Melihat Kematian #Gore

49 4 0
                                    

WARNING! GORE!
MATURE CONTENT.

***

Helena Droits. Itu namaku, yah aku lahir dari keluarga Droits yang terkenal dengan rambut serta iris cokelat yang memiliki kharisma luar biasa.

Kau tahu? Aku memiliki banyak teman dan juga pacar bahkan mantan. Ups. Ya pokoknya karena terlahir keluarga spesial, aku pun spesial di masyarakat. Namun, tahu tidak? Keluarga kami, Droits memiliki kemampuan spesial lain yang kelam.

Sebut saja, melihat kematian orang lain. Kemampuan ini secara turun-temurun terus ada saat penerus kami berusia 17 tahun. Ah, sayangnya aku sial. Kenapa? Ya sial. Usiaku 19 tahun saat ini.

"Helena, bagaimana? Apa bakatmu sudah muncul? Kau tahu kami sangat khawatir denganmu. Aku curiga kau tertukar di rumah sakit, Helen," ujar wanita keibuan yang lembut. Yah lembut, kau tahulah.

Aku menggeleng. "Belum."

Ibuku cemberut. Ia membuang wajahnya kasar. Aku menunduk.

"Tapi aku merasakan firasat aneh belakangan ini, mungkin nanti malam aku akan bermimpi kematian itu, Ma," kataku.

"Oh," ujarnya dingin.

Aku berbalik. Berjalan tenang masuk ke kamar sebelum akhirnya pintu kamar kututup rapat dan aku jatuh lemas ke lantai.

"Hiks ..."

Percakapan ini bukan pertama kali, bahkan berkali-kali. Apalagi semua sepupuku yang lebih kecil dariku mulai menunjukan kemampuan rahasia mereka saat kami berkumpul. Keluargaku aneh 'kan? Iya aku mengakuinya.

Aku tersenyum. Menghapus air yang mengalir melintasi pipiku yang semakin tirus karena makian yang terus mereka lontarkan padaku. Aku bangkit, merebahkan diri ke kasur dan berharap bahwa aku akan bermimpi sesuatu malam ini.

***

Krieeetttt.

Suara pintu berderit pelan. Bayangan hitam masuk ke dalam kamar tanpa diketahui sosok yang tidur diatas ranjang.

Srek. Srek.

Suara pisau  bergesekan dengan dinding membuat bulu kuduk merinding seram. Namun, sosok tidur tak juga sadar.

Bayangan hitam itu melompat ke atas kasur. Membuat sosok tidur itu kaget dan hendak berteriak. Namun, teriakannya lenyap saat bayangan dengan cepat menodongkan pisau kearahnya.

Bayangan itu tertawa pelan. Ia menatap sosok yang menatapnya dengan mata iba. Bayangan itu memainkan pisaunya dan mulai menghujam-hujamkan bilah tajamnya ke atas dada. Teriakan sosok itu mulai menggema.

"Tak masalah, kau sendirian di rumah 'kan?" ujar bayangan itu, suaranya terdengar seperti seorang perempuan muda.

Percikan darah memuncrat kemana-mana. Bayangan itu tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi yang putih. Ia menusuk bilah tajamnya sekali lagi. Kali ini lebih dalam. Kemudian ia menariknya cepat ke batas perut.

Usus, hati, lambung tampak berebut keluar dari perut sosok tersebut yang telah menjadi korban. Bayangan itu tertawa, kali ini lebih keras. Terdengar nada kepuasan di sana.

Bayangan itu mengangkat bilah tajamnya. Ia mengarahkannya ke arah wajah korban yang cantik, mirip dengannnya. Bayangan itu tersenyum. Ia mengecup pelan bibir korbannya kemudian menusuknya tepat ditempat ia menciumnya.

Ia menusuknya, semakin dalam dan semakin dalam. Kemudian mengesernya lima senti ke kanan, membuat mulut korban robek.

"Aku mencintaimu."

Bayangan itu menarik sekali lagi bilahnya. Ia beralih pada mata hitam yang melotot ke arahnya tak bernyawa. Ia menusuk daerah sekitar mata. Ia mencungkil mata indah itu keluar. Kemudian melemparnya kebawah dan menghancurkannya dengan satu hentakan keras.

Bayangan itu kini mulai mengiris pipi korbannnya, satu demi satu dengan perlahan lapisan yang ada ia bongkar dengan bilahnya.

ia tertawa lepas. "Aku sangat mencintaimu," ujarnya sekali lagi.

Tangan bayangan itu tampak dan langsung meraih tangan korbannya dengan lembut. Sebelum ia kembali menusuk bilah tajamnya menyayat nadi yang tidak lagi berguna bak mengiris bawang yang biasa dilakukan.

Bayangan itu kembali tertawa. Kali ini lebih lepas, lebih puas.

"Sekali tepuk, dapat dua." Bayangan itu mengecup bilah tajamnya yang berlumuran darah. "Ya 'kan? Ma?"

***

Aku bangun dari mimpi itu dengan napas terengah-engah. Akhirnya aku bermimpi kematian tapi aku takut setengah mati. Aku segera berlari keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Ibu.

"Ma! Mama! Aku bermimpi! Ma! Mama mati dimimpiku! Ma! Mama!" Aku berseru seraya terisak. Takut.

"Ma!"

Tidak ada jawaban.

Aku mundur, mengambil ancang-ancang beberapa langkah dan kemudian mendobrak pintu kamar ibu. Aku jatuh lemas saat melihat darah di mana-mana. Apalagi  saat mataku menatap tubuh ibu tergeletak hancur berantakan tak bernyawa.

"Ma!!!!" Aku menjerit pilu. Namun, tak lama senyumanku mengembang dengan sendirinya.

-End-

Kata Waktu Cipta CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang