"Akan selalu ada orang yang membuatmu bersedih, dan akan selalu ada Allah yang membuatmu tertawa. Lantas, apa lagi yang perlu kita khawatirkan?"
────୨ৎ────
SELEPAS isya, kami kembali berkumpul di ruang tamu karena para laki-laki baru kembali dari masjid sekitar pukul delapan malam. Kini semuanya terlibat; yang laki-laki membicarakan tanggal pernikahan, sedangkan yang perempuan membicarakan resepsi dan konsep pernikahannya. Padahal, syarat nikah kan simpel sekali. Mereka saja yang membuatnya terasa rumit. Mungkin ini spesial karena Kak Salsya adalah anak pertama dan Jidan anak satu-satunya. Mereka ingin membuat sesuatu yang berbeda untuk pernikahan ini.
Aku hanya mengikuti alur pembicaraan itu tanpa ikut ke dalamnya. Jika mereka tertawa, aku ikut tertawa. Jika mereka saling mengajukan pendapat, aku mendengarkannya. Aku benar-benar terlihat gila, bukan? Ibunya Jidan bertanya tentang warna baju pengantin padaku, dan kujawab dengan mengatakan bahwa semua warna cocok karena kulit Kak Salsya yang putih.
Jidan sudah langsung akrab dengan Fadli dan Fadil. Jadi, dua anak laki-laki tadi adalah anak kembar yang merupakan anak bungsunya Tante Mia. Aku masih belum ingat di mana aku melihat Fadil dan Fadli itu. Mereka memang benar-benar tidak asing.
Tante Mia membicarakan tentang katering makanan yang cocok, soalnya akan banyak tamu yang datang. Abi seorang pengusaha alat-alat kesehatan sekarang. Dulunya dia seorang dokter, tapi sudah pensiun. Itulah alasan kenapa Kak Salsya ikut menjadi dokter; dia ingin seperti Abi.
Sementara itu, ayahnya Jidan adalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang tur haji, umrah, dan travel. Belum lagi tamu teman-temannya Kak Salsya di rumah sakit, teman kuliahnya Jidan, dan kerabat dari Tante Mia. Tamu undangan mungkin akan lebih dari lima ribu orang.
Aku menghela napas panjang membicarakan topik tentang pernikahan mereka. Akan selalu ada orang yang membuatmu bersedih, dan akan selalu ada Allah yang membuatmu tertawa. Lantas, apa lagi yang perlu kita khawatirkan?
Bosan dengan pembicaraan itu, aku mencari Ummi. Dia sedang mengambil makanan cemilan ke dapur. Tentu aku langsung menyusulnya ke dalam daripada aku duduk di sini.
"Kenapa Ummi ngambil cemilan lagi? Di depan kan masih banyak," tanyaku.
"Tadi Bu Mia bilang kalau anak pertamanya sama suaminya bakal ke sini juga. Makanan sama minumannya pasti kurang dong. Bawa nih ke depan ..." Ummi menyodorkan nampan berisi beberapa gelas jeruk peras padaku.
"Antarin ke depan, biar nanti Ummi yang bawa kuenya," kata Ummi. Kenapa juga perempuan itu harus merepotkan Ummiku, sih?
"Nggak baik mengumpat orang lain. Membenci seseorang bukan berarti membenci orang-orang di sekitarnya, kan?" kata Ummi, seolah dia tahu apa yang kugumamkan barusan. Aku tersenyum merasa ketahuan. Ummi seperti baru membaca pikiranku.
Akhirnya aku kembali berjalan menuju ruang depan. Sampai pada belokan perbatasan antara ruang tamu dan ruang tengah, aku menarik diriku kembali dengan tiba-tiba. Mataku hampir terlepas dari tempatnya.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dosen anfisman itu ada di rumahku sekarang?
Beberapa kali aku mengedipkan mata sambil mengucap istigfar. Takutnya ini hanya delusiku yang berlebihan. Mana mungkin Pak Alif ada di sini? Bagaimana bisa dia ada di rumahku? Aku mengintip lagi. Pak Alif memang tengah duduk di depan Abi, dan aku yakin sosok yang jatuh di retina mataku itu nyata.
Seorang perempuan masuk ke ruang tengah, mendapatiku yang berdiri kaku memegang nampan. Mungkin itu perempuan yang dimaksud Ummi yang merupakan anak sulungnya Tante Mia. Dia sempat ingin menyapaku, tapi dia terburu-buru menuju wastafel. Lalu beberapa saat kemudian disusul dengan pria yang kukira suaminya yang awalnya menatapku dengan tatapan tak kenal, tapi kemudian bertanya sesuatu.
![](https://img.wattpad.com/cover/95069710-288-k4381.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
RomansaNafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Nafisya tahu. Jidan menyukai kakaknya sen...