BAB 6

111 9 2
                                    

    Jam-jam sesudah itu diikuti serangkaian mimpi buruk berisi tuduhan dan rekriminasi, bukan saja dari ayah tirinya tapi juga dari ibu. Tapi Gabriel menerima semuanya tanpa menghianati saudara tirinya. Lagi pula apa gunanya? Siapa yang akan mempercayainya? Dan bukankah ia memang bersalah?
   Gabriel telah membiarkannya, siapapun pemuda itu, menciumnya, memeluknya, memegangnya... dan baginya, meski tidak bagi ibu maupun ayah tirinya, ia telah membiarkan pemuda itu membuatnya merasakan hal-hal yang berharga dan suci. Dulu ia telah berjanji pada diri sendiri hanya orang yang ia cintai yang bisa membuatnya begitu, hanya seorang yang ia cintai boleh menimbulkan reaksi fisik dan emosi semacam itu dalam dirinya.
    Ia digerogoti rasa malu atas apa yang terjadi padanya, membuatnya mengurung diri dikamar tak bisa makan atau tidur dengan normal. Dan dengan wajah pucat terguncang Gabriel memperlihatkan perasaannya saat ayah tirinya mengumumkan, dengan puas bahwa ia telah mengatur supaya 'rekan kriminal' Gabriel dipecat dari pekerjaanya.
    "Tidak, jangan anda lakukan itu," protes Gabriel.  "Itu bukan kesalahannya."
   "Lihat Ayah,  sudah kubilang,"  Laney langsung menerkam kesempatan itu.  "Dia mengakuinya. Dia tak lebih baik daripada seharusnya... sudah kukatakan dia seperti apa..."

   "Mengapa... mengapa kau melakukannya? Mengapa kau bawa ayahmu ke summer house ?" Tanya Gabriel pada saudara tirinya, ketika akhirnya dapat kesempatan berbicara dengan gadis itu.
   "Hanya untuk berjaga-jaga," jawab Laney malas, menyeringai penuh kemenangan.  "Dia buka tipe yang mudah menyerah. Dia menanggapi lebih serius daripada maksudku. Aku sadar dia mungkin akan terus mencoba menggangguku... mulai mengira aku ada hati padanya hanya karena aku bersikap ramah. Untung Ayah memecatnya."
   "Oh, ya omong-omong sebenarnya seberapa jauh tindakannya sebelum dia sadar kau bukan aku? Berani taruhan tak terlalu jauh. Dia pasti merasa memegang tubuh frigidmu yang dingin sangat mematikan nafsunya. Ya Tuhan, aku bahkan berharap kau membiarkannya  melakukan semuanya. Bayangkan si tuan muda alim, jadi Gay karena pembantu tukang kebun..."
   Ia mulai tertawa, sementara Gabriel menahan air mata pahit dan panas yang membakar matanya.

Dua hari kemudian, nenek datang dan minggu itu juga melihat betapa tertekan dan tidak bahagiannya Gabriel, ia membujuk ibu Gabriel untuk mengizinkannya menjadi wali cucunya.
   Jika saat itu ayah tirinya tak sedang melakukan perjalanan bisnis, Gabriel menduga ia takkan dilepaskan semudah itu, tapi sekali itu nasib baik berpihak kepadanya.
   "Sayang aku mengerti bagaimana perasaanmu tentang pemuda yang kehilangan pekerjaan itu," kata nenek lembut ketika ia menjelaskan situasinya,  "tapi kita bahkan tak tahu namanya, atau  nama perusahaan yang memperkerjakannya, dan kau bilang Laney tak mau mengatakannya padamu, jadi aku tak tahu apa yang harus kita lakukan."
    Gabriel terpaksa mengakui pendapat nenek memang benar, meskipun ia tak benar-benar mengerti mengapa harus mengakhawatirkan masa depan seseorang yang telah dengan jelas menganggap ia tak sebanding sebagai penganti saudara tirinya.

    Telepon berdering, menghempaskan Gabriel kembali ke masa kini. Sesaat tubuhnya tegang ketika dengan enggan tangannya menjulur untuk mengangkat gagang telepon. Jemarinya agak gemetar, tapi suara diujung sana bukan yang ia takuti , itu suara nenek.
    "Gabriel kau tak apa-apa?" tanya nenek "kalau kau tak sempat mengantarku ke ahli jantung, aku bisa naik taksi."
    Gabriel terguncang mendengar nada tak yakin dan rapuh dalam suara nenek. Dengan perasaan bersalah ia menyakinkannya.
   "Tidak nek, aku baru mau berangkat. Jangan khawatir kita takkan terlambat. Aku hanya sedikit tertunda."

Setelah pulang dan menjemput nenek, Gabriel sudah berhasil melupakan reaksinya terhadap suara Gideon ditelepon. Jelas tak mungkin pria itu dan pemuda dari masa lalu Gabriel merupakan orang yang sama dan hanya Tuhan yang tahu mengapa ia sampai sempat berpikiran aneh menganggap keduanya sama.
    Dengan cepat Gabriel melirik kesamping untuk memeriksa nenek. Apa ia hanya berkhayal atau memang wanita itu kelihatan agak lebih rapuh, agak lebih tua?
    Keadaannya belum kritis__demikian kata Dr Howard menambahkan, "tapi dengan kondisi seperti ini, tak ada yang bisa sepenuhnya diduga... atau diasumsikan."
    Dengan menyesal Gabriel menyadari ia agak terlalu dalam menekan pedal gas, sebagai reaksi otomatis terhadap kecemasannya pada nenek.
    Mereka mendatangi tempat praktek pribadi ahli jantung dikota. Dalam hati Gabriel mencoba memperhitungkan waktu yang mereka butuhkan untuk memarkir mobil dan apakah mereka akan  beruntung menemukan tempat parkir dekat deretan rumah elegan abad delapan belas yang berjajar di sepanjang sungai.
    Ia menduga, kalau diberi kesempatan, Nenek akan mencoba mempengaruhi sang ahli jantung untuk mengecilkan keseriusan kondisinya. Bukan untuk kepentingannya, tapi demi Gabriel. Kini ia menghela nafas lega ketika berbelok ke jalan tempat rumah sang ahli jantung berada dan melihat sebuah tempat parkir kosong hampir tepat didepannya.
    Sinar matahari menghangatkan bata merah bangunan ketika Gabriel dan Nenek menyebrangi jalan. Sebuah plakat hitam sederhana berhuruf emas tertempel di sebuah bangunan bertuliskan nama ahli jantung Nenek sebagai salah satu penghuninya. Gabriel dengan patuh menekan bel interkom dan menunggu.
 
   "Jadi, kalau begitu semua sudah beres. Saya akan mengatur pelaksanaan tes-tes yang anda perlukan dan begitu mendapat hasil kita dapat menetapkan tanggal operasi."
   Gabriel menahan helaan nafas lega ketika sang spesialis tersenyum pada mereka berdua dan mulai berdiri. Beberapa kali ia khawatir Nenek akan menggurungkan niat dan menolak menjalani operasi.
   Dengan cepat ia juga berdiri, bertekad membawa nenek keluar ruang konsultasi sebelum wanita itu berubah pikiran.
  Tapi Nenek sudah mendahuluinya, berkata tegas pada sang spesialis,  "saya masih tidak mengerti mengapa saya tak bisa menunggu dan dioperasi belakangan saja. Tidak Gabriel," ujarnya sebelum Gabriel dapat memotong perkataannya, "jagan kau pikir aku tak berterimakasih atas apa yang kau lakukan, tapi aku masih tak setuju kau memakai uangmu untukku... Untuk sebuah operasi yang tetap bisa kujalani kalau menunggu."
    "Kita sudah membicarakan hal ini, nek" kata Gabriel memberitahu. Gabriel menatap minta tolong pada sang ahli jantung. "Saya sudah menjelaskan pada nenek bahwa, karena daftar tunggu rumah sakit jadi semakin panjang, ada kemungkinan nenek harus menunggu lebih dari dua tahun..."
   Semoga ia tak mengatakan pada nenek betapa kondisinya lebih serius daripada yang ia tahu, Gabriel berdoa dalam hati ketika melihat wajah spesialis agak mengeryit menatap wajahnya sendiri yang cemas dan wajah nenek yang keras kepala.
   "Cucu anda benar," akhirnya ahli jantung itu berkata tenang. "Walau menjengkelkan, sudah kenyataan dunia keuangan medis dan rumah sakit modern bahwa dana yang tersedia sangat terbatas, dan dengan  demikian kini rumah sakit dipaksa memprioritaskan daftar operasi mereka. Tentu saja, kami semua sadar bahwa zaman sekarang usia tujuh puluh tak bisa dianggap tua dan..."
    "Aneh betapa pandangan kita berubah... ketika masih remaja, aku ingin hidup selamanya... tapi saat usia tua tak begitu menarik dilihat dari dekat... aku kadang bertanya-tanya apakah..."
    "Nek," Gabriel mulai memprotes dengan khawatir. Tapi nenek mengeleng dan berkata tegas.
    "Oh, tak apa, aku belum pikun... hanya saja... kadang... aku merasa begitu... begitu letih," Nenek mengakui.
    "Oh, Nek." mata Gabriel penuh air mata.
Ia memandang sang spesialis dengan tatapan tak berdaya, sebuah getaran rasa takut dan cemas mengaliri tulang punggungnya.
    Nenek mengaku merasa letih... mengaku bahwa hidup... Tidak, itu tak mungkin.
   "Semakin kuat alasan untuk melakukan operasi ini secepat mungkin," Gabriel mendengar sang ahli jantung menyela tegas. "Saya jamin setelahnya anda akan mengingat kembali apa yang telah anda katakan dan tertawa. Anda lelah karena jantung anda menanggung beban yang begitu besar," ia menjelaskan pelan. "Sekretaris saya akan menghubungi anda begitu tanggal tes sudah ditentukan. Tentu saja itu berarti anda harus menginap semalam dirumah sakit."
    "Tak apa, Nek," kata Gabriel penuh cinta pada Nenek, meremas tangannya. "Rumah sakit tak lagi seperti dulu. Zaman sekarang rasannya lebih seperti tinggal di hotel."
    "Dan sama mahalnya," komentar Nenek  dingin menambahkan, kembali kesikap normalnya. "Dan kau tak perlu memberitahu aku seberapa banyak rumah sakit telah berubah, Nak. Kurasa aku lebih tahu daripada kau."
   "Ya, Nek," Gabriel menyetujui tanpa membantah.
   Salah satu cara Nenek menyumbangkan waktu untuk komunitas lokal adalah dengan melakukan kegiatan kunjungan kerumah sakit, kepada pasien-pasien yang tak punya orang dekat yang bisa mengunjungi mereka.
  "Aku belum pikun, kau tahu," tambah Nenek keras.
  "Ya, Nek," Gabriel kembali menyetujui tanpa membantah.

Lelaki Dalam IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang