Sosok Hitam dan Biru

33 4 0
                                    

Aku terbangun di suatu tempat yang gelap. Aku yakin bahwa tidak ada yang dapat terlihat. Namun, pemikiranku patah saat suara berdentum terdengar. Segera kutolehkan kepala, aku melihat dua orang sedang bertarung. Satunya mengenakan pakaian serba hitam. Satunya pakaian serba biru laut.

Aku menelan ludah saat sebuah pedang biru menggores wajah sosok hitam. Tunggu, itu bukan wajah. Itu lebih dingin. Itu sebuah topeng putih. Sosok bertopeng itu tak gentar. Ia malah bergerak melesat cepat dan mengelak serangan. Lawannya, Sosok biru bersama sebuah pedang berwarna senada terus menebas seraya berusaha menyaingi kecepatan.

Sosok bertopeng terus menambah kecepatan. Ia menggerakan tangannya sehingga muncul topeng-topeng kecil dan menghantam lawan. Sosok biru menebaskan pedangnya dan  aliran air keluar menghantam benda keras itu, membuatnya hancur berantakan.

"Untuk kejujuran," ujar sosok biru. Aneh. Aku tidak mengerti.

Sosok bertopeng itu menggeram. Tangannya berayun melepas pukulan. Suara berdentum disertai puluhan topeng-topeng kecil terlepas.

Sosok biru dengan sigap menghalau serangan. Ia mengangkat tangan kirinya, sebuah tameng air tercipta. Kemudian ia mengangkat pedang ditangan kanannya, melepaskan gelembung-gelembung air yang melesat cepat menuju lawan.

"Untuk segala kepalsuan," ujar sosok bertopeng yang sama anehnya. Ada apa ini?

Sosok bertopeng kembali mengayunkan tangannya. Aku merasa sesak.

Dar!

Semua gelembung pecah dan sosok biru terlempar menghantam dinding. Ia meringis kesakitan.

"Untuk semua hati yang baik," gumamnya.

Sosok bertopeng tertawa, membuatku merinding.

"Hati yang baik? Omong kosong," ujar sosok bertopeng. Jahat sekali. "Mungkin adanya hati penuh dusta. Munafik!" serunya lagi.

Ia mengibaskan tangannya. Topeng-topeng kecil yang lebih banyak segera menghujam tubuh sosok biru. Sosok biru segera kembali terhempas menghantam dinding. Aku meringis, pasti sakit sekali.

Sosok biru itu bangkit. Dia merentangkan tangannya, menciptakan aliran air yang mengelilingi tubuhnya dari atas ke bawah. Sosok bertopeng segera mengayunkan tangannya. Ia melepaskan serangan, namun tak mampu menghempaskan lawan. Bahkan aliran air itu semakin berwarna biru jernih--seolah makin kuat.

Plop!

Aliran air itu hilang. Kini, sosok biru berdiri mantap. Ia tersenyum. "Kamu yang munafik. Bukan aku," ujarnya.

Sosok biru mengangkat pedangnya kemudian mengayunkannya. Aliran air yang deras muncul menerjang sosok bertopeng. Membuatnya menghantam dinding. Senyumanku mengembang.

"Hati nurani bodoh!" jeritnya. Ia mengangkat tangannya. Menciptakan ratusan topeng kecil yang melesat cepat. Sosok biru juga sama. Ia mengangkat pedangnya. Menciptakan aliran air deras bersama dengan gelembung yang melesat cepat.

Dar!

Serangan mereka beradu. Menimbulkan sebuah angin kencang. Anehnya, aku tidak terhempas.

"Kamu terlalu dingin, Logika," balas sosok biru. Ia segera melompat dan melepas serangan, tapi berhasil ditahan oleh sebuah topeng besar yang menjadi tameng lawannya.

Aku memusatkan perhatian pada kalimat yang diucapkannya. Logika? Hati nurani?

Dar!

Serangan mereka kembali beradu.

"Aku mengalir kemana pun jalurnya, aku mengalir kemana pun takdir menginginkannya. Bukan berontak dengan akal sepertimu," ujar sosok biru.

"Aku tidak suka menggunakan emosi untuk berpikir. Tidak logis," ujar sosok bertopeng.

Sosok biru mengangkat pedangnya. Kemudian melompat tinggi, baru menebasnya. Menghasilkan aliran air berkecepatan tinggi yang menghantam sosok bertopeng. Tamengnya hancur. Sosok bertopeng tidak kembali bergerak, tidak lagi bangkit melepaskan topeng-topeng kecil.

"Pada akhirnya, logika kalah," ujar sosok biru.

Ia menolehkan kepala, menatapku dan tersenyum. "Bukan begitu?"

Aku kaget, lalu mengangguk.

"Bagus! Kejar dia! Kejar cintamu! Jangan dengarkan logika yang membawa topeng dingin! Biarkan dirimu mengalir pada perasaanmu seperti air mengalir kemana pun jalurnya!"

Aku perlahan melihat cahaya. Aku mengerjap beberapa kali dan tersadar bahwa aku terbungkus selimut diatas kasur kesayanganku. Aku menyisir sekitar. Senyumku mengembang saat melihatnya ada di tepi ranjangku.

“Dana …,” panggilku.

Kepalanya terangkat. Dia menatapku lembut. “Riani!” Dia melompat meraih tubuhku kepelukannya. “Kamu tidur lama sekali. Apa kamu masih marah padaku?”

Tidak. Aku hanya tidak mau mengaku bahwa aku terlanjur seperti ini, jadi aku menutupinya dengan sikap dinginku.

“Dana …, aku mau jujur,” aku berbisik.

Dia melepaskan pelukan. Menungguku mengatakan kalimat berikutnya.

Aku menarik napas panjang. Aku harus membiarkan perasaanku mengalir seperti air mengalir kemana pun jalurnya. “Aku mencintaimu dan aku tidak bisa menerimanya. Bagaimana bisa aku mencintai sahabat kecilku? “

Dia terdiam. Kemudian tawanya terlepas ke udara. Dia meraihku kepelukannya. “Hahaha …, aku juga mencintaimu.”

Kata Waktu Cipta CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang