Chapter 8

110K 7.3K 146
                                    

"Akan selalu ada orang yang membuat mu bersedih, dan akan selalu ada Allah yang membuat mu tertawa. Lantas apa lagi yang perlu kita khawatirkan?"

____________

SELEPAS isya kami kembali berkumpul di ruang tamu karena para laki-laki baru kembali dari masjid sekitar jam delapan malam. Kini semuanya terlibat, yang laki-laki membicarakankan tanggal pernikahan dan yang perempuan membicarakan resepsi dan konsep pernikahanya. Padahal syarat nikah kan simpel sekali. Mereka saja yang membuatnya terasa rumit. Mungkin ini spesial karena Kak Salsya adalah anak pertama dan Jidan anak satu-satunya. Mereka ingin membuat sesuatu yang berbeda untuk pernikahan ini.

Aku hanya mengikuti alur pembicaraan itu tanpa ikut kedalamnya. Jika mereka tertawa aku ikut tertawa. Jika mereka saling mengajukan pendapat aku mendengarkanya. Aku benar-benar terlihat gila bukan? Ibunya Jidan bertanya tentang warna baju pengantin padaku dan kujawab dengan mengatakan bahwa semua warna cocok karena kulit Kak Salsya yang putih.

Jidan sudah langsung akrab dengan Fadli dan Fadil. Jadi dua anak laki-laki tadi adalah anak kembar yang merupakan anak bungsunya Tante Mia. Aku masih belum ingat dimana aku melihat Fadil dan Fadli itu. Mereka memang benar-benar tidak asing.

Tante Mia membicarakan tentang ketring makanan yang cocok, soalnya akan banyak tamu yang datang. Abi seorang pengusaha alat-alat kesehatan sekarang. Dulunya dia seorang dokter, tapi sudah pensiun. Itulah alasan kenapa Kak Salsya ikut menjadi dokter, dia ingin seperti Abi.

Sementara ayahnya Jidan adalah seorang pengusaha yang bergerak dibidang tour haji umroh dan travel. Belum lagi tamu teman-temannya Kak Salsya di rumah sakit, teman kuliahnya Jidan dan kerabat dari tante Mia. Tamu undangan mungkin akan lebih dari lima ribu orang.

Aku menghela nafas panjang membicarakan topik tentang pernikahan mereka. Akan selalu ada orang yang membuat mu bersedih, dan akan selalu ada Allah yang membuat mu tertawa. Lantas apa lagi yang perlu kita khawatirkan?

Bosan dengan pembicaraan itu, aku mencari Ummi. Dia sedang mengambil makanan cemilan ke dapurm. Tentu aku langsung menyusulnya ke dalam daripada aku duduk disini.

"Kenapa Ummi ngambil cemilan lagi? Di depan kan masih banyak," tanyaku.

"Tadi Bu Mia bilang kalau anak pertamanya sama suaminya bakal kesini juga. Makanan sama minumannya pasti kurang dong. Bawa nih kedepan ..." Ummi menyodorkan nampan berisi beberapa gelas jeruk peras padaku.

"Anterin kedepan, biar nanti Ummi yang bawa kuenya," kata Ummi. Kenapa juga perempuan itu harus merepotkan Ummiku sih?

"Nggak baik mengumpat orang lain. Membenci seseorang bukan berarti membenci orang-orang disekitarnya, kan?" kata Ummi, seolah dia tahu apa yang kugumamkan barusan. Aku tersenyum merasa ketahuan. Ummi seperti baru membaca pikiranku.

Akhirnya aku kembali berjalan menuju ruang depan. Sampai pada belokan perbatasan antara ruang tamu dan ruang tengah. Aku menarik diriku kembali dengan tiba-tiba. Mataku hampir terlepas dari tempatnya.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dosen anfisman itu ada dirumahku? Sekarang!

Beberapa kali aku mengedipkan mata sambil mengucap istigfar. Takutnya ini hanya delusiku yang berlebihan. Mana mungkin Pak Alif ada disini? Bagamana bisa dia ada di rumahku. Aku mengintip lagi. Pak Alif memang tengah duduk didepan Abi, dan aku yakin sosok yang jatuh di retina mataku itu nyata.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang