Aku menatap pantulan diriku di cermin. Penampilanku aneh sekali. Bukan tidak normal, ini aneh karena terasa tidak nyaman.
Aku menghela napas. Aku berdosa. Pada dia dan pada meja bundar putih di teras. Aku melajukan mobilku menerobos kepadatan ibu kota. Waktu empat puluh lima menit cukup untuk tiba di tempat itu.
Aku berhenti. Dihadapanku berdiri sebuah rumah berwarna putih yang tidak usang meski termakan usia.
Kling!
Aku mengeluarkan ponselku. Di sana seseorang yang berarti bagiku mengirim pesan.
Carla: Kamu di mana?
Aku tersenyum kecil. Membalas pesannya.
Romi: Aku ada urusan, akan segera kembali kok.
Dia membaca pesanku, tanpa membalasnya beberapa menit. Aku kembali menuliskan pesan.
Romi: Baik-baik ya, Sayang *hug*
Carla: Makasih sayaang! *kiss*
Kumatikan layar ponselku. Menghela napas sekali lagi. Kutatap diriku di dalam layar ponsel. Hari ini aku mengenakan kemeja biru, berbalut dasi senada dengan tas kantor yang akan kubawa ke sana.
Tuhan maaf, aku berdosa.
Setelah aku kembali memantapkan hatiku, aku segera meninggalkan mobil dan menatap dia di sana. Seperti biasa dia mengetuk-ngetuk meja putih bundar di teras. Dia berbicara sendiri beberapa kali, menggumamkan banyak hal.
Aku tersenyum kecil. "Sayang."
Dia segera mengangkat kepala. Kedua iris cokelatnya menatapku, setelahnya senyumannya mengembang.
"Sayang! Kau sudah pulang?" Dia berhenti mengetuk-ngetuk meja. Bangkit dan tersenyum padaku lebar sekali.
Aku mengangguk, berjalan mendekat padanya. Dia segera berlari kecil, menarik tanganku lembut. Membuatku duduk di kursi meja bundar putih.
"Bagaimana perkejaanmu, Sayang? Ada masalah?" Dia bertanya.
Aku menggeleng. "Kamu apa kabar? Baik-baik saja 'kan?"
"Tidak." Aku melotot khawatir menatap dia, tapi dia malah tertawa. "Hahaha ..., tidak, karena aku sangat merindukanmu, Sayang!"
Aku tersenyum lega. Setidaknya dia bahagia, mungkin dosaku berkurang. Jemarinya kembali mengetuk-ngetuk meja, menghasilkan nada teratur yang monoton.
Aku mengusap lembut meja putih yang menjadi saksi bisu atas segalanya. "Kau sudah makan?"
Dia mengangguk. Kemudian meminum teh hangat miliknya lagi. Aku pun mulai meminum teh yang telah dia siapkan.
Aku tidak suka teh manis, aku lebih suka teh yang ia minum, tawar. Namun, dia selalu membuatkan ini untuku.
"Bagaimana, Sayang? Manisnya pas 'kan?" Dia meletakan tehnya diatas meja.
Aku tersenyum. "Manis. Sama seperti wajahmu, Sayang."
Dia bersemu merah. Bahagia. Aku tersenyum. Tanganku mengusap kepalanya lembut. Aku sayang Dia.
Dia yang memiliki rambut kecokelatan dengan iris senada, memiliki senyum lebar yang begitu menawan, dan sifat yang membuatku tahu apa itu cinta pertama dalam hidup. Dia.
Dahulu dia lebih bahagia, dahulu dia sempurna. Para tetangga berkata iri tiap kali melihatnya.
"Kamu cantik sekali, suamimu tampan ditambah kalian mesra sekali. Uh bikin iri deh kalian."
Dia tersenyum, "Terima kasih. Kalian baik sekali." Dia bahagia. Benar-benar bahagia seraya mengetuk meja bundar putih yang jadi tempat semua memori indah terkenang.
Namun, kini tidak lagi.
"Sayang, ada apa?" Dia khawatir.
Aku menggeleng, memaksakan senyum. Dia segera bangkit dan memeluku erat. "Kalau ada masalah ceritalah Sayang."
"Nggak ada masalah kok," dustaku. Aduh aku semakin berdosa.
Dia melepas pelukan. Kemudian kembali mengetuk meja. "Kau tahu? Semakin hari, hubungan kita semakin aneh. Aku merasa janggal. Merasa begitu rindu bahkan menangis."
Aku diam. Mendengarkan langkah kaki tetangga yang melintasi rumah ini.
"Untungnya, meja bundar putih ini menemaniku! Dia menjadi teman ceritaku setiap hari ...."
Aku tidak mendengarkannya lagi. Malah memusatkan perhatianku pada pembicaraan tetangga.
"Empat tahun berlalu ya? Dia jadi semakin sering berbicara dengan meja itu?"
"Iya. Meja itu 'kan tempat dia selalu berbincang dengannya. Kau tahu? Kehilangan itu sangat menyakitkan."
"Aku kasihan padanya."
"Aku juga."
Kemudian mereka pergi menjauhi rumah ini.
"Kau sangat rindu padaku ya, Sayang?"
Dia mengangguk. "Aku sangat rindu, bahkan gila rasanya, seperti aku tetap rindu meski kau ada dihadapanku sekarang."
Aku tersenyum miris. Aku berdosa, sungguh, ditambah ternyata aku tidak membuatnya bahagia sejak ingatan hari itu hilang.
Mataku panas rasanya. Aku berdosa sungguh. Pada dia dan pada meja bundar putih.
"Ah, ngomong-ngomong aku kemarin dapat kabar dari anak kita. Romi! Dia sudah bekerja! Pasti dia sangat mirip denganmu saat mengenakan kemeja dan dasi biru." Dia tertawa kecil.
Aku berdosa sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Waktu Cipta Cerita
Historia CortaCerita yang dibuat untuk menepis Sang Waktu . . P.s: Ini kumpulan cerpen dengan genre yang sangat random.