Bab 1. Pengakuan

772 57 24
                                    


"Terkadang kesalahan yang tak sengaja kita lakukan menjadi bencana bagi diri sendiri dan orang lain"

★★★

Tiga bulan kemudian ...

Setelah malam terlaknat itu, Evan tak pernah bertemu lagi dengan si wanita. Bahkan, bertanya kabar pun ia enggan. I-phone-nya berdering dan sebuah nomor asing tertera pada layar ponselnya. Pada deringan ketiga, Evan menjawabnya. Mungkin, telepon itu penting sehingga ia memilih untuk tidak mengabaikannya.

"Hallo." 

Terdengar suara lembut dari seberang sana. Jantungnya berdegup kencang. Suara itu terdengar familiar bagi Evan. Firasatnya menyatakan jika si penelepon adalah wanita yang selama satu bulan ini ia hindari.  

"Iya ... hallo," jawab Evan ragu dan deg-degan.

"Besok di Cafe Vedde Valten. Aku tunggu kamu dan jangan lupa datang jam 1 siang," ujar wanita itu tegas. 

Belum sempat Evan menjawabnya, si penelepon telah memutus pembicaraan mereka.   

Ia masih menatap layar pipih itu dengan tatapan datar, lalu sesekali menghela napas panjang. Evan merasa ada yang aneh dengan sikap wanita yang baru menghubunginya itu. Tapi ia tak tahu di mana letak keanehannya.

★★★

Lonceng di atas pintu masuk Cafe Vedde Valten berbunyi beberapa kali. Menandakan aktivitas keluar-masuk pengunjung ke cafe tersebut. Saat pintu terbuka, angin segar pun menyeruak masuk ke dalam cafe.

Di antara deretan pengunjung, sosok lelaki muda berparas tampan terlihat turut memasuki cafe itu. Bunyi sepatu kulit bergesekan dengan lantai memenuhi penjuru ruangan. Lelaki itu melepas sunglass hitam yang menutupi matanya dan menatap sekeliling cafe yang bernuansa coklat bertemakan book cafe ala-ala cafe Negeri Kincir Angin, Belanda. Ia menyadari jika orang yang ditunggunya belum tiba, lalu ia memutuskan mencari tempat duduk dan menunggu wanita yang ingin bertemu dengannya. Ia duduk sembari melihat daftar menu dan memutuskan untuk memesan secangkir cappucino hangat. 

Selang beberapa menit, mata madu Evan menangkap sosok wanita mungil yang berjalan ke arahnya sembari menunduk. Wanita yang terlihat imut itu mengenakan celana jeans, kaos oblong, dan sepatu kets. Penampilannya memang sederhana, tetapi memberikan kesan manis.

Seketika konsentrasi Evan sedikit terpecah saat terdengar suara lembut yang memanggil namanya. Ia terkesiap saat melihat sosok yang memanggilnya. Ternyata dugaannya benar.

"Maaf, sudah membiarkanmu lama menunggu," ujar wanita itu seraya duduk di hadapan Evan.

"Apa yang mau kamu bicarakan?" Evan menatap wanita itu dengan tajam, "cepat! aku nggak punya banyak waktu," sambungnya ketus. 

Wanita itu merasa ragu dan takut, tetapi inilah resiko yang harus ia terima. Amarah lelaki itu.

"Evan ... aku hamil," ujar wanita itu.  

Evan kaget dan membulatkan matanya saat mendengar pernyataan itu. 

"Kamu bohong!" tuduhnya.

From Baby to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang