Chapter 5

160K 8.4K 325
                                    

"Allah tidak akan menguji hambanya, kecali Dia yakin bahwa hambanya itu mampu melewati ujian tersebut."

____________

AKU langsung memutar buku di tanganku dan menatap cover depannya. Ternyata bukunya benar-benar terbalik. Aihh, disaat seperti ini aku masih saja bertindak ceroboh. Semua yang ada di ruangan itu spontan menertawakanku. Terutama setelah mendengar apa yang dikatakan dosen baru itu.

Sekarang pandanganku tertuju pada pria di depan sana. Pria itu menatapku dengan pupil yang melebar. Dia juga menunjukan tatapan kaget percis seperti apa yang terjadi padaku tadi. Jelas pasti dia akan kaget, kami bertemu di lain tempat dan di lain posisi. Dia dosen dan ternyata aku mahasiswanya. Habislah riwayatku hari ini.

Pria itu mencoba menormalkan mimik wajahnya, sedetik kemudian dia kembali bersikap biasa saja. Dia berdehem, memutus pandangan semua orang padaku.

"Kumpulkan tugas kamu kedepan," katanya sambil menatap layar iPad di tangannya. Inilah yang kutakutkan, aku tidak membawa makalahnya.

"Ma ... maaf, Pak. Makalah saya tertinggal," kataku gugup. Aku bukan anak yang malas. Aku sudah mengerjakan tugas terakhir yang diberikan Pak Kevin tentang susunan tulang kerangka manusia, tapi aku tidak tahu kenapa makalah itu tidak ada di dalam tasku. Aku juga bukan anak yang sering datang terlambat, tapi entah kenapa aku sering datang terlambat meskipun berangkat satu jam sebelumnya.

"Silakan tinggalkan kelas kalau begitu, dan minta detensi pada saya di luar jam kuliah." Aku mendengus lesu.

Sudah kukira dia sama kejamnya dengan Pak Kevin. Tidak ada toleransi jika tidak mengerjakan tugas, tanpa menanyakan alasannya terlebih dahulu. Buku Anfisman dan binder di meja kumasukan kembali kedalam tas. Sejarah detensi Nafisya akan dimulai lagi. Dosen yang sudah tua saja kadang kejam, apalagi dosen yang masih muda.

Apa dosen itu sengaja balas dendam dengan memberiku detensi dihari pertama? Dia tidak tahu jika aku datang kesini penuh perjuangan. Aku berlari untuk bisa sampai tepat waktu. Kalau aku harus pulang untuk mengambil makalah itu, aku tak menjamin kakiku masih berfungsi besok pagi.

Selesai pamit dan meminta maaf. Keluar dari kelas, aku berniat mencari buku yang belum kubaca di perpustakaan atau minimal mencari materi hari ini. Setidaknya kedatanganku ke kampus membuahkan hasil, tapi aku malah berbincang dengan Pak Gilang. Dosen yang pernah kuceritakan. Kalau Abi sudah memiliki anak sebesar aku, maka Pak Gilang sebaliknya. Kabarnya pria yang hampir berkepala empat itu belum dikaruniai anak setelah dua puluh tahun menikah.

Tidak hanya aku dengan Pak Gilang, masih banyak mahasiswa lain ditempat ini dan Ibu penjaga perpustakaan juga ikut terlibat dengan pembicaraan kami.

"Kamu udah ketemu dosen baru itu, Sya? Katanya beliau juga mengajar di fakultas farmasi?" kata Pak Gilang pertama.

"Oh, dosen yang kulitnya sehalus bayi itu bukan, Pak?" Potong Ibu–eum aku tidak tahu namanya. Pokoknya dia yang mengurus masalah perpustakaan. Pak Gilang mengangguk setuju.

"Iya itu, Bu. Dia yang ngebantuin kita waktu itu kan, Sya? Dunia memang sempit banget ya. Dia ternyata dosen yang ngajar di FK dari tahun lalu," kata Pak Gilang. Benar. Subhanallah, dunia ini begitu sempit sampai pria yang minggu lalu kupanggil Mas, sekarang harus kupanggil Pak. Kenapa harus pria itu sih yang jadi dosen penggantinya. Memangnya tidak ada dokter lain yang bisa dijadikan dosen?

Setelah adzan dzuhur berkumandang. Aku tidak kebagian waktu shalat berjama'ah, karena aku berjalan kaki untuk bisa sampai ke masjid di fakultasku. Sekitar satu jam selanjutnya kuhabiskan untuk melanjutkan hafalanku di lantai duanya. Ini juga salah satu metode cara aku melupakan sesuatu. Menghafal, dengan begitu otakku hanya penuh dengan ayat-ayat Allah.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang