"Kalian tahu? Semalam aku kedatangan seseorang perempuan yang bisa terbang!" pekik salah satu siswi yang mengganggu pendengaranku.
Teman-temannya mengerutkan kening. "Kamu habis nonton Peterpan ya?" tanya sahabatnya yang bernama Rasa.
"Hah? Apa itu?" tanya Nana yang tadi memekik.
Manusia aneh. Peterpan saja tidak tahu. Padahal angkatan ini terkenal bahagia dengan kartun dimana-mana.
"Itu serial kartun anak kecil. Tokoh laki-lakinya bisa terbang," jelas siswi yang bernama Ririn.
"Oh ya? Tokohnya baik?" tanya Nana penasaran.
Ririn dan Rasa mengangguk
Nana tampak berbinar-binar. "Apa dia akan jadi teman baik dan membawaku terbang?"
Tidak.
"Tentu!" jawab Rasa yakin.
"Jika imajinasimu benar ada," jawab Ririn, setelahnya ia terkekeh bersama Rasa.
Tidak itu keliru. Sangat keliru.
"Apa dia akan mengabulkan permintaanku?" tanya Nana sambil tersenyum lebar. Sepertinya dia tenggelam dalam imajinasinya sendiri.
"Mungkin," jawab Ririn yang mulai malas menanggapi sahabatnya yang terlalu imajinatif.
"Aku tidak sabar bertemu dengannya nanti malam." Nana terkekeh senang.
Apa senangnya sih? Kenapa dia memikirkan hal baik tanpa peduli hal buruk?
"Itu hanya imajinasimu, Na. Jangan sampai kamu begadang hanya gara-gara itu." Nasihat Rasa.
Nana menekuk bibirnya kesal. Senyumannya pudar berganti wajah kusut, tak ingin mendengarkan Rasa.
Nana membuang pandangannya. Matanya tepat tertuju padaku. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. "Aku boleh begadang 'kan? Dia teman yang nyata 'kan?" Kedua matanya menatapku.
Aku tersentak kaget. Dia tahu aku mendengarkan pembicaraannya sejak tadi? Bagaimana bisa? Aku membuka mulutku hendak menjawab. Namun, suara lain menyadarkanku.
"Ha? Apa? Eh, iya dia nyata kok," sahut suara perempuan yang sedang duduk tepat dibelakangku.
Ririn dan Rasa segera menatap gadis yang bernama Dara.
"Menguping ya, Ra?" Rasa menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
Dara menunduk dan terkekeh kecil. "Maaf. Habisnya pembicaraan kalian terdengar menarik."
Benar juga. Ruang kelas ini kosong hanya terdapat empat orang siswi yang duduk berdekatan. Nana. Ririn. Rasa. Dara.
Aku bukan bagian dari mereka.
"Ya udah sini ikutaann!! Sekalian bantu jelasin pr mat yang tadi dikasih doong!" rengek Ririn.
Kemudian Dara bangkit dan segera menuju meja mereka. Berlari menembusku yang membuatku tersadar.
Aku tidak ada di sini. Aku hanya melaksanakan tugas yang menjerat.
"Maaf, Nana." Aku mengucapkan itu, meski tidak ada yang bisa mendengarku saat ini bahkan Nana yang ketemui tadi dan nanti malam.
Aku melangkah ringan mendekati jendela, melompat dan mendarat tepat di tepi luar jendela. Aku mulai melangkah, menikmati semilir angin menyapa tubuh dinginku.
Aku merentangkan kedua tangan, berusaha menjadi satu dengan angin yang berhembus dan melompat ringan tanpa terjatuh ditopang udara bebas.
Kutatap mentari yang perlahan surut. Menyisakan semburat warna orange pada langit. Mentari tidak bicara, tidak bernyawa tapi berguna.Aku bicara--meski tidak terdengar oleh manusia, mungkin bernyawa tapi malah membawa petaka.
Mereka berempat perlahan bubar. Aku melesat terbang di atas langit. Menatap mentari yang tertidur lebih cepat kemudian mempersilakan malam hadir.
Nana pun tiba dirumahnya. Ia menyalakan lampu dan rumah sepi menyapa. Ia berlari ke kamar, menaiki tangga terburu-buru dan membuka pintu kasar.
"Fafa!" pekiknya lagi saat melihatku bertengger di tepi pagar balkonnya. Aku tersenyum memasang topeng manis yang menjijikan.
"Hallo Nana kita bertemu lagi. Sudah siap terbang hari ini? Aku tahu kamu ingin." Aku terkekeh.
Mata Nana berbinar. Dia mengangguk. Aku mengulurkan tanganku dan dia segera menyambutnya kurang dari dua detik.
"Maaf, Nana. Malam ini kamu berakhir," ujarku.
Kalimat itu membuat Nana berpikir, mulai mengembalikan akal sehatnya, namun terlambat. Aku lebih dulu melompat terbang hingga tiba diketinggian gedung lantai lima.
Nana masih mengembalikan akal sehatnya. Kejadian ini cepat sekali, bahkan terjadi kurang dari lima detik. Aku melepas tangannya, membiarkan dia jatuh keatas aspal dingin bertemu Kematian.
"Terima kasih, Fafa. Kau malaikat terbaiku," ujar Kematian di kepalaku lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Waktu Cipta Cerita
Short StoryCerita yang dibuat untuk menepis Sang Waktu . . P.s: Ini kumpulan cerpen dengan genre yang sangat random.