2 - Mungkinkah?

171 6 0
                                    

"Aku benar-benar bingung harus mengagumi atau tak mempercayai ibuku. Dia memang seorang cenayang yang hebat. Aku masih ingat perkataannya beberapa bulan yang lalu tentang Dhimas. Dan kini, itu semua benar-benar terjadi? Hah... Ya Tuhan, hal macam apa ini." Rea merutuki dirinya sendiri hari itu.

Masih terbayang oleh Rea kejadian hari itu. Suatu kejelasan yang menyesakkan baginya.

*flashback*

1 Pesan Baru

Dari : Dhimas Satria

Gue akan jelasin semuanya ke lo. Nanti gue dateng agenda kok.

Untuk : Dhimas Satria

Oke. Gue tunggu penjelasannya.

Setelah Rea mengirim pesan itu, ia langsung melesat menuju sekolah untuk melakukan kegiatan ekskul. Namun, bukan itu tujuannya yang sebenarnya. Ia, ingin mendengarkan semuanya. Kejelasan cerita mereka selama 3 tahun ini.

Malam itu, Dhimas menjelaskan segalanya. Bagaikan ditelan ombak, hatinya hancur berkeping-keping. Rea berusaha untuk menguatkan dirinya. Tanpa ada satu bulir air mata yang keluar dari matanya, Rea mencoba untuk melupakan Dhimas mulai dari malam itu.

*flashback end*

Rasa sesak memenuhi dadanya. Kenangan yang menyakitkan itu datang lagi padanya. Namun, Rea tetap terus menguatkan dirinya selama ini. Juga mungkin, menutup hatinya?

***

Rea berjalan keluar ruangan untuk menyusul teman-temannya. Mereka telah bersiap untuk latihan.

"Oke, sekarang kita harus latihan yang serius. Udah H - berapa menuju lomba? Ga ada yang ga serius." Ujar Arya. Dia memang tegas, pantas saja dia selalu terpilih menjadi komandan.

Walaupun sudah diperingati tetap saja canda dan tawa menghiasi latihan mereka. Mulai dari salah langkah, sengaja menabrak, hingga main sikut-sikutan menghiasi latihan hari itu. 1 jam mereka lewati tanpa terasa.

Kriiingggggg...... Bel terakhir telah berbunyi.

"Wah udah bel kematian woy. udeh udeh kelar." Ujar Dhika

"Yaudah. berdoa dulu sebelum bubar. Jangan lupa turunin bendera dulu." Ujar Arya mengingatkan.

Setelah selesai berdoa mereka tetap membentuk barisan menghadap ke bendera, bersiap untuk penurunan bendera.

"Riza, Rea! Turunin bendera" ajak Arya dengan nada penuh perintah.

"Siap komandan!" ujar Rea dan Riza bersama-sama lalu mengikuti langkah Arya.

Mereka berdiri di depan tiang bendera dengan formasi seperti biasanya. Riza di kiri, Rea di tengah dan Arya di kanan.

"Bendera siap." ujar Arya kepada Dhika yang menjadi komandan saat itu.

"Kepada Sang Merah Putih, hormaaaat gerak!" Dhika memberikan perintahnya.

Semua orang yang berada disana melaksanakan perintah itu. Bukan hanya Rea dan teman-temannya, namun juga warga sekolah yang masih ada di lingkungan tersebut. Rea melihat pemandangan yang menurutnya hebat itu. Ia senang jika melihat orang lain punya rasa hormat yang sama dengannya. Rea bangga akan dirinya, keluarganya, bahkan teman-temannya. Menurut Rea, tidak ada yang boleh mencela atau menghina tugas terhormat ini. Karena baginya, orang yang mencela atau menghina maka dia adalah pengkhianat bangsa jika mereka memang mengakui masih satu kebangsaan dengannya. Tapi jika tidak, maka Rea tidak akan segan-segan untuk melaporkannya. Rea akan memuji balik orang yang juga membanggakan tugasnya itu. Negaranya bagaikan segalanya bagi Rea.

"Tegaaaak gerak!"

Simbol kebanggaannya itu sudah berada dalam genggamannya dan juga genggaman Arya. Rea mulai melepaskan kailnya dan menyerahkannya kepada Riza untuk membereskan talinya, lalu, Rea dan Arya beraksi untuk melipat simbol kebanggaan mereka itu. Setelah selesai semuanya, mereka kembali ke ruangan untuk membereskan barang-barang mereka lalu pulang.

Seperti biasa, sebelum pulang, mereka bercengkrama sebentar di depan gerbang. teman-temannya memintanya untuk melakukan sesuatu.

"Rea, Rea! Tengok belakang!" ujar Dhika salah seorang teman ekskulnya yang menyebalkan.

Rea dengan polosnya membalikkan badannya dan melihat hal itu.

Dhimas bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang Rea ketahui dia adalah teman sekelas Dhimas, Hilza.

"Benarkah yang ibu katakan?" ujar Rea dalam hatinya. Ia menengok kearah lain, terdapat Arya di pandangannya.

"Ataukah aku memang harus percaya kalau memang Arya? Mungkinkah?" Rea mempertanyakan itu dalam hatinya.

***

Author's note:

Maafkan daku jika tulisan ini kaku dan membosankan. Apa daya author cuma manusia biasa. Tapi kebiasaan mereka itu adalah kebiasaan Author loh wkwk. Mimpi seorang Rea banyak sih sebenernya tapi ya harus fokus ke salah satu jadinya yang satu ini cuma angan-angan aja terus dibikin cerita deh.

See ya in the next part! 안녕!

ChoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang