BAB 5

124 12 0
                                    

Gabriel saat itu baru lima belas tahun, sangat naif dan tak berpengalaman untuk ukuran remaja seusianya.
    Saat baru tiba untuk menjalani liburan musim panas, ia langsung menyadari tak ada yang berubah dirumah ayah tirinya. Laney masih berusaha menyulitkannya, menyiksa dan menghukumnya.
    Malam sebelumnya gadis yang lebih tua  itu masuk ke kamarnya, menertawakan Gabriel ketika wajahnya merona malu mendengar cerita saudara tirinya, terperinci hingga kebagian yang sangat intim, tentang malam yang baru ia lewati dengan pacar terbarunya.
    "Tapi tak ada gadis yang akan menginginkan pemuda sepertimu," tambah Laney, mengibaskan rambutnya. "Berani bertaruh kau bahkan tak pernah benar-benar berciuman, kan?"
    Gabriel tahu sikap diamnya dan rona merah di wajahnya telah mengungkapkan segalanya.
    "Kenapa kau tersipu?" kini Laney mencecar Gabriel dengan mata menyipit dengki, menuduhnya "Aku tahu_kau punya pacarkan? Siapa dia? Katakan..."
   "Tid... tidak ada," protes gabriel, membantah tergagap.
   "Pembohong," pancing Laney. "Tunggu sampai kuceritakan pada ayah. Dia pasti mengorek namanya darimu, siapa pun dia..."
    "Jangan... jangan, kau tak boleh mengatakan apa pun pada ayahmu." Gabriel memohon, rasa takut pada ayah tirinya mengalahkan perasaan yang memperingatkannya untuk bersikap hati-hati.
   "Jadi benar kau punya pacar. Sudah ku duga." Kini mata Laney berkilau, tapi bukan dengan sorot ingin tahu, melainkan dengan penuh kemenangan. Perutnya terasa jungkir balik, perasaan Gabriel mengatakan ia telah terjebak dan kini nasibnya berada dalam tangan Laney.
    "Baiklah, aku takkan mengatakan apa-apa. Tapi kau harus melakukan sesuatu untukku..."
Dengan tegang Gabriel menunggu.
   "Aku sudah janji akan bertemu seorang pemuda besok malam di summer house, tapi sekarang aku tak bisa pergi karena sudah janji dengan yang lain. Aku ingin kau mengantikanku dan katakan padanya aku tak bisa datang."
   "Apa kau tak bisa menghubunginya? Telepon dia atau dengan cara lain?" usul Gabriel.
    "Tak mungkin. Kurasa dia bahkan tak tahu cara memakai telepon dengan benar," ujar Laney menghina. "Dia asisten tukang kebun. Aku bahkan tak tahu mengapa setuju menemuinya. Mungkin aku hanya kasian padanya. Dia sudah berminggu-minggu menggangguku. Jelas ia tergila-gila padaku, tapi dia tolol kalau dikiranya aku akan memperhatikan orang seperti dia. Maksudku.. dia buruh, demi tuhan... tangannya kotor,jarinya,"  Laney mengangkat bahu.
    "Kalau begitu sudah beres," Laney melanjutkan sambil berjalan kearah pintu. "Kau harus berada di sana pukul sembilan dan ingat Gabriel, kalau kau tidak datang, kalau kau mengecewakanku aku akan langsung lapor ke Ayah apa yang telah kau lakukan."
  "Tapi aku tak melakukan apa-apa," protes Gabriel , tapi ia tahu sudah terlambat. Laney kini tak percaya ia tak berbuat apa-apa, dan Gabriel merasa ayah tirinya juga takkan percaya.

   Gabriel gemetar ketika berjalan menyusuri jalan setapak menuju summer house. Ia hanya mengenakan celana selutut dan kaos katun berlengan pendek. Ayah tirinya muncul dari kamar tidur ketika Gabriel berniat naik mengambil jaket, dan dari pada berpapasan dengannya di tangga ia langsung keluar rumah.
    Ia kembali menggigil ketika kegelapan kebun menyelimutinya, tapi kali ini bukan hanya karena hawa dingin. Ia cemas membayangkan reaksi teman kencan Leney ketika diberitahu saudara tirinya berubah pikiran.
    Dengan gelisah Gabriel membuka pintu summer house, tegang ketika engsel pintu agak berderit. Ruangan oktagonal kecil itu berbau agak apak. Bangunan itu sangat jarang digunakan, meskipun suatu saat Gabriel menduga pasti indah dipakai sebagai tempat minum teh saat hari-hari musim panas yang menyengat.
    Ketika detik dan menit bergeser maju tanpa adanya tanda-tanda kedatangan teman kencan Laney, Gabriel mulai berharap bahwa seperti saudara tirinya, pemuda itu juga telah berubah pikiran. Tapi kemudian, ketika bersiap meninggalkan summer house  ia mendengar seseorang berjalan diluar, pintu didorong terbuka dan sesosok tubuh pemuda berbahu kekar memenuhi ambang pintu.
    Gabriel tidak bisa melihat wajahnya, suasana terlalu gelap, tapi ia dapat mencium aroma maskulinnya yang menggairahkan. Gabriel sadar perasaan sensualitasnya yang sedang mekar sangat tanggap pada rangsangan itu.
     "Jadi kau benar-benar datang... sudah kuduga."  Suaranya pelan dan berat, agak parau, Gabriel menduga karena gairah lelakinya bangkit.
    "Aku tahu kau akan datang karena meski bersikap angkuh kau menginginkanku sama seperti aku menginginkanmu..."
   Gabriel dapat mendengar suara napas pemuda itu ketika ia berjalan mendekat. Alasan Leney, pesan yang harus ia sampaikan tertelan sebelum ia sempat berniat mengutarakannya ketika pemuda itu mengikuti gerakan tubuhnya mundur kesudut tergelap summer house, menjulurkan tangan merangkulnya erat. Tubuhnya terkurung membelakangi dinding ketika kepala pemuda itu menunduk kearahnya.
    "Nah, coba kita lihat apa kau bisa memberikan semua yang telah kau janjikan padaku,"  Gabriel mendengarnya berbisik parau, tangannya  memegang sisi samping leher Gabriel, ujung kasap ibu jari pemuda itu mengelus kulit pipi halus Gabriel, sementara mulutnya membisikkan kata-kata yang membuat Gabriel terdiam kaget sekaligus gemetar panas dingin.
   Dalam gelap Gabriel mencoba mengenali wajahnya. Rambut pemuda itu berwarna gelap dan tangannya yang ia coba tepiskan, memancarkan kekuatan kokoh tubuhnya.
   Aroma kulitnya bersih dan segar, napasnya agak berbau pepermin dan ketika Gabriel mencoba memalingkan muka, panik menyadari apa yang sedang terjadi. Ia memegang wajahnya dengan satu tangan, menghalangi niat Gabriel sambil berbisik penuh nafsu.
    "Ada apa? Khawatir aku terlalu kasar untuk kulit halusmu? Tak perlu... aku sudah bercukur... khusus untukmu... rasakan."
    Dan sebelum Gabriel dapat menghentikannya, pemuda itu memegang tangannya dan menekankannya pada rahangnya, dengan lembut menarik jari Gabriel menelusuri kulitnya.
    Gabriel telah lupa mengapa ia datang kesini. Ia sepenuhnya terpukau pada apa yang sedang terjadi padanya, sama sekali lupa dengan pada keadaaan sekitarnya, terpesona dan mabuk oleh penemuannya sendiri. Sensualitasnya dan kemampuan seorang laki-laki membangkitkannya.
    "Aku suka kau seperti ini, malu-malu dan tak yakin, seperti perawan dengan lelaki pertamanya. Tapi kau bukan perawan kan? Tak ada perawan yang memandang seorang lelaki seperti caramu memandangku."
   Ketika Gabriel terengah, matanya melebar, pemuda itu tertawa pelan.
   "Oh ya.... Bagus sekali. Kau tahu semua tipuannya, ya? Semua cara untuk menyenangkan laki-laki, membuat mereka menginginkanmu. Tapi aku tak hanya menginginkan kepolosan palsumu. Kau tahu persis apa yang kumau kan? Dan tubuhmu menginginkan hal serupa," ia menggeram dimulut Gabriel.
   Tubuh Gabriel menegang ketika pemuda itu semakin erat memeluknya, menghimpit tubuhnya hingga Gabriel dengan terkejut menyadari betapa keras tubuh pria itu, betapa terangsang.
    "Oh Tuhan, mendekatlah akan kutunjukan betapa aku menginginkanmu"
    Suara pemuda itu kini semakin parau, kendalinya hilang ketika ia memegang wajah Gabriel dan menciumnya, pada awalnya perlahan hingga Gabriel dapat merasakan kehangatan seluruh bibirnya.
Tubuh Gabriel dialiri gairah dan rasa heran tanpa sadar bibirnya melekat penuh nafsu polos, secara naluriah bereaksi terhadap eksplorasi sensual bibir pemuda itu.
    "Hei jangan siksa aku. Buka mulutmu, cium aku."
    Rintihan permohonan penuh nafsu itu membuat Gabriel gemetar. Dengan patuh bibirnya membuka, jantungnya berdetak  penuh gairah ketika ujung lidah pemuda itu memasuki mulutnya.  Gerakan sensual dan nafsu lelaki itu membangkitkan berbagai macam sensasi mengejutkan yang belum pernah dialami Gabriel didalam tubuhnya sendiri.
    Ketika pemuda itu membelai pinggulnya ia mengerang pelan penuh nafsu. Gairahnya bertambah ketika ia mendengar erangan pelan penuh kenikmatan pemuda itu ketika tanganya berhasil menyentuh kulit mulus dan perut ratanya, dengan ibu jarinya ia membelai pusar Gabriel.
    "Aku menginginkanmu . Ya Tuhan, betapa aku menginginkanmu."
   Pemuda itu menarik Gabriel menjauhi dinding, menjulurkan tangan kedalam kaos katun Gabriel sehingga ia dapat merasakan telapak tangan pemuda itu membelai pinggul hingga naik ke punggungnya.
   "Kau gemetar seperti bayi,"
   Gabriel dapat mendengar kelembutan maskulin dalam suaranya dan entah mengapa, hal itu membuatnya ingin berpengangan padanya dan menangis.
   "Jangan khawatir... tak lama lagi... biarkan aku melepaskan bajumu supaya aku dapat mendekapmu erat ketubuhku. Merasakan kulitmu melekat dikulitku. Menyentuh dan mencium seluruh tubuhmu."
   Ketika tubuh Gabriel gemetar, tak berdaya terperangkap gairah yang ditimbulkan  kata-katanya, ia merasa nafas pemuda itu mulai memacu.
    "Kau menginginkanya kan? Yah aki juga menginginkannya. Berani bertaruh kau pasti semanis madu dan selembut serta semahal sutra asli. Oh Tuhan, kita pasti sangat menikmatinya. Aku sangat menginginkanmu...."
   "Aku juga menginginkanmu...," Gabriel berkata parau dan merangkul leher pemuda itu dengan kedua lengan, bertubi-tubi  menciumi lehernya, jarinya menelusuri tubuhnya merabai bulu yang dapat ia rasakan dibalik t-shirt pemuda itu sambil menunggu kaosnya dilepas.
    Tapi tiba-tiba pemuda itu tak bergerak. Ia tak lagi merangkul tubuh Gabriel, malah menjauhkan diri dan meletakkan tangan dibahu Gabriel sambil mendorongnya menjauh dengan kasar, mencecar marah,  "Apa-apaan ini? Kau bukan Laney_ siapa kau? Siapa kau?"
   Terkejut karena penolakan dipuncak gairahnya, Gabriel tiba-tiba terhempas kembali kebumi. Tubuhnya gemetar hebat ketika ia menyadari apa yang telah ia lakukan.
    Rasa malu menyelimuti dirinya, wajahnya merah padam. Apa yang telah terjadi padanya? Air matanya merebak, tenggorokannya tersumbat rasa nyeri dan tak percaya.
   Kini saat pemuda itu berdiri beberapa langkah darinya, membiarkan Gabriel berdiri sendiri dalam udara malam yang lembab dingin, rasanya mustahil bahwa tak sampai lima menit lalu mereka saling berpelukan penuh gairah, begitu saling mendambakan hingga...
   Sama sekali tak paham apa yang telah terjadi, mengapa ia telah bersikap begitu... begitu ceroboh, sama sekali diluar kepribadiannya, Gabriel hanya dapat berdiri diam dengan air mata mengalir pelan diwajahnya.
   Mengapa ia membiarkan hal semacam itu terjadi? Mengapa ia tak mengatakan apa-apa __ memberitahukan ia bukan Laney?
    "Apa-apaan ini? Siapa kau?" Ulang pemuda itu marah  "Ayo katakan."
    Gabriel kembali beringsut kesudut gelap summer house, takut melihat kemarahannya.  "Aku... Gabriel Bingham. Adik tiri Laney," ujar Gabriel gemetar, suaranya rendah dan tegang karena malu serta takut.  "Dia... dia menyuruhku menemuimu disini supaya..."
    "Supaya apa?" Potong pemuda itu buas.  "Supaya kau bisa mengantikannya? Mengapa? Kalian memang suka saling berbagi, ya?"
   "Bukan... bukan... begitu," bantah Gabriel.  "Kau tak mengerti, aku..."
   "Aku sudah mengerti, damm it  kau bahkan seorang pria," umpat pemuda itu marah.  "Aku sudah sangat tahu... aku tahu kau menggodaku  seperti ular berbisa dan tak mungkin tubuh mungilmu yang mengiurkan itu akan berhenti memberikan tanda-tanda 'sentuh aku, ambil aku' pada tubuhku sampai kau mendapat apa yang kauinginkan dariku. Dan kita sama-sama tahu apa yang kau inginkan, kan?"
    "Aku tak bermaksud...," Gabriel mulai membantah, mencoba mengendalikan emosinya sendiri, berusaha menjelaskan bahwa ia tak bermaksud menipunya, tapi ia tak diberi kesempatan.
   "Kau tak bermaksud apa?" Tantang pemuda itu tajam , memotong perkataannya. "Kau tak bermaksud menuntaskannya? aku beritahu padamu tuan muda, kalau lain kali melakukan permainan berbahaya ini lagi, kau mungkin takkan seberuntung ini. Mungkin aku memang agak pilih-pilih tentang siapa yang kujadikan teman tidur__ tapi lelaki lain mungkin tidak. Apalagi kalau kau menawarkannya sejelas menawarkannya padaku...?
   "Ada yang datang," potong Gabriel, perasaan panik menyelimutinya ketika ia mendengar langkah kaki mendekat. Pasti ayah tirinya. Dan ia langsung merasa takut apa yang akan terjadi jika pria itu menemukannya di summer house  dengan pemuda ini.
   "Cepat, kau harus pergi. Itu pasti ayah tiriku."  Tanpa menunggu pemuda itu mengatakan sesuatu, Gabriel berlari melewatinya keluar pintu. Naluri terbesarnya adalah melindungi pemuda itu, bukan dirinya sendiri, ketika ia bergegas menghampiri kedua orang yang tampak bergerak mendekat sambil berdoa semoga calon kekasih Laney siapa pun ia dapat menyelinap keluar tanpa terlihat.
   "Lihat, itu dia... sudah kukatakan,"   Gabriel mendengar Laney berteriak penuh kemenangan ketika ia bergegas menghampiri mereka.
   "Gabriel apa yang kau lakukan disini...? Kau dengan siapa?" Cecar ayah tirinya marah.
   "Tak dengan siapa-siapa... aku tidak..." Gabriel dengan tak meyakinkan mulai berbohong , sementara Laney membantah dengki.
   "Dia berbohong, ayah. Aku tahu siapa dia. Apalagi yang dilakukannya disini malam-malam begini selain menemui seseorang? Lagi pula aku mendengarnya berbicara ditelepon, akan menemui pemuda itu disini. Pembantu tukang kebun itu, keteraluan. Ya ampun...kau gay Gabriel. Ayah harus memecat pemuda itu. Padahal seharusnya anak ini lebih berselera tinggi walaupun dia gay, tapi... yah mungkin juga tidak.  Lihatlah dia, ayah... Lihatlah dia. Dia sudah mencoreng reputasi dan nama keluarga kita.  Seperti seorang pelacur kecil... Aku sudah mencoba memberitahu ayah."
    Ayah tirinya telah berjalan melewati Gabriel dan masuk ke dalam summer house , tapu Gabriel lega melihat ia tak menemukan siapa-siapa.
  "Gabriel malang__ kekasih macam apa itu," komentar Laney kejam.  "Kuharapa kau tak membiarkannya bertindak terlalu jauh. Bayangkan membiarkan pemuda itu menyentuhmu dengan tangan-tangan kotornya. Padahal kalian sama-sama lelaki."
   Laney pura-pura menggigil jijik ketika ayahnya kembali, mengarahkan senter yang dibawahnya keatas hingga Gabrieo terperangkap didalam sorotnya.
   "Ya ampun. Dia tak memperlakukanmu dengan lembut, ya?"  pancing Laney .  "Dia meninggalkan mulutmu dalam keadaaan memar. Tapi memang tipe seperti dia menyukai hal semacam itu... cupang, kurasa itu istilahnya. Memar murahan yang mengerikan diseluruh leher kekasih mereka. Dia tak meninggalkan bekasnya padamu, kan..."
    Gabriel merasa kulitnya mulai terbakar ketika ingat sentuhan lembut dan oh, sensasi yang erotis saat mulutbpemuda itu pelan menghisap kulitnya. Tidak dilehernya, seperti kata Laney, tapi pada kulit dibagian dalam pergelangan tangan dan sikunya.



TBC
  

  

   

Lelaki Dalam IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang