2017

arkicoK

[Jan] FireworksWhere stories live. Discover now