Segera setelah Gideon keluar dapur, Gabriel cepat-cepat memeriksa isi kulkas, dan panik melihat apa yang sudah diduganya. Ia sengaja belum membeli persediaan makanan, lebih suka menunggu kedatangan koki baru supaya wanita itu bebas memilih pasokannya sendiri.
Saat itu belum pukul delapan pagi, dan supermarket terdekat berlokasi di kota-terlalu jauh, makan waktu pulang pergi paling cepat tiga perempat jam. Dan kemudian ia ingat melihat sebuah pompa bensin yang baru dibuka. Sambil berdoa dalam hati semoga disana juga ada toko, ia menyambar tasnya dan bergegas keluar menuju mobilnya.
Lima belas menit kemudia ia sudah kembali, dengan penuh kemenangan membongkar belanjaannya. Jeruk-ia sudah tahu di dapur ada blender- yoghurt alami, roti gandum dan muesli. Cepat-cepat diambilnya blender dan dipotong-potongnya jeruk sebelum ia membuat kopi.
Sambil menenangkan diri supaya tak panik, ia bekerja dengan cepat dan efesien, mencoba membayangkan seolah dirinya kembali berada di Swiss sedang melakukan tugas pertamanya, dengan patuh mengamati para koki bekerja di dapur. Sepuluh menit kemudian nampan sarapan sudah siap.
Ia membuka jepit diponinya, yang tadi ia kencangkan kebelakang saat mempersiapkan sarapan, lalu merapikannya dengan tangan dan kemudian, sambil menarik nafas dalam-dalam mengambil nampan, berjalan penuh tekad ke arah tangga. Ia baru sekali berada di dalam ruang suit Gideon, saat diantar berkeliling. Ruangan itu terdiri dari ruang duduk sekaligus ruang kerja berukuran besar, sebuah kamar tidur yang bahkan lebih luas, sebuah ruang ganti dan kamar mandi.
Selain membeli bahan makanan, Gabriel juga telah membeli beberapa koran, plus majalah Economist ketika melihat edisi terbarunya berisi artikel tentang masalah pengolahan berlebihan tanah pertanian yang dulu semisubur di areal gurun. Pasti tak ada yang baru bagi Gideon, meski demikian...
Sebenarnya ia sendiri agak tertarik membacanya. Meski tak suka mengakuinya, ia tertarik pada pekerjaan Gideon dan ingin belajar lebih banyak tentangnya.
Gabriel lega melihat ruang duduk Gideon dalam keadaan kosong. Ia baru berniat meletakkan nampan diatas meja ketika didengarnya pria itu berteriak dari kamar tidur.
"Tolong bawa masuk, Gabriel?"
Dengan ragu ia berbelok kearah pintu kamar tidur yang separo terbuka, langkahnya agak melambat, mencerminkan keengganannya memasuki kamar tidur. Ketika menyadari Gideon tak ada dalam kamar tidur, ia mengeryit dan memeriksa sekali lagi.
"Terima kasih. Tolong taruh dekat jendela."
Suara Gideon berasal dari belakang Gabriel membuatnya dengan cepat berbalik, dan melihat pria itu keluar dari kamar mandi.
Celana pendek sutra berwarna gelapnya telah digantikan sehelai handuk putih halus yang melibat panggulnya. Tubuh dan rambutnya masih lembap dan ketika pria itu melangkah kearahnya, ia mencium aroma tajam dan segar sabunnya.
Gabriel otomatis mundur satu langkah, pegangannya pada nampan mengencang ketika ia mencoba tak melihat butiran kecil air yang mengalir turun dipermukaan kulit pria itu. Kepekaanya yang tak terduga pada pria itu membuatnya lamban dan canggung, dan ia mendesah keras ketika Gideon menjulurkan tangan, menghentikan gerak mundur Gabriel dengan memegang nampan ditangannya. Gideon mengangkat tangannya yang sebelah untuk menyibakkan rambut basah didahinya.
"Ini dari mana?" tanya Gideon sambil mengernyit ketika mengambil majalah Economist dari atas nampan.
"Saya... saya membelinya di pompa bensin. Saya harus kesana untuk... untuk belanja bahan makanan..." Gabriel menjelaskan parau. "Saya...saya pikir anda akan menyukai artikelnya."
"Wajah Gabriel merona dadu seperti remaja ketika merasakan tatapan pria itu padanya. Ada apa dengan dirinya? Perkataan Gabriel memberikan kesan seolah persetujuan pria itu penting baginya... seolah-olah...
"Mm...Ya saya rasa mereka akan mengirimi saya edisi gratis. Saya menulis artikel ini untuk mereka beberapa bulan lalu, sekarang keadaanya... tapi tentu saja tak ada yang mengalami perubahan besar__kecuali mungkin jadi bertambah buruk."
Beberapa detik kemudian Gabriel baru sepenuhnya mengerti perkataan pria itu, dan kini ia merasa wajahnya semakin merah padam. Gideon-lah yang menulis artikel itu. Mengapa ia tak menelitinya dulu? Kini pria itu akan berpikir Gabriel tak teliti atau sedang berusaha menyenangkan hatinya.
Dari kedua alternatif itu,ia jelas lebih suka yang pertama, pikir Gabriel muram.
Dan, karena kejujuran adalah etika yang selalu ia praktekkan, kini ia menarik nafas panjang dan berharap rona merah mukannya takkan bertambah parah, cepat-cepat mengaku, seperti seorang yang menelan satu dosis obat pahit.
"Saya minta maaf. Saya tak sengaja membeli majalah ini, tanpa menyadari anda yang menulis artikelnya."
Ia masih tak nyaman dengan keadaan setengah telanjang pria itu, dan sengaja memusatkan pandangan kebagian atas tubuhnya. Ketegangan itu membuatnya merasa ingin melarikan diri, tapi sepercik rasa gengsi membuatnya tak mau menyerah pada keinginannya yang begitu feminim itu.
Ia malah mengertakan gigi dan mengingatkan pria itu , "sebelum pergi anda menyebutkan masalah jamuan makan malam yang akan anda adakan."
"Ya," pria itu mengiakan, kernyitnya semakin dalam, suaranya tiba-tiba tegang_ bahkan sangat tegang sehingga Gabriel tak sengaja menatapnya.
Untunglah Gideon agak memalingkan kepala ke samping, tapi Gabriel masih dapat melihat lengkung tegas dan kuat di sepanjang sisi mulutnya dan kekokohan rahangnya.
"Saya bermaksud mengundang beberapa tetangga makan malam besok, tapi tampaknya sebagian besar tak bisa, menurut Chris."
Gabriel sulit percaya sebagian besar tetangga Gideon menolak undangannya. Kecuali ia telah menghina mereka dengan cara tertentu.
Satu atau dua penolakan memang wajar, dan mungkin alasannya memang benar, tapi lebih dari itu...
Zaman pasti sudah benar-benar gila kalau seseorang diasingkan dari 'masyarakat' karena tak dianggap berasal dari kelas dan latar belakang yang 'sesuai'.
"Memang sekarang musim panas," komentarnya hati-hati. "Wajar kalau orang bepergian..."
"Sangat diplomatis ," puji Gideon dingin. "Tapi agak percuma dalam keadaan ini, bukan? menurut Chris__Omong-omong, dimana dia?" Tanyanya. Seharusnya ia ada disini."
"Dia belum kembali dari London," Gabriel memberitahu. Ia masih penasaran mengapa begitu banyak tetangga Gideon tang menolak undangan makan malamnya, tapi ia tahu takkan menperoleh keterangan lagi dari Gideon sendiri dan masih merasa sekarang pun pria itu sudah menyesali apa yang dikatakan padanya.
Tapi ada sumber informasi lain. Bukan berarti ia tertarik karena motivasi seksual, Gabriel cepat-cepat menyakinkan diri sendiri. Ia hanya merasa harus mengetahui alasan penolakan tetangga Gideon__setidaknya supaya ia sendiri bisa berjaga-jaga.
"Mungkin anda bisa mengusulkan tanggal alternatif untuk jamuan makan malam anda?" Usulnya.
Gideon menatapnya masam sebelum kembali menyeka rambut basahnya, sebuah gerakan yang menyebabkan handuk dipangulnya turun sedikit demi sedikit dan membuat jantung Gabriel berdebar tak karuan. Ia bergegas mengalihkan pandangan, dengan tak nyaman menyadari selapis tipis keringat membasahi bagian atas bibirnya dan lembab di antara dadanya.
Seperti seekor binatang mencari perlindungan...kamuflase... ia mulai berjalan kearah pintu kamar tidur.
"Mau kemana?"
Tulang punggungnya menegang tak senang mendengar nada memerintah dalam suara Gideon, tapi ia berhenti dan separo berbalik kearah pria itu untuk menerima perintahnya.
"Saya...saya... Anda..." Gabriel mengamati gelisah ketika pria itu mengangkat gelas jus buah dan mencicipinya.
"Buah segar... bagus," katanya pada Gabriel . "Kapan anda akan menemui penganti Alfonso?"
"Dia akan datang pukul sepuluh," jawab Gabriel. "Dia bersedia tinggal disini dan telah hampir dua puluh tahun bekerja dibisnis katering_baik yang besar maupun kecil. Kualifikasinya memuaskan dan saya rasa kepribadiannya cocok untuk pekerjaan semacam ini__dia sangat tenang dan terbiasa bekerja dengan jadwal ketat apabila diperlukan. Bagaimanapun juga, kalau anda merasa..."
"Tidak, saya mempercayai penilaian anda__secara profesional."
Gabriel mengernyit. Apakah ia hanya mengada-ada ataukah memang Gideon agak menekankan kata 'secara profesional' Dan jika benar begitu, mengapa?
"Memang untuk itu saya membayar anda dengan sangat tinggi," tambah Gideon tenang. "Tapi sebelum anda pergi, ada sesuatu..."
Tanpa tahu sebabnya, Gabriel merasa cemas. Dengan cemas ia mengawasi Gideon berjalan kedalam ruang ganti. Apa yang sedang ia lakukan? Gabriel bertanya- tanya gelisah. Membuat Gabriel menunggu ia berpakaian? Gabriel hanya berharap pria itu menggenakan sesuatu.
Pemandangan tubuhnya yang nyaris telanjang telah sangat mengganggunya.
Tubuhnya menegang ketika ia menyadari Gideon telah kembali. Pria itu masih hanya mengenakan sehelai handuk, sepertinya ia menganti yang kering yang dibelitkan agak tinggi dan lebih kencang disekitar panggulnya daripada tadi. Gabriel melihat pria itu memegang sebuah kotak kecil. Ia semakin tegang ketika Gideon menyuruhnya mendekat. Dengan enggan ia menyebrangi hamparan karpet yang memisahkan mereka.
"Ambillah," perintah Gideon ketika Gabriel sudah berdiri cukup dekat hingga ia bisa menjulurkan kotak kecil di tanganya kepada pria munggil itu.
"Apa... apa ini?" tanya Gabriel gugub. Jantungnya berdebar terlalu kencang dan ia menyadari gairah berbahaya yang kembali menyebar diseluruh tubuhnya.
"Buka dan lihatlah," kata Gideon padanya.
Perlahan Gabriel melakukan perintahnya. Perasaan cemasnya berubah menjadi heran ketika ia membuka kotak itu dan melihat didalamnya ada seuntai rantai emas halus yang indah.
"Untuk menggantikan rantai yang patah," kata Gideon singkat.
Gabriel masih terpaku menatap isi kotak itu. Bahkan tanpa mengangkatnya dari tisu pembungkusnya, ia tahu rantai itu jauh lebih berkualitas dan lebih mahal daripada miliknya. Emasnya saja jelas jauh lebih murni, dan motif untain emas itu begitu rumit hingga ia tak mau menyentuhnya. Ia tak yakin rantai miliknya akan bernilai sepersepuluh yang ini. Dengan mata kosong ia mbalas tatapan tajam dan tak sabar Gideon.
"Saya tidak bisa menerimannya," kata Gabriel padanya.
Sesaat pria itu tampak kaget, seolah Gabriel telah mengejutkannya.
"Ini terlalu mahal... terlalu berharga," kata Gabriel padanya, memanfaatkan sikap diamnya. "Saya..."
"Anda apa?" tanya Gideon pelan, kembali menguasai diri. "Anda hanya menerima pemberian semacam ini dari seorang kekasih? Warna kulit anda cocok dipasangkan dengan emas," tambahnya, mengejutkan Gabriel hingga terdiam. "Emas dan mutiara. Rasanya erotis mendandani wanita telanjang atau pria mungil (uke) dengan perhiasan. Tak heran penguasa Arab suka memerintahkan selir mereka tak mengenakan yang lainnya."
"Itu menjijikan," sembur Gabriel marah. "Itu... seksis dan merendahkan. Mengapa tak sekalian saja anda mengatakan bahwa wanita atau pria (uke) seharusnya dirantai, dikurung, dijadikan tawanan tak berdaya... budak seks?"
"Gabriel...," Gideon berusaha berbicara.
Tapi Gabriel mengangkat tangannya menolak sambil mengeleng dan berkata terpatah-patah. "Tidak... jangan. Tidak, saya tak mau mendengarnya lagi.
Setelah meletakan kotak kecil itu di ujung ranjang, Gabriel berbalik dan kabur.
Setelah berada kembali dalam perlindungan dapurnya, ia menyesali apa yang telah ia lakukan dan apa yang mungkin telah ia perlihatkan. Ia bersikap bodoh membiarkan ia terpancing dalam percakapan yang begitu intim. Dan herannya, meskipun pria itu menantangnya, ia merasa yakin Gideon Reynolds bukan tipe laki-laki yang menyukai patner seksnya yang pasif diranjang, atau laki-laki yang memerluka stimulasi seksual dengan melakukan permainan "perbudakan dan pemujaan".
Yang berarti pria itu sengaja memancingnya. Tapi mengapa?
Ia masih memikirkan pertayaan itu sesaat kemudian ketika mendengar Gideon menuruni tangga. Tubuhnya menegang ketika ia mendengar langkah kaki pria itu berjalan kearah kantornya, dan bersyukur ia terlindungi dibalik meja besar membatasi mereka berdua ketika Gideon berjalan masuk.
Pria itu kini berpakaian lengkap, mengenakan kemeja putih licin dan setelan bisnis gelap yang memberinya aura berkuasa.
"Kalau Chris datang, tolong katakan saya mau bertemu dia," katanya pada Gabriel dengan sikap seformal dan selugas penampilannya. Tak terlihat tanda-tanda seksualitasnya yang sangat maskulin tadi.
Ketika Gideon berbalik menjauh dan berjalan melewati pintu dapur yang masih terbuka, Gabriel menarik nafas gemetar dan pendek, yang masih ditahannya beberapa detik kemudian dan terus ditahannya sampai ia mendengar pria itu membuka dan menutup pintu depan.
Yah, setidaknya pagi ini ia telah yakin akan satu hal: bahwa kesamaan suara Gideon ditelepon hanyalah... tipuan pendengaran.
Saat mendengarkan pria itu pagi ini, mangamatinya ia sama sekali tak merasakan adanya sesuatu yang ia kenali. Aroma tajam tubuhnya sama sekali tak seperti aroma jantan yang ia ingat. Tubuhnya berguncang pelan, wajahnya membara panas mengingat perasaan tak enaknya.
Satu-satunya kesamaan antara kedua laki-laki itu adalah... Gabriel berhenti, tak mau meneruskan alur pikiran yang tak ia inginkan dan membuatnya tak nyaman itu.
Rasa perih tajam akibat kelaparan seksual yang baru saja ia rasakan hanyalah sebuah kebetulan aneh... sebuah... penyimpangan fisik... hanya karena satu-satunya kesempatan ia pernah merasakan sesuatu seperti itu adalah di sebuah kebun di London, erat dalam dekapan seorang laki-laki yang tak ia kenal, tak berarti... tak berarti apa-apa, katanya tegas pada diri sendiri.
Komplikasi terakhir yang ia perlukan dalam hidupnya sekarang adalah mulai merasa... mulai mendambakan Gideon Reynolds. Yang paling tak ia inginkan!" Tempat ini indah sekali. Saya tak sabar ingin mulai bekerja disini. "
Gabriel tersenyum melihat antusiasme wanita itu. Wawancara dengan Jenny Carter telah mengkonfirmasi pendapat awalnya tentang wanita itu. Kualifikasinya sempurna dan tidak seperti Alfonso, ia tak menunjukan tanda-tanda bertemperamen labil dan sulit.
"Saya sudah lama ingin tinggal diluar kota," ia mengaku pada Gabriel. "Saya dibesarkan di daerah pedesaan dan merindukannya. Kini setelah kedua anak saya dewasa dan punya rumah tangga sendiri, lebih mudah bagi saya untu memutuskan mengubah gaya hidup."
Setelah wawancara, mereka berjalan menyusuri bentangan kerikil jalan setapak ketempat mobil Jenny diparkir. Gabriel tahu suami Jenny, yang sepuluh tahun lebih tua dari istrinya, telah meninggal dua tahu lalu dan wanita itu sekarang hidup sendiri.
"Anda pasti merindukannya," katanya bersimpati mendengar cerita Jenny.
"Memamg," wanita itu sependapat "tapi setidaknya saya punya keluarga dan teman-teman serta pekerjaan saya, meskipun tentu saja hal itu tak pernah sama."
Wanita itu mengangkat alis ketika Gabriel memberitahukan Gideon belum menikah.
"Hmm... kenapa y? Seorang pria seumurnya dan sekaya ini. Dia tak mungkin sulit mencari pasangan."
"Pekerjaannya membuat dia harus keliling dunia," Gabriel menjelaskan.
"Hmm... yah, banyak pria seperti dia cenderung terlambat menikah, dan kemudian memilih pengantin wanita yang masih muda serta cantik. Mereka yakin dapat membentuknya menjadi istri yang bersifat kekanakan dan budak yang patuh. Walau biasanya hal ini tak berhasil. Tak bisa dihindari pengantin gadis cantik bermata besar itu akhirnya tumbuh dewasa dan ingin diperlakukanbsebagai wanita__sebagai orang dewasa. Saya sudah sering melihatnya terjadi. Tapi saya rasa ini bukan urusan kita," tambahnya cepat.
Setelah menganti topik pembicaraan, ia meneruskan, "anda pernah menyebutkan dalam wawancara pertama kita bahwa kadang akan datang tamu dalam jumlah cukup banyak?"
"Kemungkinan begitu," Gabriel mengiyakan, dengan hati-hati memilih kata-katanya, ingat apa yang dikatakan Gideon tentang para tetangganya yang menolak undangannya. "Tapi itu sesuatu yang dapat kita diskusikan setelah anda tinggal di sini."
Mereka setuju Jenny akan pindah pada akhir pekan dan menetap disana, dan bahwa ia serta Gabriel akan memeriksa isi lemari gudang serta mempersiapkan semuanya awal minggu depan.
Jenny akan mengambil alih flat kecil yang dulu ditempati Alfonso__ satu diantara beberapa flat yang dbangun diatas garasi dan kompleks istal.
Mereka berdua akan bekerja sama dengan baik, Gabriel yakin asalkan Gideon menyetujui keputusannya mempekerjakan Jenny. Kedua belah pihak setuju akan menjalani masa percobaan selama satu bulan.
"Tak berarti saya bermaksud berubah pikiran," Jenny memberitahu Gabriel sebelum ia melaju pergi dengan kendaraanya.
" Saya juga," Gabriel menyakinkan. "Tapi tentu saja, keputusan terakhir tak berada pada saya."TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Dalam Ingatan
Fiksi PenggemarRemake dari karya novelis Penny Jordan. Aku buat jadi cerita Manxman. Tokoh dan karakter sedikit aku ubah untuk penyesuaian cerita. Pada usia limabelas tahun Gabriel Bingham masih lugu dan tidak berpengalaman, tapi tubuhnya dengan bergairah bereaks...