Wedding

36 6 1
                                    

Malam ini adalah malam terakhir aku di rumah Ibu. Karena besok akad pernikahanku berlangsung sekaligus resepsinya. Dan saat ini aku ditahan oleh Gia di kamarnya karena ia ingin mengatakan sesuatu padaku.

"Apa yang mau kamu omongin?" Tanyaku ketus. Jujur saja, aku masih marah dengannya atas perkataannya waktu itu.

"Eemm.. Sebenarnya Kakak ngelakuin 'itu' gak sih sama Kak Arfa?" Aku menghela nafas. Aku malas menjawab pertanyaannya. Dibilang enggak juga percuma. Karena besok sudah akad pernikahan.

"Kak, jawab dong.." Gia menggoyangkan lenganku. Aku menatapnya dengan intens. Gia yang aku tatap seperti itupun merasa kikuk.

"Kamu senang kan akhirnya Kakak yang nikah sama Arfa. Bukan kamu." ucapku dengan serius.

"Maaf kak.. Sebenarnya... Aku..."

"Udah Kakak maafin, tapi jika dia menyakitimu, kakak gak akan segan - segan menghajarnya." ucapku sambil mengulas senyum kepadanya. Lagian untuk apa disesali lagi? Toh juga jika disesali gak akan ngerubah semuanya. Mungkin ini memang sudah takdirku. Dan aku percaya happy ending akan menghampiriku.

"Kakak tau dari mana jika aku.. Maksudnya.. Ehm.. Itu. Anu..."

"Siapa sih yang gak tau kalau ngeliat adiknya mesra - mesraan kayak gitu, dan asal kamu tau kakak pernah ngeliat kamu sama Andre pelukan mesra gitu di cafe." jelasku. Ku lihat pipi adikku sudah memerah. Sejujurnya, sebenci apapun aku pada adikku, aku tetap menyayanginya. Kebahagiannya adalah kebahagiaanku juga.

"Yang bener kak?" Aku menganggukkan kepalaku.

"Cepat nyusul ya!" Aku mencubit pipinya gemas lalu berlari keluar dari kamarnya.

"Kakak!!!" Aku terkekeh geli sambil melangkah ke kamarku.

*****

Setelah acara ijab qabul yang sangat sangat menengangkan itu selesai, akhirnya kami dipersilahkan untuk duduk di pelaminan untuk mengikuti urutan acara yang telah disusun. Aku dan Arfa hanya mengikuti acara tersebut hingga selesai. Dan disinilah kami berdua berada. Di rumah orang tuanya Arfa. Kamar Arfa di rubah menjadi kamar pengantin. Aku sudah sangat lelah sekali rasanya. Aku mengekori Arfa. Karna aku memang tidak tau dimana kamarnya. Ternyata kamar Arfa berada di lantai dasar dan aku bersyukur tidak harus bersusah payah lagi menaiki tangga dengan kaki yang benar - benar pegal. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang.

"Mandi gih!" Aku menoleh ke arah Arfa yang tengah membuka tuxedo-nya.

"Bentar lagi."

"Yaudah deh, aku dulu yang mandi kalau gitu" Aku hanya mengangguk. Setelah melihat Arfa menghilang, aku memejamkan mataku. Istirahat sebentar tidak masalah bukan?

*******

Aku membuka mataku sambil menguap. Sinar matahari menyelinap dari celah - celah gorden.

"Tunggu..." Ucapku seperti suara bisikan. Sepertinya aku mengingat sesuatu yang mengganjal. Ya! Aku teringat. Aku belum mandi tadi malam! Aku menunduk. Ku lihat bajuku sudah berganti menjadi piyama. Aku menoleh ke samping, dan mendapati Arfa yang masih tertidur pulas. Aku memekik kaget. Namun langsung aku tutup mulutku dengan kedua tanganku. Pikiranku mulai berkelana.

"Kamu kenapa?" Suaraku benar - benar membuatku terusik.

"Eh? Ng.. Nggak. Aku gak kenapa - kenapa kok" Dalam hati aku merutuki kebodohanku. Aku melupakan kenyataan bahwa aku sudah berstatus istri dan wajar bukan kalau suaminya melihat tubuh telanjangnya.

"Udah jam berapa sih?" tanyanya. Kebetulan jam berada di nakas sebelahku.

"Jam tujuh" ucapku. Arfa mengangguk.

"Aku mendi dulu." Aku langsung ngacir ke kamar mandi. Ntah kenapa membayangkan Arfa mengganti bajuku dan melihat tubuhku yang telanjang sangat membuatku malu.

Saat keluar dari kamar mandi, Arfa tidak ada di kamar.

"Mungkin sarapan." Aku bergumam. Setelah mengecek ponselku yang tidak ada notifikasi apapun. Aku keluar dari kamar dan hampir menabrak seseorang yang ternyata adalah Arfa.

"Lama banget sih mandinya. Ayo makan!" Aku mengangguk. Arfa menarik tanganku dan menggenggam tanganku. Ntah mengapa setiap bersentuhan dengan Arfa membuatku deg - degan dan terasa hangat dan nyaman.

"Ini menantu kesayangan Mama udah datang." Ucap Arfa.

"Pagi Ma.. Pagi Pa.." Sapaku.

"Pagi sayang..."

"Pagi nak.."

"Ayo duduk."

"Iya Ma.."

Kami menikmati sarapan dengan khidmat. Hanya suara dentingan sendok yang memecah keheningan.

Setelah makan, Papa dan Mama Arfa pergi. Katanya, ada yang mau mereka urus. Sedangkan aku pergi ke kamar dan tentu saja meninggalkan Arfa. Bukan apa - apa. Katanya dia akan menelpon seseorang. Dan aku menduga bahwa dia akan menelpon kekasihnya. Sedikit menyakitkan, namun apa boleh buat. Aku harus menerima takdir.

Bukannya aku tidak mau berusaha untuk merubah takdirku, namun kejadian saat dia menolongku waktu itu membuatku terpaksa menerima pernikahan ini. Buka apa - apa. Jika waktu itu dia tidak menolongku, sudah ku pastikan masa depanku hancur. Mungkin lebih dari itu, ntah besoknya aku sudah tinggal nama saja.

Lamunanku buyar saat ada yang tiba - tiba menepuk bahuku dan alhasil itu membuatku kaget.

"Pagi - pagi udah ngelamun aja.." Aku mendengus. Ku lihat Arfa berjalan menuju lemari dan mengambil salah satu baju yang bagus, lalu ke kamar mandi. Aku mendengar suara gemericik air.

'Mungkin dia sedang mandi' batinku.

"Sepertinya dia mau pergi. Tapi kemana?" gumamku seperti suara bisikan.

Aku mendengus. Bosan! Itulah yang ku rasakan. Ingin sekali aku pergi dan berjalan - jalan. Namun aku pergi naik apa? Motor juga gak ada. Naik mobil bisa gak bisa. Naik taksi, angkot, ojek, mengerikan jika sendiri.

Tiba - tiba ponselku berdering, sepertinya ada pesan masuk. Aku mencari - cari ponselku yang ternyata terletak di bawah bantal. Mengherankan. Sejak kapan aku meletakkan ponselku disitu? Aishh.. Aku melupakan sikap pelupaku ini. Tentu saja aku yang menaruhnya, tapi aku lupa.

From : Bang Raka

Kakak udah sampai di rumah dek ^^

Aku kegirangan, mengangkat kedua tanganku dari atas ke bawah dan mengatakan 'yes!'

Tiba - tiba saja ide terlintas dari pikiranku. Kenapa tidak ke rumah Bang Raka saja. Meminta oleh - oleh, mengganggunya, dan mengajaknya jalan - jalan. Ya aku tau di pasti sangat lelah, lagipula belum tentu dia mau ku ajak jalan - jalan.

Aku melihat kamar mandi, dan sepertinya Arfa masih mandi. Aku mengirimkan pesan ke ponselnya mengatakan kalau aku pergi, lalu ngacir untuk pergi ke rumah Bang Raka.

Aku memang masih memiliki sifat yang labil, kadang terlalu kekanak - kanakan dan manja, namun kadang bersikap dewasa.

To be continue



NB : vote 5+ aku next!

Park Hyun Raa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MY DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang